Minggu, 04 Desember 2011

KRIMINALISASI SUMPAH JABATAN APARATUR PENEGAK HUKUM SEBAGAI MANIFESTASI KEBIJAKAN PENAL DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

KRIMINALISASI SUMPAH JABATAN APARATUR PENEGAK HUKUM SEBAGAI MANIFESTASI KEBIJAKAN PENAL DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

By: Bedi Setiawan Al Fahmi

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah fakta yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya para pencari keadilan melalui lembaga peradilan di negeri ini merasa kecewa, karena seringnya keadilan dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa dan golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan finansial, endingnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah fatamorgana dan barang langka bagi masyarakat pencari keadilan. Masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan berhukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring dialamatkan kepada aparatur penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim, advokat, hingga petugas Lembaga Pemasyarakatan.

Berdasarkan hal di atas, hemat penulis ada sesutau yang salah dengan penegakan hukum di tanah air ini, salah satu masalahnya yakni pada aparatur penegak hukum dalam kavasitasnya sebagai motor dan aktor dalam proses penegakan hukum. yesmil dan adang menggunakan istilah “petugas hukum”.[1] Menurut Barda, “Salah satu komponen utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum (nasional) adalah aparatur penegak hukum”.[2]

Berdasarkan pemikiran Barda di atas dapat disimpulkan bahwa, aparatur penegak hukum merupakan salah satu komponen utama dalam pembaharuan hukum pidana, dan sebelum subyek hukum itu secara legal formal diangkat sebagai aparatur penegak hukum, maka salah satu prosesi yang dilakukan adalah mengucapkan sumpah / janji jabatan bagi aparatur penegak hukum. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1947 untuk kepolisian,[3] dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1947 untuk jaksa, hakim, panitera serta panitera pengganti[4].

Berdasarkan realitas saat ini, derasnya arus globalisasi yang menerjang semua negara tanpa pandang bulu, krisis keuangan global yang menjadi Hot Issue di belahan dunia saat ini dirasakan juga oleh lembaga aparatur penegak hukum di Indonesia, khususnya ketika berbicara mengenai idealisme dan martabat profesi jabatan petugas hukum. Idealisme seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Petugas hukum sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan yang serupa, bukan tidak mungkin validitas tudingan dari berbagai pihak tentang keterpurukan penegakan hukum di tanah air ini dikarenakan aktor penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Ufran:

“Berbagai kejahatan terjadi pada semua tingkatan lembaga peradilan (judicial corruption) yang melibatkan semua aktor penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, dan advokat serta masyarakat pencari keadilan. Jual beli perkara seolah menjadi trend dan kongkalikong antara pihak yang berperkara dengan petugas hukum sudah terorganisir secara rapi dan menggejala, dan menjadi ciri khas ketika orang mulai masuk dan berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga peninjauan kembali, Kejahatan ini bersifat sistemik merebak di masyarakat maupun kalangan penegak hukum”.[5]

Berdasarkan pemaparan Ufran di atas dapat diketahui bahwa, keterpurukan hukum di tanah air ini disebabkan juga oleh lembaga struktural dan kultural aparatur petugas penegak hukum. Hal inilah, yang mengilhami penulis menentukan pilihan kriminalisasi terhadap sumpah jabatan apatur petugas penegak hukum sebagai sebagai penanggulangan kejahatan yang merebak baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, hingga pelaksanaan putusan hakim, melalui upaya peningkatan profesionalisme, dedikasi, dan integritas penegak hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka perlu penulis tuangkan juga pokok pikiran yang menjadi central point pembahsan dalam sebuah permasalahan yakni:

Apakah Kriminalisasi Terhadap Sumpah Jabatan Aparatur Penegak Hukum Dapat Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan tugas hukum pidana dan kebijakn public ini adalah, untuk menambah pengetahuan, pemahaman, dan wawasan serta cakralawala berpikir mengenai kriminalisasi sebagai manifestasi kebijakan penal dalam proses transpormasi dalam penegakan hukumnya.

D. PEMBAHASAN

1. Kriminalisasi & Sumpah/Janji Jabatan.

a. Teori dan Metode Pendekatan Kriminalisasi Sumpah/Janji Jabatan.

Menurut Prasetyo kriminalisasi adalah: “proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karena perkembangan masyarakat, kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat ke dalam hukum pidana”.[6]

Berdasarkan pendapat Prasetyo di atas dapat kita ketahui bahwa, kriminalisasi itu merupakan manifestasi dari kebijakan penal dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang dikarenakan adanya progresifitas dalam perkembangan masyarakat. Terkait dengan sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum dalam melaksanakan kapasitasnya sebagai actor penting dalam proses penegakan hukum, maka sumpah/janji yang ucapkan para actor penegak hukum itu laksana kaidah hukum tanpa sanksi pidana (lex imperfect)[7] tidak bersifat imperatif melainkan hanya fakultatif. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang wajar jika sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum itu tidak dimaknai sesuatu hal yang wajib ditaati dalam melaksanakan tugas jabatannya, dalam artian merupakan keniscayaan jika aparatur penegak hukum itu akan tunduk dan patuh serta menjadikan sebagai dasar berpijak dalam melaksanakan tugasnya.

Berbicara mengenai kriminalisasi terhadap sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum, tidak lepas dari berbicara mengenai kebijakan penal yang merupakan bagian dari pembaharuan hukum pidana. Sehubungan dengan itu. Kriminalisasi terhadap sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum dalam penulisan ini menggunakan “Teori Moral”. Dengan menggunakan metode pendekatan Global (Global approach). Alasan penulis menggunakan teori moral dilandasi, paradigma penulis menilai bahwa pelanggaran sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum itu merupakan perbuatan yang bersifat merusak dan asusila. Hal ini juga dikarenakan derasnya tudingan masyarakat terutama kalangan akademis yang mengidentifikasi bahwa keterpurukan bangsa ini dikarenakan maraknya pelaku korupsi dikalangan pejabat penegak hukum, bahkan ada banyak pendapat yang mengatakan korupsi sudah menjadi budaya (culture) di lembaga struktural sistem peradilan pidana, baik kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan, lilik menambahkan advokat sebagai bagian dari system peradilan pidana.[8]

Adapun alasan penulis menggunakan pendekatan melalui Metode Global (Global Approach) yakni: kriminalisasi terhadap sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum ini, dimuatkan di luar KUHP. Misalnya dengan mengikut sertakan (include) atau melekatkan (Inherent) sanksi atas sumpah /janji jabatan yang akan diikrarkan oleh aparatur penegak hukum. atau dapat juga dengan membuat undang-undang sendiri mengenai sumpah/janji jabatan dengan nama: “Undang-Undang Tentang Sumpah/Janji Pejabat Negara dan Pejabat Tinggi Negara”.[9]

Sebagaimana dijelaskan Salman:

Dasar pembenaran untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan dalam perspektif moral adalah karena perbuatan tersebut bersifat immoral. Artinya, perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai moral atau kaidah-kaidah moral atau mengganggu perasaan moral yang hidup dalam masyarakat”.[10]

Berdasarkan penjelasan Salman di atas dapat disimpulkan bahwa, sangat tepat jika sumpah/janji jabatan aparatur penegak hokum dikrimalisasikan sebagai manifestasi kebijakan penal dalam pembaharuan hokum pidana.

b. Sumpah/Janji Jabatan Aparatur Penegak Hukum

“Kata Tanpa Makna”

Tiga kosa kata di atas, mengawali pembahasan mengenai sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum yang penulis identifikasikan sebagai salah satu penyebab praktek korupsi yang sedemikian sistemik dan teroraganisir dengan rapi, bahkan tanpa ada rasa bersalah (Degradasi Rasa Bersalah) dengan alibi bahwa mereka hanya menjalankan tugas, karena itu jika bersalah hanya dengan sanksi kode etik dari lembaga structural aparatur penegak hukum itu sendiri.

Sebagaimana kita telah mafhum bahwa, setiap pejabat Negara dan pejabat tinggi Negara, bahkan semua profesi terutama profesi hukum sebelum memangku jabatan profesinya diawali dengan pengangkatan dan diiringi dengan ikrar sumpah / janji jabatan yang akan diberikan. Sebagai Pejabat Negara dan Pejabat Tinggi Negara baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, begitu juga dikalangan profesi hukum baik advokat, notaris dan pejabat pembuat akta tanah, bahkan di Lembaga Bantuan Hukum pun di awali dengan sumpah/janji jabatannya. Untuk jelasnya penulis kutipkan bunyi sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum yang akan diikrarkan tersebut:

Kepolisian:

Demi Allah! Saya Bersumpah:

Bahwa saya akan setia dan ta’at kepada Negara Republik Indonesia;

Bahwa saya akan menjunjung tinggi hukum, dan senantiasa akan mengerjakan jabatan saya ini dengan rajin, kejujuran, dan tidak sebelah-menyebelah dengan tidak memandang orang, menurut peraturan serta perintah yang diberikan kepada saya;

Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau sesuatu pemberian apa saja dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai atau akan mempunyai hal yang mungkin bersangkutan dengan jabatan yang saya jalankan ini;

Bahwa saya dalam membuat proses-perbal atau ketarangan lain hanya akan mengatakan yang sungguh-sungguh benar;

Bahwa saya akan bekerja dengan cermat dan semangat untuk kepentingan Negara;[11]

Sumpah Jaksa, Hakim, Panitera Serta Panitera Pengganti:

Demi Allah! Saya Bersumpah:

Bahwa saya untuk mendapatkan jabatan saya ini, baik dengan langsung maupun tidak langsung, dengan rupa atau kedok apapun juga, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu, kepada siapapun juga;

Bahwa saya akan setia dan ta’at kepada Negara Republik Indonesia;

Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau sesuatu pemberian apa saja dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai atau akan mempunyai perkara atau hal yang mungkin bersangkutan dengan jabatan yang saya jalankan ini;

Bahwa saya di dalam melakukan kewajiban saya senantiasa akan memegang teguh hukum, keadilan, tidak sebelah-menyebelah dan tidak memandang orang;

Bahwa saya akan bekerja untuk kepentingan Negara, sebagai pegawai, kehakiman yang tulus, shaleh, cermat dan bersemangat;[12]

Advokat:

Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:

Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;

Bahwa saya akan memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;

Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;

Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;

Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat;

Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau member jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat;[13]

Berdasarkan ketentuan isi bunyi sumpah/janji yang akan diikrarkan/diucapkan baik polisi, jaksa, hakim, panitera serta panitera pengganti, dan advokat di atas, maka tidak diikuti kata atau kalimat berupa sanksi di dalam sumpah tersebut, sehingga tidak terpatri di dalam jiwa aparatur penegak hukum, untuk memaknai adanya unsur nilai-nilai yang terkandung di dalam sumpah tersebut mengenai pelanggaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Peraturan Perundang-undangan, serta Kode Etik jika ia melanggar ketentuan isi dari sumpah tersebut, dengan kata lain kata demi kata, dan kalimat demi kalimat sumpah/janji jabatan tersebut di atas merupakan kata yang tidak bermakna melainkan hanya prosesi legal formal atau untuk melegalkan subyek hukum menjadi penegak hukum, itulah yang dimaksud Kata Tanpa Makna”.

2. Gagasan Kriminalisasi Terhadap sumpah/Janji Jabatan Aparatur Penegak Hukum.

“Satu perbuatan baik, lebih bermakna dari sejuta ucapan yang baik”

Sebait kata di atas, sengaja penulis tukilkan dalam mengawali penulisan tugas paper ini sebagai stimulus bahwa penegakan hukum itu harus dimulai dari diri kita sendiri, atau dapat juga diartikan bahwa, penegakan hukum itu harus dari atas ke bawah (dari pejabat penegak hukum ke masyarakat) bukan sebaliknya dari bawah ke atas (dari masyarakat ke pejabat penegak hukum). Oleh karena itu, harus ada formulasi yang bisa dijadikan acuan yang strick untuk mendongkrak kinerja para petugas hukum, salah satunya yakni kriminalisasi terhadap sumpah jabatan yang secara hikmat diucapkan saat akan diangkat menjadi petugas hukum.

Berbicara mengenai kriminalisasi terhadap sumpah jabatan aparatur penegak hukum sebagai manifestasi kebijakan penal dalam pembaharuan hukum pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan, sebenarnya tidak lepas dari membicarakan UUD 1945 sebagai suatu dokumen hukum yang berada di puncak hirarki perundang-undangan nasioanal, terutama alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 sebagai amanat dari tujuan Negara Indonesia. Sebagaimana dikatakan Yesmil dan Adang: “Pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari idea tau kebijakan pembangunan system hukum nasional yang berlandaskan pacasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan”.[14] Oleh karena itu, memaparkan tentang penalisasi sebagai pembaharuan hukum pidana mengenai kriminalisasi terhadap sumpah jabatan aparatur penegak hukum seyogyanya mengarah kepada pembangunan hukum nasional. Sebagaimana dikatakan Barda dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 25 Juni 1994 yaitu:

Ada 4 (empat) komponen utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum nasional yaitu:

1. Komponen norma hukum dan perundang-undangan,

2. Komponen aparatur penegak hukum,

3. komponen kesadaran hukum masyarakat, dan

4. Komponen pendidikan hukum khususnya pendidikan tinggi hukum”.[15]

Berdasarkan pemikiran Barda di atas, dapat disimpulkan bahwa, aparatur penegak hukum merupakan salah satu komponen penting dalam pembaharuan hukum pidana, dan pembaharuan hukum pidana itu merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana sebagai pembaharuan suatu substansi hukum (legal substance) dalam rangkaian lebih mengefektifkan penegakan hukum, sekaligus untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan kepada masyarakat. Adapun menurut Yesmil dan Adang “Sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrument dari suatu kebijakan kriminal, maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga pembuat undang-undang”.[16]

Merujuk pada pendapat Yesmil dan Adang di atas dapat kita ketahui bahwa, peran pembuat undang-undang justru sangat menentukan dalam politik kriminal (crimal politic) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum. Peran dan fungsi aparatur penegak hukum sebagai profesi yang bebas, mandiri, professional, berdedikasi, dan mempunyai integritasdan bertanggung jawab merupakan sesuatu hal yang penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya pengembangan dalam melakukan pembangunan hukum nasional itu penting, namun usaha mempersiapkan penegak hukum profesional yang mempunyai dedikasi dan berintegritas serta profesionalitas dalam menjalankan tugas sebagai aktor proses penegakan hukum merupakan faktor utama dalam penegakan hukum. Sebagaimana dikatakan Prof. Tjip:

“Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum, seperti janji untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya”.[17]

Berdasarkan pemaparan Prof Tjip di atas dapat kita ketahui bahwa, eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan oleh aparatur penegak hukum. Oleh karenanya berbicara mengenai proses penegakan hukum, maka secara otomatis kita akan membicarakan faktor manusia dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum itu sendiri yakni aparatur penegak hukum, dalam artian dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum itu bukan semata-mata membicarakan hukum yang didasarkan pada apa yang tertera secara tekstual kata demi kata yang tertuang menjadi suatu peraturan hukum, namun lebih pada pelaksanaan peraturan hukum itu sendiri oleh masyarakat, terlebih-lebih dikalangan internal para aktor penegak hukum. Lalu bagaimana dengan bertambahnya deretan kasus yang menyeret para penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim, advokat, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan di persidangan, bukan sebagai saksi atau memberikan keterangan, namun sebagai terdakwa yang duduk dikursi pesakitan. Ada apa dengan actor penegak hokum kita dalam proses penegakan hokum di tanah air ini? Kemana sumpah / janji jabatan yang dengan hikmat dan saksama ia ucapkan saat pertama dilantik sebagai penegak hokum? Apakah kata demi kata, serta kalimat demi kalimat yang ia ucapkan tanpa makna dan hanya formalitas belaka?

Hemat penulis, sungguh sebuah tugas yang mulia serta tanggung jawab yang besar, bukan hanya kepada masyarakat melainkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, prevensi individual[18] dalam internal para actor penegak hokum itu harus diupdate, salah satu gagasan baru yang penulis tawarkan yakni: “mengkriminalisasikan sumpah / janji jabatan aparatur penegak hukum”. Hal ini, merupakan upaya dalam rangka peningkatan profesionalisme, dedikasi, dan integritas serta tanggung jawab para aktor petugas hukum, aktor penegak hukum tidak hanya mengetahui tentang tugas-tugas dan kedudukannya saja, melainkan harus mengetahui bagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat sebagai konsekuensi pokok pemikiran pembaharuan hukum pidana yang menitik beratkan kepada perlindungan kepentingan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Anwar dan Adang:

”Konsep hukum pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan dari pemidanaan, dan tujuan dari pemidannan itu untuk perlindungan masyarakat dan konsep pemidanaan yang bertolak dari pemikiran kesimbangan (mono-dualistik) antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu, antara faktor objektif dengan faktor subjektif”.[19]

Selanjutnya Barda Jelaskan:

”Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari uasaha perlindungan masyarakat (social walfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).[20]

Berdasarkan kedua konsep pemikiran di atas, seiring bertambahnya deretan kasus di peradilan yang menyeret petugas hukum, bukan sebagai pembela atau saksi ahli, namun sebagai pesakitan, baik polisi, jaksa, hakim, dan advokat, bahkan petugas lembaga pemasyarakatan (LAPAS) selaku muara akhir dari sistem peradilan pidana yang tidak mampu menjalankan fungsi profesinya. Hemat penulis, dikarenakan para petugas hukum itu tidak memaknai sumpah jabatannya secara baik dan benar, dalam artian tidak menjiwai kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari sumpah jabatan itu sebagai aturan hukum, sehingga jika dilanggar atau tidak dilaksanakan tidak melanggar hukum melainkan hanya kode etik profesinya, dan hanya mendapat teguran dari atasannya. Terkait permasalahan memaknaan sumpah jabatan sebagai hukum pidana hanya sebagai pelanggaran kode etik tersebut di atas, Poernomo memaparkan:

“Sebagian orang merasa lega hatinya karena hukum pidana dapat membalas dengan penerapan sanksi pidana pada orang lain yang dinyatakan oleh yang berwenang melanggar peraturan perundang-undanganhukum pidana. Beberapa bagian orang yang lain merasa kecewa karena hukum pidana diterapkan dengan tidak tepat, sering kali dikatakan kurang adil dan ada pula keputusan yang keliru, bahkan sebagian orang sangat sedih karena hukum pidana berubah menjadi kekuasaan yang disalahgunakan”.[21]

Mengacu pada pemaparan Poernomo di atas, dapat kita mengerti bahwa, proses penegakan hukum itu merupakan suatu keadaan yang membutuhkan usaha (ihktiar) dan perjuangan, karena ia tidak datang secara otomatis. Hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu setiap aparatur pengak hukum diberikan landasan yuridis berupa undang-undang dan kode etik profesi, juga melalui proses pelantikan dan sumpah atas jabatan yang diembannya selaku pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memperjelas peranan dan fungsi petugas hukum untuk mengemban sebagian tugas negara yang harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hemat penulis, sungguh sebuah tugas dan tanggung jawab yang teramat berat apabila dimaknai dengan benar. Ketika Surat Keputusan (SK) pengangkatan dan sumpah jabatan sebagai petugas hukum secara yuridis formal dilakukan, saat itu juga seharusnya tersemat janji untuk menjalankan tugasnya sebaik mungkin sesuai dengan Hukum Tuhan Yang Maha Esa dan Peraturan Perundang-undangan (hukum) serta kode etik profesi petugas hukum. Seyogyanya sanksinya pun tidak hanya berupa sanksi hukum, namun juga sanksi moral oleh masyarakat, dan sanksi spiritual oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ketika petugas hukum melanggar sumpah / janji jabatannya dan martabat profesinya, seketika itu juga berarti ia telah melanggar tiga hal tersebut.

Merujuk pemaparan penulis di atas, maka sangatlah tepat jika dalam sumpah /janji jabatan petugas hukum itu diformulasikan dan dikodifikasikan juga sanksi yang tegas sebagai manifestasi pembaharuan hukum pidana, dikarenakan petugas hukum merupakan salah satu faktor penting agar bekerjanya proses penegakan hukum. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan penal reform mengenai kriminalisasi terhadap sumpah jabatan penegak hukum, mengingatmerajalelanya kejahatan dikalangan aktor penegak hukum. Sebagaimana dikatakan Ufran:

“Berbagai kejahatan terjadi pada semua tingkatan lembaga peradilan (judicial corruption) yang melibatkan semua actor penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, dan advokat serta masyrakata pencari keaadilan. Jual beli perkara seolah menjadi trend an kongkalikong antara pihak yang berperkara dengan petugas hukum sudah terorganisir secara rapi dan menggejala, dan menjadi cirri khas ketika orang mulai masuk dan berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga peninjauan kembali, Kejahatan ini bersifat sistemik merebak di masyarakat maupun kalangan penegak hukum”.[22]

Berdasarkan pemaparan di atas, hemat penulis kriminalisasi terhadap sumpah jabatan apatur penegak hukum sebagai pembaharuan hukum pidana dapat menanggulangi kejahatan yang terjadi baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, hingga pelaksanaan putusan hakim, upaya peningkatan profesionalisme, dedikasi, dan integritas penegak hukum, sekaligus sebagai manivestasi (perwujudan) progresivitas (kemajuan) supremasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi yang cita-citakan.

D. PENUTUP

Simpulan penulis dalam memaparkan tugas ini yakni, mengingat mengguritanya manipulatif dan kolutif, jual beli perkara dan kongkalikong antara aktor penegak hukum dengan masyarakat pencari keadilan telah sedemikian teroraganisir dengan rapi dan sitemik maka seyogyanya:

1. Sanksi yang tegas terhadap pelanggaran sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum di formulasikan dan dikodivikasikan bersamaan (include) dengan sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum itu sendiri, sebagai upaya peningkatan profesionalisme, dedikasi, dan integritas aktor penegak hukum, gagasan ini merupakan manivestasi pembaharuan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi dikalangan penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim, advokat, dan petugas Lembaga Pemasyarakat.

2. Pengangkatan dan sumpah/janji jabatan sebagai petugas hukum secara yuridis formal, seharusnya tersemat janji untuk menjalankan tugas sebagai pengabdian kepada masyarakat. Pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan itu secara otomatis melanggar perintah Tuhan Yang Maha Esa, Peraturan Perundang-undangan (hukum), dan Kode Etik Profesi.

Adapun saran dalam penulisan ini, melihat urgensinya nilai-nilai yang terkandung di dalam sumpah / janji jabatan aparatur penegak hukum itu, ekspektasi yang besar dari masyarakat agar dirumuskan “Undang-Undang Tentang Sumpah Jabatan Pejabat Negara dan Pejabat Tinggi Negara”. Kriminalisasi sumpah/janji jabatan di atas sebagai manifestasi kebijakan penal dalam pembaharuan hukum pidana guna menanggulangi kejahatan di masyarakat terutama di kalangan Lembaga Aktor Penegak Hukum.

(Allahu a’lam bissawab)



[1] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, konsep, komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Pandjadjaran, Bandung, 2009, hlm. iii.

[2] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.122.

[3] Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1947, Tentang Peraturan Sumpah Jabatan Pegawai Polisi.

[4] Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1947 Tentang Pearturan Sumpah Jabatan Untuk Hakim, Jaksa, Panitera Serta Panitera Pengganti.

[5] Kata Pengantar Editor dalam Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. x – xi.

[6] Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 32.

[7] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1991, hlm. 19.

[8] Lilik Mulyadi, Sebuah Polarisasi Pemikiran Terhadap Filsafat Pemidanaan Yang Diterapkan Hakim Indonesia Dikaji Dari Perspektif Teoritik dan Praktik Peradilan Indonesi, Internet, diakses 13 November 2011, jam 21.33, http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=91:analisis-pergeseran-perspektif-dan-praktik-dari-mahkamah-agung-republik-indonesia-mengenai-putusan-pemidanaan&catid=23:artikel&Itemid=36

[9] Gagasan Penulis Sebagai Solusi Dalam, Kriminalisasi Sumpah/Janji Jabatan Aparatur Penegak Hukum Sebagai Manifestasi Kebijakan Penal dalam Pembaharuan hukum Pidana.

[10] Salman Luthan, Moral Sebagai Dasar Kriminalisasi, Materi Perkuliahan Hukum Pidana dan Kebijakan Publik, BKU Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana, Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tahun ajaran 2010-2011.

[11] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1947 Tantang Peraturan Sumpah Jabatan Pegawai Polisi.

[12] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1947 tentang Sumpah Jabatan Untuk Hakim, Jaksa, Panitera serta Panitera Pengganti.

[13] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4282.

[14] Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Anggota Ikapi, Jakarta, 2008, hlm. 22.

[15] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Penegmbangan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm.122.

[16] Yesmil Anwar & Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Op Cit, hal. 57.

[17] Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 7.

[18] Baca juga Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 113.

[19] Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Anggota Ikapi, Jakarta, 2008, hal. 36-37.

[20] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan, Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 28.

[21] Bambang Poernomo, Membangun Hukum Indonesia: Kumpulan Pidato guru besar Ilmu hukum dan Filsafat, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hal. 174.

[22] Kata Pengantar Editor dalam Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. x – xi.