Senin, 10 Oktober 2011

KAJIAN KRITIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PENIPUAN “SMS MAMA MINTA PULSA”BERDASARKAN KUHP DAN UU NO. 11 TAHUN 2008

KAJIAN KRITIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PENIPUAN “SMS MAMA MINTA PULSA”BERDASARKAN KUHP DAN UU NO. 11 TAHUN 2008

By: Bedi Setiawan Al Fahmi

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini dapat diartikan sebagai pisau bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus dapat menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum bagi kalangan intelektualitas tertentu. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan, bahwa pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik prilaku masyarakat maupun peradaban secara global.[1]

Pergeseran makna di dalam masyarakat terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sangat signifikan dalam memaknainya sebagai alat dan sarana informasi sekaligus komunikasi sebagai mobilitas bermasyarakat. Pentingnya menguasai teknologi hingga melahirkan jargon-jargon dalam kehidupan bermasyarakat seperti Gapteg, Tulalit, Lola, dan sebagainya, bahkan jargon-jargon itu dilekatkan pada karakter pribadi seseorang, sehingga dalam pergaulan di masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai kurang gaul. Hal ini menunjukkan kepada kita semua bahwa teknologi saat ini merupakan budaya dalam masyarakat yang membawa peradaban baru yang tidak dapat dihindarkan. Sebagaiamana dikatakan Suparni

“Perkembangan teknologi kompoter, telekomunikasi, dan informasi telah berjalan sedemikian rupa sehingga pada saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun yang sebelumnya”.[2]

Berdasarkan pemaparan Suparni di atas maka dapat disimpulkan bahwa, arus budaya teknologi kompoter, telekomunikasi, dan informatika di tengah-tengah masyarakat begitu pesat bahkan sangat eksplosif, sehingga menimbulkan fenomena-fenomena baru di dalam sosial kemasyarakatan yang bisa berdampak negatif. Oleh karena itu, dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya dalam penulisan ini disebut ITE, dapat dikatagorikan sebagai pengaturan terhadap fenomena-fenomena baru yang tumbuh di tengah-tengah sosial kemasyarakatan masyarakat Indonesia, agar dapat mencegah dampak yang negatif sebagai tindakan prefentif sekaligus juga menaruh ekspektasi yang sangat besar untuk dapat mendorong dampak yang positif agar terjadi kondisi sosial yang harmonis di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.

Dapat dikatakan negara-negara berkembang seperti Indonesia, belum siap untuk menghadapi arus peradaban baru teknologi informatika tersebut, walaupun demikian tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mempunyai kemampuan untuk menguasai peradaban baru berupa teknologi informatika tersebut terutama dari kalangan terpelajar, khususnya yang konsen dibidang teknologi informatika tersebut. Sebagaimana dikatakan Syahdeini:

“Dunia internet telah mempengaruhi pola hidup masyarakat Indonesia, ternyata ada masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia berkenaan dengan maraknya dunia internet. Masalah itu adalah masalah hukum, akan tetapi masalah hukum di dunia virtual tersebut belum banyak mendapat perhatian otoritas dan pengguna internet karena pemahaman yang masih dangkal mengenai aspek-aspek hukum dari internet atau dari transaksi yang dilakukan dengan menggunakan sarana internet”.[3]

Berdasarkan pemaparan Syahdeini dia atas, maka dapat dikatakan bahwa, Dalam perkembangan dunia komputer yang melahirkan dunia baru yakni internet di kehidupan kita saat ini, sesungguhnya ada hal yang harus dipahami secara lebih serius selain cara mengoperasionalkan computer di dunia internet tersebut. Dunia Internet menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dapat pula dikatakan bahwa, para pelaku bisnis, pejabat pemerintah, dan sebagaian besar masyarakat Indonesia menggunakan internet sebagai bagian dari bisnisnya, baik berskala nasional maupun internasional, bahkan eksistensi dari beberapa jenis bisnis justru tidak mungkin berlangsung tanpa adanya dunia internet, bahkan dunia Internet ini juga tekah memasuki kehidupan pribadi sehari-hari. Oleh karena itu, pesatnya arus teknologi informatika yang menerobos dari negara maju menuju negara berkembang seperti indonesia, penggunaan teknologi komunikasi dan informatika di Indonesia dapat penulis dikualifikasikan ke dalam 3 (tiga) klasifikasi yaitu:

1. Tidak dapat menggunakan teknologi (Gaptek)

2. Dapat Menggunakan teknologi tetapi terbatas

3. Menguasai teknologi (mahir)

Adanya kualifikasi ke dalam 3 (tiga) klasifikasi tersebut di atas, maka dapat mendorong dominasi pihak-pihak tertentu untuk menyalahgunakan kemampuannya yang berimplikasi pada terjadinya kejahatan penipuan. Seperti halnya yang buming atau menjadi hot issue di tengah-tengah sosial masyarakat Indonesia, yang mengilhami penulisan tugas mata kuliah Hukum Pidana Dan Perkembangan Teknologi Informatika ini, diantaranya penulis tertarik untuk membahas salah satu Hot Issue berupa kejahatan penipuan yang dilakukan melalui dunia virtual di Indonesia. Sebuah fakta yang tak terbantahkan salah satu kasus yang sangat menggemparkan karena terjadi hampir di seluruh belahan penjuru tanah air, dengan modus / pola yang sangat popular di kalangan masyarakat kita berupa “SMS” MAMA MINTA PULSA sebagaimana dikatakan Kapolsek Serpong Komisaris Polisi (Kompol) Heribertus Ompusunggu:

“Penggerebekan dan penangkapan terhadap pelaku kejahatan “SMS” Mama Minta Pulsa ini diduga terkait dengan kasus penipuan melalui sms yang melibatkan warga negara asing," terangnya, korban jaringan ini bukan hanya berasal dari warga negara Indonesia. Tetapi juga warga negara asing yang memiliki kepentingan bisnis di Indonesia”.[4]

Berdasarkan informasi resmi di atas, maka dapat diketahui bahwa, kejahatan penipuan SMS Mama Minta Pulsa sangat meresahkan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya dalam penulisan ini, penulis formulasikan dengan judul Kajian Kritis Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Penipuan “SMS” Mama Minta Pulsa Berdasarkan KUHP dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika. Selanjutnya, berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi central point permasalahan yang akan dibahas dalam tugas mata kuliah hukum pidana dan perkembangan teknologi informatika ini adalah:

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah penerapan UU No.11 Tahun 2008 Terhadap Kasus Kejahatan Penipuan “SMS Mama Minta Pulsa” di Indonesia?

2. Apakah Kasus Penipuan “SMS Mama Minta Pulsa” Tersebut dapat di adili di Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN

Merujuk pada perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan tugas mata kuliah hukum pidana dan perkembangan teknologi informatika ini adalah, untuk menambah pengetahuan, pemahaman, dan wawasan serta cakralawala berpikir di bidang penegakan hukum terhadap Kejahatan Penipuan melalui dunia virtual, terutama mengenai proses transformasi dalam penegakan hukum Terhadap Kejahatan Penipuan kasus SMS Mama Minta Pulsa. Juga untuk mengetahui Apakah dapat para pelaku kejahatan penipuan oleh WNA (Warga Negara Asing) yang berdomisili di Indoensia dengan Modus SMS Mama Minta Pulsa itu di adili di Pengadilan Indonesia.

D. KERANGKA PEMIKIRAN.

Kerangka berpikir yang penulis gunakan dalam memaparkan tugas mata kuliah Hukum Pidana Dan Perkembangan Teknologi Informatika berkenaan dengan penegakan hukum terhadap kejahatan penipuan secara virtual ini menggunakan teori penegakan hukum dan teori kedaulatan hukum. Asumsi yang mendasari penggunakan teori penegakan hukum dalam tulisan ini adalah penegakan hukum dilakukan dalam realitas konkrit yang pelaksanaannya melalui pendekatan sosiologis, pendekatan ini memandang hukum dan penegakan hukum dari luar hukum karena hukum berada dan menjadi bagian dari sistem sosial, dan sistem sosial itu akan memberi arti dan pengaruh terhadap hukum dan penegakan hukum. Adapun asumsi dasar yang mendasari pandangan sosiologi hukum ini yakni, faktor manusia dalam perspektif sosiologi hukum sangat penting, dengan dalil dikarenakan manusia sangat terlibat dengan penegakan hukum. Oleh karenanya cara pandang ini memandang bahwa, penegakan hukum bukan suatu proses logis semata, melainkan syarat dengan keterlibatan manusia. Sebagaimana dikatakan Marzuki:

“Penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai proses logis linier, melainkan sesuatu hal yang kompleks”.[5] Dari filosofi dasar bahwa, Hukum adalah Untuk Manusia Bukan Manusia Untuk Hukum”.[6]

Begitu juga dengan penegakan hukum terhadap kejahatan penipuan SMS mama minta pulsa yang terjadi di berbagai penjuru tanah air yang dilakukan oleh 177 Warga Negara Asing (WNA) yang berdomisili di indonesia.[7]

E. PEMBAHASAN

1. Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan hukum merupakan salah satu amanat reformasi yang ditandai jatuhnya rezim orde baru. Gema reformasi yang bergaung saat itu telah menggetarkan hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis kepercayaan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap hukum di negeri ini, disebabkan karena penegakan hukum itu sendiri yang masih jauh dari harapan masyarkat. Lembaga peradilan yang semestinya mampu menjadi media untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan, malah menjadi aktor utama yang membuat krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Berbicara mengenai penegakan hukum, sebenarnya tidak lepas dari membicarakan mengenai prilaku manusia dan lembaga penegakan hukum itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Raharjo;

“Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum, seperti janji untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya”.[8]

Berdasarkan pemikiran Raharjo di atas, maka dapatlah dikatakan ketika kita berbicara masalah penegakan hukum, maka secara otomatis kita akan membicarakan faktor manusia dalam hubungannya dengan penegakan hukum, dalam artian dapat dikatakan bahwa berbicara mengenai penegakan hukum itu bukan semata-mata membicarakan hukum yang didasarkan pada apa yang tertera secara hitam-putih berupa peraturan hukum, dan bertitik tolak pada keharusan-keharusan yang tercantum dalam peraturan hukum dan menerimanya sebagai kenyataan, melainkan aparatur penegak hukum itu sendiri sebagai aktor menjadikan hukum itu dapat hidup sebagaimana mestinya

Berbicara mengenai penegakan hokum di tanah air ini merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja dikarenakan kompleksitas dari sistem hukum itu sendiri, melainkan juga karena rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat yang ada di indonesia. Penegakan hukum itu tidak bisa lepas dari institusi-institusi penegakan hukum itu sendiri, semakin pasti kedudukan hukum, wewenang, dan indepensi dari institusi penegak hukum itu akan membuka kran ekspektis yang besar dalam merealisasikan tujuan dari hukum itu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.

Hukum dibuat untuk dilaksanakan, bukan untuk dilanggar. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum, karena penegakan hukum itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri. Prestasi dari kinerjanya hokum itu akan ditentukan oleh manusia yang melaksanakan hokum itu sendiri, walaupun aparat penegak hukum slalu terlihat sibuk bekerja, namun situasi dunia berhukum kita tidak berubah, dalam artian hukum tetap gagal memberikan keadilan di tengah penderiataan dan kemiskinan yang hampir melanda di sebagian besar masyarakat Indonesia. Supremasi hukum yang sejak reformasi pasca lengsernya rezim otoritarian didengungkan hanya menjadi tanda tanpa makna, terutama dapat pula dikatakan teks-teks hukum hanya permainan gaya bahasa (language of games) oleh politik kekuasaan yang cendrung menipu dan mengecewakan. Sebagaimana dikatakan Rahardjo:

“Politik memiliki konsentrasi energi lebih besar daripada hokum yang mengakibatkan apabila hokum harus berhadapan dengan politik, maka hokum berada pada kedudukan yang lebih lemah”.[9]

Berbagai kasus korupsi terjadi pada semua tingkatan lembaga peradilan yang melibatkan semua aktor penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, dan advokat serta masyarakat pencari keadilan itu sendiri. Kongkalikong jula beli perkara antara pihak yang berperkara sudah demikian rapi dan terorganisir. Seperti dikatakan Moqoddas:

“Korupsi yang terjadi di tanah air ini sudah terorganisisr dengan baik dan rapi, secara bersinergi dan sistemik”.[10]

Bahkan ada adigium yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah sosial masyarakat Indonesia: “Jika Kita Kehilangan seekor kambing ingin menuntut penegakan hukum atas pencurian tersebut melalui lembaga peradilan, maka siap-siaplah akan kehilangan seekor sapi”.[11]

Sungguh fenomena yang sangat ironis terjadi di negara yang berdiri atas nama hukum. Penegakan hukum yang berorientasi pada nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran belum mampu dimanifestasikan dalam sebuah realitas nyata. Hemat penulis, kegagalan hukum di Indonesia untuk mewujudkan nilai-nilai hukum tersebut merupakan ancaman dan bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada, karena hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitimasi hukum di tengah-tengah realitas sosial masyarakat indonesia.

2. Regulasi Kejahatan Penipuan Berdasarkan KUHP

“Kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku, namun adanya kesempatan maka, waspadalah…waspadalah…waspadalah…!!!”[12]

Pesan sosial di atas merupakan informasi sekaligus teguran buat kita semua agar setiap saat selalu dalam kehati-hatian, tanpa kita sadari terkadang perbuatan dan sikap kita telah mengundang orang lain untuk berbuat kejahatan. Kejahatan itu akan selalu hadir menemani kehidupan manusia. Oleh karenanya, manusia, hokum, dan masyarakat merupakan 3 (tiga) komponen penting ketika kita berbicara kejahatan. Dalam ranah tataran teoritis 3 (tiga) komponen ini bisa urut, dianalisis, dan diramalkan, namun ketika masuk tataran realistis ketiganya tidak mudah dibedakan, apalagi dipisahkan. Manusia sebagai inti dari masyarakat membutuhkan hokum sebagai perekat kelestarian yang ada di masyarakatnya, walau hokum itu diciptakan, dipertahankan, dan diubah oleh masyarakat guna meningkatkan martabat manusia itu sendiri.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya dalam penulisan ini di sebut KUHP sampai sekarang masih berlaku di Indonesia, bahkan dapat dikatakan sebagai kitab sucinya hukum pidana, berlakunya KUHP ini berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Menyatakan Berlakunya UU No.1 Thn 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

KUHP yang masih berlaku saat ini berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh Indie (WvSNI) dengan berbagai perubahan untuk disesuaikan dengan keadaan di Indonesia (Hindia Belanda) saat itu. Sebagai sumber hokum pidana disamping sumber-sumber lainnya, KUHP menduduki posisi yang amat penting, hal ini karena KUHP memuat asas-asas hukum pidana yang dapat dilihat pada Buku Ke-satu mengenai aturan umum, dan aturan khusus terdapat di dalam KUHP (Buku II dan III). Namun patut dicatat, bahwa ketentuan umum KUHP yang mengikat (yang berlaku) untuk undang-undang khusus, hanyalah Bab I s/d VIII (Pasal 1 s/d 85) Buku I KUHP sepanjang undang-undang khusus tidak membuat ketentuan lain yang menyimpang sebagaimana di konstruksikan dalam pasal 103 KUHP.

Ketentuan umum dalam Bab IX Buku I KUHP (Pasal 86 s/d 102) hanya berlaku untuk KUHP, tidak untuk undang-undang khusus di luar KUHP. Sejak diberlakukannya KUHP telah mengalami perubahan dan penambahan, hal ini dilakukan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul seiring dengan berkembangnya masyarakat, pengetahuan dan teknologi yang menyertainya. KUHP sampai saat ini belum melakukan perubahan dan penambahan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan mayantara terutama yang berhubungan dengan pemeberatan hukuman, penyalahgunaan internet, alat bukti elektronik, yurisdiksi dan sebagainya. Selanjutnya akan dibahas formulasi dalam KUHP yang berhubungan dengan penanggulangan tindak pidana teknologi informasi.

Upaya menangani kasus kejahatan dunia maya, terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang mengkriminalisasi cybercrime dengan mengggunakan metode interpretasi ekstensif (perumpamaan dan persamaan) terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP. Adapun pasal-pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP yang mengkriminalisasi terhadap kejahatan dunia maya diantaranya sebagai berikut:

a. Pasal 362 KUHP untuk kasus Carding dimana pelaku mencuri kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di internet untuk melakukan transaksi di E-Commerce.

b. Pasal 378 KUHP untuk penipuan dengan seolah-olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan.

c. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail.

d. Pasal 331 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan e-mail kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan e-mail secara berantai melalui mailling list (millis) tentang berita yang tidak benar.

e. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara on-line di internet dengan penyelenggara dari Indonesia. f. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di internet.

g. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di internet.

h. Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kredit yang nomor kartu kreditnya merupakan hasil curian.

i. Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface suatu website, karena pelaku setelah berhasil memasuki website korban, selanjutnya melakukan pengrusakan dengan cara mengganti tampilan asli dari website tersebut.

Terhadap perbuatan dalam ketentuan-ketentuan pasal di atas, dalam penulisan ini penulis batasi atau terfokus pda ketentuan yang terdapat dalam pasal 378, 379, 395 ayat (1) dan pasal 395 ayat (2) KUHP. Hemat penulis masalah yang timbul adalah interpretasi terhadap unsur-unsur pasal karena rumusan pasal-pasal tersebut tidak disebutkan data komputer atau informasi yang dihasilkan komputer. Perkembangan teknologi informasi seiring berkembangannya sistem jaringan komputer telah mengubah pandangan konvensional terhadap unsur barang atau benda sebagai alat bukti menjadi digital evidence atau alat bukti elektronik baik sebagai media maupun sebagai jaringan komputer yang menghasilkan cyberspace dan komunitas virtualnya

berkembang seiring dengan berkembangnya kejahatan yang menghasilkan tindak pidana yang dianggap dahulu tidak mungkin pada saat sekarang ini menjadi mungkin bahkan dampaknya dapat dirasakan diluar tempat/wilayah negara. Oleh karena itu penerapan pasal-pasal KUHP sudah tidak relevan dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi.

3. Regulasi Kejahatan Penipuan Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008

Kemajuan pengetahuan di bidang teknologi telah berkembang sedemikian pesatnya bahkan secara eksplosit. Teknologi yang merupakan produk dari modernitas telah mengalami lompatan yang luar biasa, karena sedemikian pesatnya, hingga memasuk batas dimana manusia sebagai kreator teknologi itu sendiri kebingungan mengendalikannya. Bahkan bisa dikatakan teknologi berbalik arah mengendalikan manusia.

Teknologi merupakan hasil dari perkembangan budaya, ia dapat menjadi alat perubahan di tengah masyarakat. Kemajuan teknologi merupakan hasil budaya manusia di samping membawa dampak positif, dalam arti dapat didayagunakan untuk kepentingan manusia juga membawa dampak negatif terhadap perkembangan dan peradaban manusia sendiri. Dampak negatif yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Oleh karenanya, berbicara mengenai hokum semata tetapi perkembangan yang hidup di dalam masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan Mertokusumo:

“Mahasiswa fakultas hokum tidak hanya harus mempelajari peraturan perundang-undangan saja, tetapi disamping itu harus pula mengikuti perkembangan “The Living Law” yang hidup di dalam masyarakat dan juga “res cottidianae” yaitu peristiwa yang terjadi sehari-hari”.[13]

Salah satu bentuk kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi teknologi informasi (internet) ini sering disebut sebagai cyber-crime[14]

Berbicara mengenai Kejahatan dapat di bagi ke dalam dua kategori:

  1. Kejahatan Kekerasan
  2. Kejahatan Baru (White Collar Crimes)[15]

Lebih lanjut mengenai cirri-ciri kedua jenis kejahatan di atas dijelaskan Martha sebagai berikut:

Ciri-ciri kejahatan kekerasan:

1. Tidak mengenal dimensi wilayah (locus delikti luas)

2. Akibat yang dirasakan korban sama

3. Bentuk kejahatan bersifat Universal

Ciri-ciri kejahatan Baru (White Collar Crimes):

1. Dimensi wilayah (locus delikti) terbatas

2. Akibat yang ditimbulkan bagi korban berbeda

3. Bentuk kejahatan mengikuti perkembangan teknologi.[16]

Berdasarkan klasifikasi kejahatan di atas, maka kejahatan penipuan SMS mama minta pulsa dapat dikualififikasikan ke dalam kejahatan baru (White Collar Crimes), karena akibat yang ditimbulkan bagi korban berbeda-beda, dan bentuk kejahatan penipuan sms mama minta pulsa ini tergolong mengikuti perkembangan teknologi karena disamping menggunakan Handphon juga menggunakan media internet.

Berbagai modus kejahatan baru yang terjadi terus inovatif, sehingga tidak pernah berhenti dalam perkembangan masyarakat. Hal ini telah membuat pemerintah khususnya aparat penegak hukum terdorong untuk memberikan pengaturan hukum terhadap cyber crime, yaitu dengan memberlakukan cyber law melalui pengesahan UU ITE. Undang-undang inilah yang selama ini sangat ditunggu-tunggu oleh sebagian besar kalangan masyarakat, karena dengan terwujudnya UU ITE ini diharapkan dapat mengurangi segala keresahan masyarakat yang banyak dirugikan oleh cyber crime.

Mengenai Kejahatan Penipuan SMS mama Minta Pulsa ini, di dalam UU ITE dapat kita temui dalam pasal 35, pasal 28 ayat (1), pasal 45 ayat (1), pasal 51 ayat (1), untuk lebih jelasnya penulis kutipkan sebagai berikut:

Pasal 35: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

28 ayat (1): Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam ransaksi elektronik.

45 ayat (1): Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

51 ayat (1): Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Berdasarkan regulasi yang termuat di dalam UU ITE tersedbut di atas, dapat kita ketahui bahwa, kejahatan penipuan SMS mama minta pulsa dapat dijerat dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU ITE tersebut. Dengan demikian UU ITE ini dapat berlkaku efektif untuk mencegah kejahatan penipuan melalui dunia virtual.

4. Analisis Terhadap Penegakan Hukum Kejahatan Penipuan “SMS Mama Minta Pulsa” Berdasarkan KUHP dan UU ITE.

Sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa, kejahatan penipuan “SMS Mama Minta pulsa” telah terjadi di belahan tanah air ini. Modus operandi ini disebar luas secara acak hampir setiap orang yang mempunyai handphon menerima SMS melalui ID Card nya sebagai awal dari proses terjadinya kejahatan penipuan SMS Mama Minta Pulsa ini.

Keberhasilan kepolisisan Republik Indonesia yang menangkap basah komplotan para pelaku kejahatan penipuan SMS Mama Minta pulsa ini patut diacungkan jempol dan kita apresiasi setinggi-tingginya. Dalam penggerebekan itu, petugas berhasil mengamankan SINDIKAT KEJAHATAN INTERNET Sebanyak 177 Warga Negara Asing (WNA) yang terdiri dari 90 laki-laki dan 11 perempuan asal Taiwan, serta 26 laki-laki dan 50 perempuan asal Cina meringkuk di gedung Direktorat Jenderal Imigrasi, Jakarta, Jumat (10/6). Petugas gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya berhasil mengamankan mereka dari 14 titik tempat di Serpong, Bekasi, dan Jakarta karena dugaan melakukan kejahatan melalui internet (cyber crime). (Antara[17])

Berdasarkan berita yang lain dikatakan:

“Korban jaringan ini bukan hanya berasal dari warga negara Indonesia. Tetapi juga warga negara asing yang memiliki kepentingan bisnis di Indonesia”.[18]

Sejumlah barang buktipun telah disita dalam penggerebekan itu, namun kepolosian republic Indonesia bekerja sama dengan kementerian Luar Negeri dan kementerian keimigrasian akan mendeportasikan 177 WNA yang tertangkap tangan di 14 titik di Jakarta tersebut [19]. Pro dan kontrapun terjadi mengenai kebijakan pemerintah dalam menagani para pelaku kejahatan penipuan tersebut. Sebagaimana dikatakan Pakar hokum selaku Guru Besar Hukum Internasional dari universitas Indonesia:

”177 pelaku penipuan melalui Cyber Crime itu juga melakukan kejahatan di Negara asalnya dan melakukan kejahatan di INA maka tidak tepat jika di deportasi melainkan di ekstradisi”. [20]

Terlepas dari pemaparan guru besar dan pakar hokum internasional dari pakultas hokum universitas Indonesia tersebut, penulis juga menyesalkan kebijakan pemerintah yang mendeportasikan 177 komplotan pelaku kejahatan SMS mama minta pulsa tersebut. Hemat penulis hal ini, dapat menjadikan Indonesia sebagai sarang para pelaku kejahatan karena tidak adanya tindakan yang tegas dari aparatur penegak hokum di Indonesia. Seharusnya pemerintah Indonesia dapat mengadili pelaku kejahatan yang dilakukan di Indonesia terlepas itu pelakunya WNI atau pun WNA, sebagaimana dikatan Moeljatno:

“ Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hokum pidana menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan, dalam pasal 2 ayat (9) KUHP sebaliknya diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hokum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan, yang dikenal dengan asas teritorial”.[21]


Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan:

“Dalam asas territorial perundang-undangan hokum pidana bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya, maupun dilakukan oleh orang asing”.[22]

Berdasarkan perspektif Moeljatno di atas, dapat kita pahami bahwa dalam kasus kejahatan penipuan SMS mama minta pulsa yang dilakukan oleh 177 WNA dalam penulisan ini sebenarnya dapat diproses hokum di pengadilan Indonesia. Karena yang menjadi centra pointnya yakni diletakkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah negara. Siapa yang melakukannya baik warga negara maupun orang asing tidak menjadi soal, dan hal ini sangat lazim dilakukan oleh negara-negara lain termasuk Indonesia, namun penulis menduga adanya mafia hokum dalam penegakan hokum terhadap kejahatan penipuan SMS mama minta pulsa ini. dalam kasus yang lainnya. Sangat wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam suatu wilayah negara harus tunduk kepada peraturan-peraturan negara yang bersangkutan.

F. PENUTUP

1. Simpulan

a. Kejahatan penipuan SMS mama minta pulsa merupakan kejahatan Ilmu Pengetahuan dan teknologi dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan jenis baru (White Collar Crimes).

b. Penerapan hukum dalam kerangka penegakan hukum dalam kasus “SMS” mama minta pulsa terhadap 177 WNA menurut penulis belum tepat, karena langkah defortasi tersebut dapat berimplikasi dijadikannya Indonesia SBG tempat/sasaran empuk untuk melakukan kejahatan (sarang kejahatan).

c. Berdasarkan asas territorial yang terdapat dalam pasal 2 KUHP, maka kejahatan penipuan SMS mintaa pulsa dapat diadili di peradilan di Indonesia.

2. Saran

a. Penerapan penegakan hukum di Indonesia jangan setengah hati, khususnya dalam kasus SMS mama minta pulsa.

b. Indonesia harus mampu menjadikan hukum sebagai panglima untuk menjamin adanya kepastian hukum.

c. Mengabaikan SMS dari orang yang tidak dikenal merupakan salah satu tindakan menghindari terjadinya kejahatan penipuan dari Mama Palsu

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU – BUKU

Aroma Elmina Martha, Bahan Kuliah Hukum Pidana Dan Perkembangan Teknologi Informatika, Fakultas Hukum Pasacasarjana, BKU SPP, angkatan 25 ajaran 2010-2011, Yogyakarta.

Busyro Muqoddas, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pasca sarjana Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum, Smester 1 Angkatan 25 Tahun Ajaran 2010-2011.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000,

Niniek Suparni, Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Pesan Sosial yang disampaikan diakhir acara Sergab Oleh sebuah acara televisi, sebagai actor Bang Napi.

Sajtipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009

Satjipto Raharjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,

Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Progresif, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2006,

Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan Politik Hukum HAM Era Reformasi, PUSHAM UII Yogyakarta, 2011,

Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009,

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

________________.Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (KUHP)

________________.Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

________________.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843).

III. WEBSITE:

177 Penipu Anggota Sindikat Internasional dengan Modus “SMS Mama Minta Pulsa”, VIVA new, Internet, http://metro.vivanews.com/news/read/225904-177-pelaku-cyber-crime-jaringan-internasional,

Heribertus Ompusunggu, Internet, Ini Dia Komplotan Penipu SMS Mama Minta Pulsa, http://news.okezone.com/read/2011/06/09/338/466537/ini-dia-komplotan-penipu-sms-mama-minta-pulsa,

Hikmahanto juwono, Disampaikan di media tvone secara live dlm acara Jakarta lawyer club, selasa malam 1 juli 2011.

Internet, 177 WNA komplotan Kejahatan Penipuan di deportasi, diakses Juli 2011, http://metro.vivanews.com/news/read/225904-177-pelaku-cyber-crime-jaringan-internasional.

Internet, Ini Dia komplotan Kejahatan Penipuan SMS Mama Minta Pulsa, http://news.okezone.com/read/2011/06/09/338/466537/ini-dia-komplotan-penipu-sms-mama-minta-pulsa,

Internet, Kejahatan Cyber Crime, olej 177 WNA di Indonesia, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=280551,

.



[1] Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Alinea pertama.

[2] Niniek Suparni, Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 1

[3] Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009, Hal. 15.

[4] Heribertus Ompusunggu, Internet, Ini Dia Komplotan Penipu SMS Mama Minta Pulsa, http://news.okezone.com/read/2011/06/09/338/466537/ini-dia-komplotan-penipu-sms-mama-minta-pulsa, diakses Juli 2011.

[5]Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan Politik Hukum HAM Era Reformasi, PUSHAM UII Yogyakarta, 2011, hal. 18.

[6] Satjipto Raharjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, Hal.1.

[7] 177 Penipu Anggota Sindikat Internasional dengan Modus “SMS Mama Minta Pulsa”, VIVA new, Internet, http://metro.vivanews.com/news/read/225904-177-pelaku-cyber-crime-jaringan-internasional, diakses, Juli 2011.

[8] Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Progresif, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 17.

[9] Sajtipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 103.

[10] Busyro Muqoddas, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pasca sarjana Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum, Smester 1 Angkatan 25 Tahun Ajaran 2010-2011.

[11] Adigium yang berkembang di tengah-tengah sosial masyarakat Indonesia.

[12] Pesan Sosial yang disampaikan diakhir acara Sergab Oleh sebuah acara televisi, sebagai actor Bang Napi.

[13] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2006, hal. 27

[14] Aroma Elmina Martha, Bahan Kuliah Hukum Pidana Dan Perkembangan Teknologi Informatika, Fakultas Hukum Pasacasarjana, BKU SPP, angkatan 25 ajaran 2010-2011, Yogyakarta.

[15] Ibid,

[16] Ibid,

[17] Internet, Kejahatan Cyber Crime, olej 177 WNA di Indonesia, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=280551, diakses juli 2011.

[18] Internet, Ini Dia komplotan Kejahatan Penipuan SMS Mama Minta Pulsa, http://news.okezone.com/read/2011/06/09/338/466537/ini-dia-komplotan-penipu-sms-mama-minta-pulsa, diakses Juli 2011.

[19] Internet, 177 WNA komplotan Kejahatan Penipuan di deportasi, diakses Juli 2011, http://metro.vivanews.com/news/read/225904-177-pelaku-cyber-crime-jaringan-internasional.

[20] Hikmahanto juwono, Disampaikan di media tvone secara live dlm acara Jakarta lawyer club, selasa malam 1 juli 2011.

[21] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 38

[22] Ibid,