Sabtu, 22 September 2012

URGENSI, PERAN, DAN TANTANGAN NOTARIS DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA (Gagasan Dibentuknya Lembaga Bantuan Akta Notaris di Indonesia)


URGENSI, PERAN, DAN TANTANGAN NOTARIS DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA                                                                            (Gagasan Dibentuknya Lembaga Bantuan Akta Notaris di Indonesia)
By. Bedi Setiawan Al Fahmi

Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum itu menuntut adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Kedudukan manusia dalam hukum sangat erat hubungannya dengan hak asasi yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar tersebut, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, politik, status sosial, bahasa dan status lainnya.Oleh karena itu, prinsip kesetaraan itu merupakan salah satu prinsip utama Hak Asasi Manusia. Hak asasi inilah yang menjadi dasar hak dan kewajiban lainnya.
Hak Asasi Manusia secara deklaratif dikumandangkan oleh bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945, sebagaimana tertuang dalam alinea pertama pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.[1]
Hak Asasi juga telah dikristalkan oleh Founding Father dalam Grand Norm yang merupakan dasar dan falsafah serta ideologi negara,[2] sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.[3] Sebagaimana dituangkan dalam sila ke pertama ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan sila ke dua dari pancasila: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”[4]. Sejalan dengan sila kedua ini Artidjo Alkostar mengatakan: “Membangun Peradaban Bangsa dengan Menegakkan Hak Asasi Manusia”[5]. Selanjutnya mengenai Hak Asasi Manusia ini, diamanatkan secara tegas dalam batang tubuh UUD 1945 sebagai judul BAB XA yakni pada pasal 28 UUD 1945[6].
Adapun pengertian Hak Asasi Manusia dapat kita lihat pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[7]

Berdasarkan pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa, hak untuk mendapatkan keadilan dan rasa aman merupakan hak asasi, oleh karenanya  wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, juga setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, termasuk hak rasa aman ketika seseorang melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu harus dilindungi dan diberikan oleh negara, sebagaimana diamanatkan pasal 8 UU HAM: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah”. Disebutkan juga dalam penjelasan umum, mengenai dasar pemikiran terbentuknya UU HAM tersebut pada huruf g:
“Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia”.
Sejalan dengan hal di atas Satjipto Rahardjo mengatakan:
“Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat, bukan saja dikarenakan negeri ini menganut paham negara hukum, melainkan lebih melihat secara kritis kecenderungan yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berkembang ke arah suatu masyarakat modern. Kondisi yang demikian menuntut adanya hukum yang berdimensi nasional, yang memiliki paradigma berwawasan ke-indonesiaan, sekaligus mengakomodasi tuntutan zaman”.[8]

Merujuk pada pemikiran Satjipto Rahardjo di atas, notaris merupakan salah satu pejabat publik yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengakomodasi perbuatan hukum yang dilakukan masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini sejalan dengan lahirnya jabatan notaris itu dikarenakan masyarakat membutuhkannya, bukan suatu jabatan yang sengaja diciptakan kemudian baru disosialisasikan kepada khalayak. Perkembangan kehidupan bermasyarakat telah meningkatkan intensitas dan kompleksitas hubungan hukum yang harus mendapatkan perlindungan dan kepastian berdasarkan alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban setiap subjek hukum. Terciptanya perlindungan, kepastian, dan ketertiban melalui kegiatan pengadministrasian hukum (law administrating) yang tepat dan tertib. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya hubungan hukum yang cacat dan dapat merugikan subyek hukum dan masyarakat.
Notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat hingga sekarang dirasakan masih sangat dibutuhkan keberadaannya, sebagai pejabat umum[9], notaris merupakan tempat di mana seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan, segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan oleh notaris (konstatir) adalah benar.  Dapat juga dikatakan seorang notaris adalah pembuat dokumen yang terkuat dan terpenuh serta bukti sempurna dalam suatu proses penegakan hukum.[10]
Globalisasi menerjang semua negara tanpa pandang bulu, krisis keuangan global yang menjadi (Hot Issue) di belahan dunia sejak tahun 1997 hingga saat ini masih dirasakan juga oleh lembaga profesi hukum di Indonesia, khususnya ketika berbicara mengenai idealisme dan martabat profesi notaris. Idealisme seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme dan hedonisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Notaris sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan yang serupa yakni, satu sisi notaris diminta menjaga idealismenya sebagai pejabat umum untuk memberikan jasa hukum secara cuma-cuma sebagaimana yang diamanatkan pasal 37 Undag-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN)[11], dan pasal 3 ayat (7) Kode Etik Notaris[12]. Di lain sisi  notaris dihimpit oleh kehidupan materialisme untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk eksistensi operasional kantornya.
Walaupun penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dalam hukum nasional telah dijamin secara formil, seringkali ditemukan kesulitan bagi warga negara untuk mendapatkan keadilan dan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum di masyarakat. Tulisan ini bermaksud mengkaji urgensi, peran dan tantangan notaris dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Masalah pokok yang disoroti dalam pembahasan ini meliputi: Sejauh manakah urgensi dan peran notaris dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia? bagaimanakah wujud  peran notaris dalam penegakan Hak Asasi Manusia itu terkait dengan kewajiban dan kewenangannya sebagai pelayanan publik? dan indikator apakah yang menjadi tantangan bagi notaris dalam konteks penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia?

A.  Urgensi dan Peran Notaris Dalam Perspektif HAM
Dinamika dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sering diwarnai konflik antara individu dengan lainnya, sebagai upaya untuk menghindari / mencegah terjadinya konflik, maka diperlukan campur tangan secara khusus untuk memberikan bantuan imparsial (secara tidak memihak) dari seorang notaris selaku profesi hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia berupa mendapatkan keadilan dan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum di dalam masyarkat tidak terabaikan.  
Urgensi dan peran notaris dalam perspektif HAM sangat dominan dalam proses penegakan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia. Tugas dan wewenang yang dimiliki notaris, merupakan delegasi dari negara untuk pelayanan kepada masyarakat, bukan suatu profesi untuk mencari kekayaan belaka. Fungsi dan peranan notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya semakin luas dan semakin berkembang. Kelancaran dan terjaminnya keadilan dan rasa aman di tengah masyarakat merupakan kewajiban semua pihak, terutama profesi notaris  dalam menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan negara untuk pelayanan publik. Pemerintah yang memberikan sebagian wewenangnya kepada notaris,[13] melalui UUJN, dan juga masyarakat yang menggunakan jasa notaris tentu mempunyai ekspektasi agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan, selain memberikan kepastian hukum terhadap subyek hukum , memberikan keadilan dan rasa aman di dalam masyarkat, juga dapat melindungi masyarakat dari sengketa dan terpenuhinya hak dasar yang dijamin konstitusi bagi warga masyarkat.[14]  
Sebuah fakta yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar lulusan Magister Kenotariatan mengambil profesi sebagai notaris setelah lulus. Sejak terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (SK Dirjen Dikti) tahun 2000, yang isinya mengubah status Program Pendidikan Spesialis Notariat menjadi Program Studi Magister Kenotariatan di masing-masing  enam universitas penyelenggaraan yaitu: Universitas Indonesia, Universitas Pendjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian, jumlah notaris di Indonesia terus bertambah dan meningkat drastis, sehingga sudah selayaknya hak konstitusi warga negara selaku subyek hukum untuk mendapatkan hak rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum, dan rasa keadilan di tengah mobilitas bermasyarakat lebih terjamin dan lebih terakomudir. Namun sebuah kenyataan pahit yang tidak dapat kita pungkiri, profesi notaris laksana manara gading di tengah realitas sosial masyarakat dewasa ini. Sebagaimana dikatakan H.R. Soejadi:
“Suatu konsep atau gagasan yang dikemukakan Roscoe Pound, dalam tataran pelaksanaannya tidak mengalami sukses sebagaimana yang diharapkan. Memang dapat dipahami bahwa cukup sulit untuk dapat mewujudkan kesesuaian antara idealitas dengan realitas, antara konsep dengan persep”[15].
Berdasarkan pemikiran Soejadi di atas dapat kita ketahui bahwa, penegakan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam sebuah realita sosial masih sangat memprihatinkan, termasuk penegakan, perlindungan dan pemenuhan keadilan dan rasa aman untuk melakukan perbuatan hukum oleh masyarakat. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, pembuatan akta otentik oleh notaris ini diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hokum untuk mencegah terjadinya konflik di masyarakat.[16] tetapi juga karena dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajibannya demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan, sebagai manifestasi membangun negara yang demokratis sesuai dengan hasrat bangsa Indonesia.[17]
Peran notaris sebagai pejabat umum sekaligus selaku profesi hukum harus mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi dan peran  dari notaris dalam mobilitas hukum di masyarakat sangatlah dibutuhkan, sebagaimana dituangkan dalam ketentuan pasal 16 UUJN mengenai kewajiban notaris, maka kewajiban seorang notaris sangat urgent demi menjamin kepastian dan ketertiban hukum, perlindungan dan pemenuhan hak asasi yang berintikan kebenaran dan keadilan bagi masyarkat yang membutuhkannya. Akta otentik yang dibuat oleh seorang notaris menentukan secara jelas hak dan kewajiban dari para penghadap sebagai subjek hukum dalam masyarakat, sesuatu hal yang tidak kalah penting dari eksistensi dari sebuah akta otentik itu sendiri adalah, jika dapat dimanifestasikan sebuah ekspektasi untuk menghindari terjadinya sengketa, dan inilah salah satu perbedaan yang signifikan antara notaris dan advokat. Sebagaimana dikatakan Tan Thong Kie: “seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu”.[18]
Urgensi dan peran notaris juga harus mampu ikut serta dalam menyukseskan tujuan negara sebagaimana dituangkan dalam pembukaan,[19] juga isi yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945. Penulisan ini lebih menitik beratkan pada ergensi dan peran notaris dalam penegakan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang dirumuskan dalam Pancasila serta disebutkan secara tegas sebagai judul BAB XA UUD 1945, yang kemudian dituangkan dalam konsideren yang melatar belakangi dibentuknya Undang-undang tentang jabatan notaris sebagai berikut:
a.    Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan;
b.    Bahwa untuk menjamin kepastian, ketertban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu;
c.    Bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum;
d.    Bahwa notaris dalam proses pembangunan makin meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat;

Berdasarkan ruh dari payung hukum notaris tersebut di atas, maka dapat kita ketahui bahwa, tugas dan peran notaris dalam mobilitas hukum di tengah masyarakat sangat dibutuhkan demi penegakan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi berupa hak untuk mendapatkan keadilan dan rasa aman sebagai subyek hukum demi kesejahteraan dan kemakmuran.
Sedemikian pentingnya kewajiban yang diamanatkan UUJN kepada seorang notaris dalam mengakomudasi kebutuhan masyarakat. Hemat penulis secara garis besar peran itu dapat dikualifikasikan ke dalam 2 (dua) hal yakni:
1.      Mencegah terjadinya sengketa dalam masyarakat. Hal ini merupakan tugas utama dari seorang notaris yakni, memformulasikan keinginan/ tindakan para pihak atau masyarakat yang membutuhkannya ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku, sehingga dapat menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.
2.      Menyelesaikan sengketa yang tidak dapat dihindarkan dalam masyarkat. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna[20] jika terjadi sengketa, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang atau pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Sehingga penyelesaian sengketa dalam masyarakat dapat segera diselesaikan.  
Notaris sebelum menjalankan jabatannya wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.[21] Adapun bunyi sumpah itu dituangkan dalam pasal 4 ayat (2) UUJN. Alinea pertama dari lafal sumpah itu sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya”.
Berdasarkan muatan dari bunyi sumpah/janji notaris tersebut di atas, sangat jelas bahwa urgensi dan peran notaris dalam penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu kewajiban dalam menjalankan profesi jabatannya. Penulis coba paparkan tugas dan fungsi notaris itu dalam perspektif HAM berdasarkan hukum, dalam hal ini hukum tidak sekedar menjadi tataran nilai tetapi sebagai sarana bagi notaris dalam menjalankan profesinya yang berorientasi pada tujuan hukum  itu berupa keadilan  dan rasa aman bagi kepentingan masyarakat yakni kesejahteraan dan kebahagiaan.[22] terutama masyarakat yang berada di wilayah kewenangan notaris tertentu. Menjadi hal yang wajar penetapan formasi jabatan  notaris oleh menteri itu berdasarkan jumlah penduduk dan pertumbuhan dunia usaha suatu daerah/wilayah kabupaten /kota.[23]
 Mengenai tujuan hukum Artidjo Alkostar mengatakan:
“Tujuan hukum adalah keadilan dan orientasinya adalah untuk daya guna bagi masyarakat banyak serta peningkatan martabat manusia”.[24]
Merujuk pada pemikiran Artidjo Alkostar di atas maka dapat disimpulkan bahwa, notaris selaku pejabat publik yang menjalankan tugas berdasarkan UUJN dan Kode Etik, harus mampu memberi manfaat dan daya guna bagi masyarakat banyak. Sudah seharusnya para notaris di Indonesia memikirkan, jabatan profesinya berorientasi ikut serat dalam penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi yang dibutuhkan masyarkat. Melindungi masyarakat dari terjadinya konflik karena ketidak jelasan hak dan kewajiban anggota masyarakat sebagai subyek hukum dalam melakukan perbuatan hukum, dan memenuhi kebutuhan asasi masyarakat untuk mendapatkan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum di masyarakat.
Notaris seyogianya membuka akses kepada masyarakat banyak dengan membuat lembaga bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu, misalnya mendirikan pos Lembaga Bantuan Akta Notaris (LBAN)[25] secara tersitem bagi para notaris di wilayahnya masing-masing. Seperti yang telah dilakukan profesi Advokat dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang tersebar di penjuru tanah air. Pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris mengamanatkan agar profesi notaris melindungi dan memenuhi hak asasi masyarakat.
Akhirnya penulis mengajak kita semua, khususnya para notaris untuk merenungkan dan menghayati nilai-nilai hak asasi manusia[26] yang terkandung dalam pasal yang sangat tidak populer di kalangan notaris, yakni pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris yang hingga saat ini menjadi payung hukum bagi profesi notaris di Indonesia untuk direalisasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingg dapatlah dikatakan profesi notaries sebagai Officium Nobile (profesi mulia).
B.  Degradasi Profesi Notaris dan Tegaknya HAM di Indonesia
Berbicara mengenai profesi notaris di Indonesia ada baiknya penulis awali dengan asal mulanya perkataan notaris itu sendiri. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa sebutan Notaris berasal dari perkataan Notarius. Sebagaimana di jelaskan Notodisoerjo sebagai berikut:
“Notaris berasal dari perkataan Notarius, ialah nama yang pada zaman romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama notaris itu berasal dari kata “nota literaria”, yaitu tanda (letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan. Kemudian dalam abad ke-lima dan ke-enam sebutan Notarius (Notariil) diberikan kepada penulis (sekretaris) pribadi dari Raja (kaizer), sedangkan pada akhir abad ke-lima sebutan tersebut diberikan kepada Pegawai-pegawai istana yang melaksanakanpekerjaan administratif”.[27]

Selanjutnya akan menjadi lebih baik pula, penulis coba mengulas sedikit mengenai perjalanan sejarah lahirnya notaris di Indonesia, dengan mengetahui hal tersebut, ekspektasi penulis dapat mempermudah pemahaman kita kedepannya, sekaligus argumentasi penulis menilik profesi notaris dalam penegakan HAM.
Keberadaan jabatan notaris di Indonesia pertama kali tercatat pada tanggal 27 Agustus Tahun 1620, diangkatnya Melchior Kerchem dari Belanda menjadi notaris yang disebut “Notarium Publicum” di Jakarta, pada saat itu masih bernama Jacatra.[28] Tugasnya adalah untuk kepentingan publik, khususnya melayani menjalankan kegiatannya sebagai pejabat umum yang melayani masyarakat.
Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan baru mengenai jabatan notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie Voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, Kemudian pada tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in nederlands Indie atau lebih dikenal dengan sebutan Stbl. 1860:3
Setelah Indonesia merdeka, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan: “Segala Badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang ini”. Berdasarkan hal inilah, stbl.1860:3 tetap berlaku di Indonesia. Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 No. 60, Tanggal 30 Oktober 1948 tentang Laporan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman.
Tahun 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus-22 September 1949. Salah satu hasil dari KMB tersebut yaitu, adanya Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintahan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat yang sekarang adalah Papua. Adanya Penyerahan Kedaulatan tersebut membawa akibat kepada status notaris berkewarganegaraan Belanda di Indonesia harus meninggalkan jabatannya. Dengan demikian, terjadilah kekosongan notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut, sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaan Belanda.
Tahun 1954, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa, “Dalam hal notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan notaris”. Kemudian pasal 1 huruf c dan pasal 8 Undang-Undang ini menegaskan “Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris”. Selanjutnya pasal 2 ayat (2) disebutkan “Sambil menunggu ketetapan Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris”. Penegasan tentang Wakil Notaris Sementara ini disebutkan dalam pasal 1 huruf d yaitu, “Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara”. Adapun yang disebut sebagai Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) stbl.1860:3. jo pasal 1 huruf a Undang-Undang No 33 Tahun 1954. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 1954 ini juga sekaligus ditegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Abmt in Nederlands Indie (stbl.1860:3) sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di Indonesia yang lebih dikenal dengan PJN untuk Notaris di Indonesia.
Tahun 2004, tepatnya pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pro dan kontra pun terjadi sebagaimana yang disinyalirkan INI sebagai berikut:
“Banyak pihak yang menyatakan mendukung UUJN dan memandang UUJN sebagai produk hukum yang lebih baik dari pada PJN. Sedangkan di lain pihak ada sebagian kecil yang kontra tidak mendukung UUJN dan menganggap UUJN sebagai produk hukum yang kualitasnya di bawah PJN. Bahkan ada yang mendukung UUJN sebagai salah satu faktor yang memunculkan berbagai masalah kenotariatan dewasa ini”.[29]

Berdasarkan uraian di atas, hemat penulis suatu hal yang patut kita pahami dan sadari bersama bahwa, tugas utama dari notaris adalah untuk melayani masyarakat. UUJN telah diundangkan dalam Lembar Berita Negara pasca reformasi, proses ini baru menyelesaikan satu tahap dari perjalanan panjang untuk mengatur masyarakat, karena harus diikuti dengan implementasi secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, termasuk ketentuan pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris sebagai manifestasi penegakan hukum dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, menjamin keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat dengan memberikan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum.[30]
Adapun Istilah profesi itu sendiri berasal dari kata profiteri (bahasa Latin) yang berarti Ikrar di muka umum, dari kata itu terbentuklah kata “Professio” (bahasa inggrisnya “Profession”)[31] yang berarti suatu kegiatan kerja yang dikerjakan atas dasar suatu ikrar pengabdian.[32] Kamus Ilmiah Populer Kontemporer oleh Alex MA menyatakan: Profesi adalah riwayat pekerjaan, pekerjaan (tetap); pencaharian, pekerjaan sebagai sumber penghidupan; jabatan, kepercayaan agama; pernyataan; keterangan.[33] Kamus populer menyebutkan: “Profesi ialah pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian tetap”.[34] Suparman Usman mengartikan profesi” suatu moral community (masyarakat moral), memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama”.[35] Kansil mengartikan profesi ”Pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan mengandalkan keahlian khusus”.[36]
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa, para sarjana hukum di tanah air belum ada kata sepakat mengenai definisi profesi[37], namun para sarjana hukum itu tidak membantah dengan ciri-ciri profesi yang disebutkan Santoso.[38]
H. Suparman Usman membedakan profesi menjadi 2 (dua) jenis: “Pengertian profesi dapat dibedakan menjadi: (1) Profesi pada umumnya. (2) Profesi luhur atau profesi mulia (officium noble). Sekalipun profesi adalah jenis pekerjaan, namun pengertian profesi lebih khusus dibandingkan dengan pengertian pekerjaan”.[39]
Pengertian kedua profesi di atas lebih lanjut H. Suparman Usman jelaskan:
 “Profesi pada umumnya adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian yang khusus, Persyaratan adanya keahlian yang khusus inilah yang membedakan antara pengertian profesi dengan pekerjaan walaupun bukan menjadi garis pemisah yang tajam antara keduanya.
Profesi Luhur, yaitu profesi yang pada hakekatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat. Orang yang melaksanakan profesi luhur sekalipun mendapatkan nafkah (imbalan) dari pekerjaannya, namun itu bukanlah motivasi utamanya. Yang menjadi motivasi utamanya adalah kesediaan dan keinginan untuk melayani, dan membantu sesama umat manusia berdasarkan keahliannya”.[40]

Berdasarkan pemikiran H. Suparman Usman di atas, profesi notaris dikatagorikan sebagai profesi luhur, karena melakukan aktivitas kerja didasari dengan itikad mulia yang diikrarkannya atau dengan disumpah di muka umum.[41] Lafal sumpah tersebut diikrarkan bahwa kegiatan kerja mereka itu adalah demi kebajikan (kemaslahatan, dan kesejahteraan manusia) dan bukan untuk mencari kekayaan, dengan demikian yang menjadi motivasi utamanya adalah melayani dan membantu masyarakat. Selain patuh dan setia kepada  Negara Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan lainnya, notaris selaku profesi hukum juga taat serta menjalankan nilai-nilai Kode Etik profesinya. Karena kode etik adalah koridor penyelamat profesi yang luhur dan bermantabat.[42] 
Profesi notaris diharapkan dapat berperan dalam menegakkan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia di Indonesia, serta mampu mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai instrument kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Sebagaimana dikatakan Sudjito sebagai berikut:
“Ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang mampu menjadi pemandu dan obat kerinduan manusia pada kebenaran dan keadilan absolut. Oleh sebab itu, ilmu hukum dituntut bersifat fasilitatif terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia baik lahir maupun batin. Ilmu hukum harus mampu memanusiakan manusia seutuhnya, dan mampu mencegah, membentengi, dan melindungi dari setiap upaya yang melanggar hak asasi manusia”.[43]

Mengenai profesi hukum yang dapat memberikan bantuan jasa di bidang hukum kepada masyarakat di indonesia, Kansil mengkualifikasikan menjadi lima jenis: “Hakim, Penasehat hukum (advokat, pengacara), Notaris. Jaksa, dan Polisi semuanya lengkapi dengan etika profesi hukum, agar dapat melaksanakan fungsi dan kegiatannya dengan sebaik-baiknya”.[44]
Berdasarkan pendapat Kansil di atas, maka dapat kita ketahui bahwa di Indonesia mengenal ada lima jenis profesi hukum, dalam melaksanakan fungsi serta kegiatannya dilengkapi dengan etika profesi hukum itu masing-masing yang disebut dengan kode etik profesi. Oleh karena itu, notaris selaku profesi hukum pun berkewajiban untuk menegakkan, mengembangkan, dan melestarikan profesinya, maka sebagai sine qua non kode etik notaris wajib ditaati, dilaksanakan dan dikontrol sendiri oleh notaris. Dengan demikian eksistensi kode etik profesi notaris, berupa kepercayaan masyarakat terhadap profesi notaris dapat diperkuat, karena setiap anggota masyarakat mempunyai ekspektasi atas terjaminnya keadilan dan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum sebagai subyek hukum di dalam masyarakat.
Mengenai hal di atas, dipaparkan juga oleh Widyadharma:

“kedudukan seorang yang profesionalis dalam suatu profesi, pada hakekatnya merupakan suatu kedudukan yang terhormat. Karena itu pada setiap profesi melihat suatu kewajiban agar ilmu yang difahami dijalankan dengan ketulusan hatinya itikat baik serta kejujuran bagi kehidupan manusia. Maka karena itu etika yang dimiliki setiap profesi juga merupakan tonggak dan ukuran bagi setiap professionalis agar selalu bersikap dan bekerja secara etis, dengan mematuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam sumpah dan kode etiknya”.[45]

Lebih lanjut Widyadharma memaparkan:
“Dalam kode etik suatu profesi selalu dilengkapi dengan suatu pedoman bahwa seseorang pengabdi profesi tidak akan mempersoalkan honorarium serta kemungkinan ada honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaannya. Hal mana secara tegas di dalam kode etik notaris juga dapat disebutkan bahwa sekalipun sebenarnya keahlian seorang tenaga professional notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesionalnya ia tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang”.[46]

Hal serupa juga di komentari oleh Sumaryono sebagai berikut:

“Aseptabilitas atau kesedian menerima sebagai kebalikan motif menciptakan uang, adalah ciri khas dari semua profesi pada umumnya. Tujuan utama sebuah profesi bukanlah untuk menciptakan uang semata-mata, tetapi terutama untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan serta ketertiban umum atau penerapan hukum yang baik ke segenap lapisan masyarakat”.[47]

Adapun Koehn memaparkan pendapatnya sebagai berikut:

“Segala kegiatan profesional dibuat dengan tujuan bukan untuk imbalan, melainkan lebih untuk tujuan tertentu atau untuk kebaikan praktek yang berangkutan”.[48]
Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, dapatlah dikatakan bahwa honorarium seorang profesi notaris yang merupakan imbalan atas karyanya tidak perlu seimbang dengan ilmu yang diberikan kepada kliennya, karena tujuan dari profesi notaris adalah mengabdi kepada kepentingan umum (kesejahteraan dan kebahagiaan). Oleh karena itu, profesi notaris  tidak terikat hanya berpengetahuan tinggi saja, akan tetapi terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik notaris. Dengan demikian seorang notaris dituntut memiliki integritas dan moral yang tinggi sehingga dapat menjalankan profesinya secara bertanggung jawab, menghormati hak-hak orang lain, mampu mendahulukan kepentingan orang banyak, dan mengabdi pada tuntutan keluhuran dan kemuliaan profesi notaris di Indonesia.
C.  Tantangan Notaris Dalam Penegakan HAM di Indonesia.
Setiap manusia menginginkan kebahagiaan, baik kebahagiaan di dunia terlebih-lebih kebahagiaan di akhirat. Profesi apapun, serta dimanapun manusia itu berada dalam menjalankan profesinya tersebut, tidak lain tujuannya adalah hanya untuk meraih kebahagiaan. Kebahagian merupakan hak asasi manusia, sebagaimana diamanatkan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Tentang HAM “Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”.
Bekerja pada hakikatnya merupakan salah satu kewajiban dasar setiap manusia, dengan malakukan pekerjaan seseorang dapat memperoleh sesuatu yang menjadi haknya sendiri yang merupakan kontra prestasi atas pekerjaan yang telah dilakukannya tersebut. Melalui pekerjaannya, manusia dapat dan berkewajiban melayani sesamanya baik dengan gagasan-gagasan, keterampilan dan melakukan apa saja untuk mengangkat kehidupan keluarga dan kondisinya ke taraf yang lebih baik.[49] Menurut Abdul Kadir Muhammad, pekerjaan yang dilakukan manusia dapat diklasifikasikan kepada tiga jenis, sebagaimana dijelaskannya sebagai berikut:
1.      Pekerjaan dalam arti umum, yaitu pekerjaan apa saja yang dilakukan manusia dengan mengetamakan kemampuan pisik, baik sementara atau .tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan (upah).
2.      Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu, mengutamakan kemampuan pisik atau intelektual, bersifat tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan.
3.      Pekerjaan dalam arti tertentu, yaitu pekerjaan yang mengutamakan kemampuan pisik atau intelektual, baik sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian.[50]

Berdasarkan tiga jenis kualifikasi pekerjaan di atas, profesi notaris adalah masuk pada jenis klasifikasi pekerjaan nomor tiga, dengan kreteria sebagai berikut:
a.       Meliputi bidang tertentu saja (spesialisasi).
b.      Berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus.
c.       Bersifat tetap atau terus menerus.
d.      Lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan (pendapatan).
e.       Bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat.
f.        Terkelopok dalam satu organisasi.
g.       Bertujuan untuk pengabdian kepada masyarakat banyak.[51]

Sebagaimana disebutkan sebelumya, hakikat bekerja juga menuntut seseorang supaya memilih profesi atau keahlian secara bertanggung jawab, baik secara horizontal pada diri sendiri, masyarakat, organisasi (kode etik), maupun secara vartikal pada Tuhan Yang Maha Esa. Akontabilitas sebuah profesi menuntut seseorang untuk mempersiapkan dirinya secara menyeluruh, termasuk notaris. Eksistensi seorang notaris bukan semata-mata untuk dirinya sendiri melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menjadi dasar seorang notaris untuk menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam upaya optimalisasi pelayanan kepada masyarakat sebagai misi utama dalam hidupnya, baik saat menjalankan tugas jabatannya maupun sebagai individual dalam masyarakat sehari-hari.
Profesi notaris harus memahami dan memaknai tugas dan kewajiban utama profesinya sebagai pengabdian kepada masyarakat banyak. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya, memberikan penyuluhan hukum kepada para kliennya untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Hemat penulis, ketentuan pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris, harus dipahami dan dimaknai oleh notaris sebagai upaya untuk penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai upaya ketertiban dan keteraturan.[52]
Selaras dengan hal di atas, Sudjito mengatakan: “Sampai saat ini filosofi pendidikan kenotariatan, disadari atau tidak, telah bergeser dari keinginan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi ingin cepat kaya dan berjaya”. [53]
Hal di atas di dipaparkan Tobing, dikutip oleh Widyadharma sebagai berikut:
“Upaya dalam rangka peningkatan profesionalisme para notaris tidak hanya diketahui tentang tugas dan kedudukan notaris saja akan tetapi harus juga diketahui bagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat yang akan dilayani”.[54]

Pendapat Tobing di atas, memperjelas peranan notaris selaku pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara yang harus dapat melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sungguh sebuah tugas dan tanggung jawab yang teramat berat apabila dimaknai dengan benar. Ketika Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai seorang notaris turun secara yuridis formal, saat itu juga seharusnya tersemat janji untuk menjalankan tugas profesi sebaik mungkin sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, UUJN, serta peraturan perundang-undangan lainnya.[55] Sanksinya pun tidak hanya berupa sanksi hukum dan sanksi moral dari masyarakat, namun harus diyakini bahwa aka nada sanksi spiritual oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ketika Notaris melanggar keluhuran dan martabat profesi notaris, seketika itu juga berarti notaris tersebut telah melanggar tiga hal tersebut.
Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi seorang notaris dalam penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia, seyogianyalah seorang notaris harus membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan disamping ilmu kenotariatan yang paling esinsial, juga senantiasa mengembangkan pengetahuan yang sifatnya intelektual, emosional, maupun spiritual agar tetap di jalur kebenaran untuk pengabdian kepada kesejahteraan masyarakat.[56]
Kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan, hal ini dapat mendorong diri notaris terseret ke arah jebakan yang bersifat materialisme dan hedonism, hingga akhirnya dapat melanggar sumpah/janji dan misi notaris yang mulia dan luhur. Walaupun regulasi telah membentengi agar praktik yang tercela itu tidak muncul, namum tetap saja tidak dapat menjamin seratus persen. Satu-satunya hal yang dapat menjamin notaris berjalan di koridor yang benar adalah kualitas diri notaries itu sendiri.
Kemulian dan keluhuran profesi notaris sekarang cenderung semakin memudar (degradasi), hal ini dikarenakan terus bertambahnya daftar nama notaris yang terkait dengan perkara di pengadilan baik perkara perdata maupun perkara pidana. Selain kualitas diri notaris yang kurang mampuni, dapat juga dikarenakan trendnya profesi notaris sebagai mesin pencetak uang. Sebagaimana dikatakan Sugiono yang dikutip Majalah Renvoi sebagai berikut:
“Trendnya notaris sekarang hanya dapat uang saja, sehingga tidak memperhatikan lagi bahwa dia menyandang suatu pekerjaan yang professional. Hal ini saya katakan berdasarkan sering banyak klien yang mengeluh, serta banyak kasus di Pengadilan yang menyeret notaris selaku terdakwa, dan saya sering dimintakan menjadi saksi ahli dalam teknik pembuatan akta”.[57]

Sejalan apa yang dikatan Sugiono tersebut Gunardi juga mengatakan:
“Seorang notaris bekerja tidak melulu berorientasi pada hitungan untung-rugi, melainkan dibebani pula tanggung jawab sosial. Yakni, wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada mereka yang tidak mampu. Begitulah yang ditegaskan dan di atur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN)”.[58]

Bertitik tolak pada ke-dua pendapat praktisi notaris di atas, dapat kita jumpai adanya sebuah tantangan bagi notaris untuk memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan[59] atau kenotarisan[60] secara cuma-cuma oleh notaris, namun demikian pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini tidak kita jumpai baik di dalam UUJN, Kode Etik Notaris, maupun peraturan organik, sebagai ketentuan yang mengatur tentang pemberian jasa hukum secara cuma-cuma oleh notaris.[61] Mengingat belum adanya akses masyarakat untuk mendapatkan jasa hukum di bidang kenotariatan/kenotarisan dari profesi notaris di Indonesia, maka sedah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan akses itu secara kelembagaan. Jika melalui profesi advokat berupa Lembaga Bantuan Hukum (LBH), maka melalui profesi notaris berupa Lembaga Bantuan Akta Notaris (LBAN). Sungguh sebuah tugas yang mulia dan luhur bagi notaries, jika adanya akses yang tersistem / kelembagaan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cuma-cuma, sebagai upaya penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.  
D.  Lembaga Bantuan Akta Notaris (LBAN), Sebuah Gagasan Manifestasi Penegakan HAM Oleh Notaris di Indonesia.
Berbicara mengenai penegakan hak asasi manusia di Indonesia, sebagaimana telah penulis paparkan terdahulu, secara deklaratif hak asasi manusia telah dikumandangkan oleh bangsa Indonesia yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945.[62] Penegakan hak asasi manusia secara formal[63] di bumi Indonesia ini terjadi 3 (tiga) tahun sebelum lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tepatnya tanggal 10 Desember 1948, yang diterima dan umumkan majelis umum PBB melalui resolusi 217 A(III).[64]
Pembukaan UUD 1945 itu terdiri dari 4 (empat) alinea atau baris kalimat, yang jika ditelaah muatan isinya menunjukkan arti dan maksud yang bersifat umum dan universal. Pembukaan UUD 1945 yang tersusun secara formal 4 pokok itu bersinergi dan terintegrasi satu sama lainnya, maka untuk memahami muatan dari pembukaan UUD 1945 itu harus memahami alinea secara keseluruhan. Sebagaimana dikatakan Jarmanto:  “Pembukaan Undang-Undang Dasar secara formal tersusun di dalam empat bagian pokok itu, isi kebenarannya terdapat di dalam keseluruhan dan kebulatan arti keempat alinea tersebut, maksudnya ialah bahwa arti yang benar dari alinea pertama hanya dapat kita fahami jika kita juga memahami arti dari ketiga alinea yang lain”.[65]
Berdasarkan rumusan sila-sila yang menjadi dasar Negara Indonesia, menggambarkan bahwa adanya pengakuan dari bangsa Indonesia kepada hak asasi manusia yang bersifat universal, jadi bukan orang perorang dan bukan kelompok tertentu saja. Hal ini dapat kita lihat pada subjek digunakan dalam kalimat sila-sila pancasila tersebut yakni, Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
Selanjutya dalam konstitusi kita hak asasi manusia ini dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945, bahkan dicantumkan dengan jelas dan tegas sebagai judul BAB XA UUD 1945 “HAK ASASI MANUSIA”. Sebagai hukum dasar UUD 1945 tidak memberi pengertian tentang hak asasi manusia, namun pengertian hak asasi manusia ini dapat kita ketahui di dalam pasal 1 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dan dalam Ketentuan Umum pasal 1 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Merujuk pada Pancasila sebagai dasar Negara, dan ketentuan yang diamanatkan UUD 1945, serta Undang-Undang yang khusus mengatur tentang HAM di atas, maka hak asasi manusia di Indonesia harus ditegakkan, dilindungi, dan diperjuangkan dalam pemenuhannya kepada seluruh masyarakat Indonesia. Termasuk rasa keadilan dalam perlakuan hukum dan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum.
Notaris sebagai pejabat umum mempunyai kewenangan dalam melakukan tugas, fungsi dan kewajibannya diberikan negara[66] melalui Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Kewajiban negara yang diamanatkan Pancasila[67] dan UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejateraan umum,[68] dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia sebagain didelegasikan kepada notaris, karena itulah, sebelum menjalankan jabatannya notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya akan menjalankan pancasila, UUD 1945, UUJN, peraturan perundang-undangan lainnya termasuk Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Peradilan HAM.
Berdasarkan pengertian tentang HAM yang diformulasikan dalam pasal 1 Undang-Undang HAM dan pasal 1 Undang-undang Pengadilan HAM, maka hak untuk mendapatkan keadilan dalam perlakuan hukum (Equality Before the Law) dan hak untuk mendapatkan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum sebagai subyek hukum di dalam masyarakat merupakan hak asasi manusia yang wajib ditegakkan, dilindungi dan dipenuhi serta dijunjung tinggi oleh setiap orang, terutama notaris yang relevan dengan tugas dan fungsinya di dalam masyarakat. Sebagaimana diatur dalam pasal 1 UUJN :” Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pendelegasian[69] kewenangan membuat akta otentik oleh negara ini sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan,[70] sejalan dengan lalu lintas hukum yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Akta Otentik produk notaris ini, selain berfungsi untuk mencegah sengketa karena telah menentukan dengan jelas hak dan kewajiban subyek hukum dalam lalu lintas hukum di masyarakat, juga mempunyai peranan yang sangat penting sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat jika sengketa tidak dapat dihindarkan.[71]
Sebagaimana telah penulis paparkan terdahulu bahwa, payung hukum yang utama bagi profesi notaris dalam menjalankan profesi jabatannya adalah UUJN dan Kode Etik Notaris. Pasal 37 UUJN memerintahkan: “Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu”. Hal serupa ditegaskan kembali dalam pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris yang menyebutkan notary berkewajiban: “Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium”. Disamping itu notaris juga berkewajiban untuk “mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara”. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 3 angka 6 Kode Etik Notaris.
Pencantuman pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 pada Kode Etik Notaris di atas oleh penggagasnya diharapkan menjadi salah satu bentuk kepedulian (rasa sosial) notaris terhadap lingkungannya dan merupakan wujud  pengabdian profesi notaris terhadap masyarakat, bangsa dan Negara. Namun sangat disayangkan, implementasi terhadap ketentuan di atas masih berada ditataran formal, dalam artian penegakan hak asasi manusia oleh notaris masih sebatas pembuatan peraturannya, belum sampai pada implemtasi terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam ketentuan tersebut. Hal ini sangat memprihatinkan dunia penegakan hukum, (penegakan hukum yang penulis maksud  disini bukan penegakan hukum HAM dalam perspektif normatif, melainkan penegakan hukum HAM dalam perspektif Sosiologis)[72]. Sudah seyogianya profesi notaris mempunyai berperan aktif dalam penegakan hak asasi manusia, memberikan pelayanan Bantuan Akta Notaris (BAN)[73] kepada masyakat secara cuma-cuma guna perlindungan sebagai subyek hukum dan pemenuhan hak rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum dalam mobilitas kehidupan bermasyarakat, dengan demikian rasa keadilan dan rasa aman bagi masyarakat akan terjamin.
Urgensitas akta otentik produk notaris yang begitu besar dalam penegakan, perlindungan, pemenuhan serta menjamin adanya kepastian hukum, ketertiban dan keadilan dalam mewujudkan tujuan negara bagi kepentingan masyarakat (kesejahteraan dan kebahagiaan). Peran serta yang dominan, dari kewenangan yang dimiliki profesi notaris yang diberikan negara melalui UUJN sangat dibutuhkan dan dinanti-nantikan oleh masyarakat banyak. Belum terwujudnya suatu lembaga khusus yang menangani pembuatan akta secara cuma-cuma oleh notaris di tanah air ini, menambah buruknya citra profesi hukum di tanah air, terutama profesi notaris. Keluhuran dan kemuliaan profesi notaris di masyarakat semakin memudar dan terpendam, bersamaan dengan mahalnya tarif / fee sebagai prestasi dari jasa yang notaris berikan kepada masyarakat. Bahkan kecendrungannya sebagian besar notaris di Indonesia hanya milik mereka yang berkelas/mempunyai kemampuan secara finansial.
Bertambahnya deretan nama notaris yang duduk dikursi pesakitan bukan sebagai saksi, namun sebagai tersangka / terdakwa dalam proses peradilan menambah kelam potret profesi hukum di Indonesia, dan memperkuat keyakinan masyarakat tentang kebobrokan dalam penegakan hukum di Indonesia, dan akhirnya bermuara pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi hukum yang ada. Sebagaimana dikatakan Achmad Ali:
 “Kebobrokan dalam law enforcement, yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan warga masyarakat merupakan “lingkaran syetan” yang hanya mampu dipecahkan oleh penegak hukum itu sendiri”.[74]
Negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana penegakan hak asasi manusia. Penegakan hak asasi manusia harus dilihat dari dua sisi yakni preventif (pencegahan) dan penindakan, proses penegakan hak asasi manusia pun bukan hanya melalui peradilan. Sebagian besar para pemikir hukum di Indonesia berbicara mengenai penegakan hak asasi manusia lebih mengacu pada penindakan, termasuk para pembuat undang-undang yang merupakan bagian dari proses penegakan hak asasi manusia, hal ini dapat kita lihat pada pasal pasal 4 Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum: “Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum”. Lebih lanjut pasal 6 menyebutkan: “Bantuan hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi penerima bantuan hukum”.
Sudah menjadi mafhum dikalangan profesi hukum, bahkan masyarakat yang sering bersinggungan dengan profesi hukum bahwa, salah satu perbedaan yang signifikan antara profesi hukum advokat dengan profesi hukum notaris adalah pada fungsinya, Advokat bertindak cendrung pada penindakan berupa menyelesaikan perselisihan/sengketa, dan notaris bertindak lebih pada prefentif berupa mencegah terjadinya perselisihan /sengketa.  Hemat penulis, tindakan penyelesaian sengketa oleh advokat, maupun tindakan prefentif untuk mencegah terjadinya sengketa oleh notaris, namun kedua profesi hukum ini sama-sama dalam konteks penegakan hukum dan penegakan hak asasi manusia. Pertanyaannya sekarang, mengapa perhatian kita terutama pelaku hukum lebih besar pada penindakan? Ditandai dengan terbembentuknya  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Oleh Advokat yang terbentang di segala penjuru tanah air, bahkan dilahirkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011Tentang Bantuan Hukum.
Notaris merupakan salah satu jabatan profesi yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengakomodasi perbuatan hukum yang dilakukan masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman, bahkan UUJN menyebut notaris sebagai pejabat umum yang bertujuan untuk melayani masyarakat. Semua yayasan Pos bantuan hukum menggunakan produk notaris.[75] Akta otentik yang merupakan produk dari notaris dapat melindungi dan memberikan rasa aman terhadap masyarakat. Sebagian besar kebutuhan hubungan hukum di tengah masyarakat memerlukan jasa notaris, namun karena mahalnya tarif yang ditentukan notaris membuat sebagian besar dari anggota masyarakat memilih tidak menggunakan jasa notaris, Urgensitas akta otentik dari notaris tersebut dapat mencegah terjadinya sengketa di dalam masyarakat, karena menentukan dengan jelas kedudukan anggota masyarakat sebagai subyek hukum dalam lalu lintas hubungan hukum di dalam masyarakat.
UUJN dan Kode Etik Notaris sebagai payung hukum bagi notaris dalam menjalankan profesi jabatannya, mengamanatkan agar notaris ikut berperan aktif dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Hal ini dapat kita ketahui dengan adanya ketentuan pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris. Mewajibkan kepada notaris untuk memberikan jasa hukum pembuatan akta secara cuma-cuma tanpa memungut honorarium/fee bagi yang menggunakan jasanya. Indonesia dalam konteks negara hukum yang menjamin HAM, seyogianya membentuk Lembaga Bantuan Akta Notaris (LBAN)[76] sebagai manifestasi penegakan, perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia, juga manifestasi keluhuran dan kemuliaan dari profesi notaris di Indonesia, sehingga dapatlah dikatakn profesi notaris itu profesi yang luhur dan mulia (Officium Nobile).

E.   Penutup
Notaris sebagai pejabat umum, merupakan salah satu jabatan profesi yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengakomodasi perbuatan hukum yang dilakukan masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman. Urgensitas akta otentik produk dari notaris, menentukan dengan jelas kedudukan anggota masyarakat sebagai subyek hukum dalam lalu lintas hubungan hukum di masyarakat, sehingga dapat mencegah terjadinya konflik di dalam masyarakat. Terjadinya sengketa yang tidak dapat dihindarkan, akta otentik produk notaris merupakan alat bukti sempurna dalam meyelesaikan konflik yang terjadi di dalam masyarakat.
Kewenangan dan kewajiban notaris yang diberikan negara melalui UUJN hampir meliputi semua ruang gerak hubungan hukum yang ada di masyarakat, semua organisasi kemasyarakatan baik perkumpulan maupun yayasan yang berbadan hukum membutuhkan produk notaris dalam pendiriannya. Bahkan Yayasan Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) yang lahir dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum pun membutuhkan akta notaris. Sebagai upaya penegakan HAM, seyogianya di Indonesia dibentuk secara kelembagaan mengenai bantuan jasa hukum dari notaris dengan cuma-cuma untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Terbentuknya Lembaga Bantuan Akta Notaris (LBAN) ini, merupakan manifestasi penegakan HAM di Indonesia oleh profesi notaris,  sejalan dengan tujuan dilahirkannya UUJN untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyakat, terutama yang diamanatkan pasal 3 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris Indonesia.   
Degradasi idealisme profesi hukum di Indonesia semakin nyata dan terasa, karena seringnya keadilan dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa, masyarakat yang mempunyai kemampuan finansial dan strata sosial yang tinggi, akhirnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah fatamorgana bagi masyarakat. Idealisme profesi notaris sebagai pejabat umum seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme dan hedonisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Himpitan materialisme dan kebutuhan hidup serta eksistensi operasional kantor menjadi alasan klise bagi notaris untuk memberikan pelayanan secara cuma-cuma kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
I.       BUKU
Adjie, Habib, Hukum Notari Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2008.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebabnya dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Alkostar, Artdjo, Negara Ini Tanpa Hukum Catatan Pengacara Jalanan, PUSHAM UII, Yogyakarta, Cetakan ke dua (edisi revisi), 2008.
______, Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004.
______, Peran dan Tantangan Advokat Dalam Era Globalisasi, FH UII Press, Yogyakarta, 2010.
Andasasmita, Komar, Notaris I Peraturan Jabatan, Kode Etik, Asosiasi Notaris/Notariat, Cetakan Ketiga, Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, Bandung, 1991.
Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009.
______, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2008.
Asplund, Knut D, Marzuki, Suparman, Riyadi, Eko (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008.
Budiarto, M.Ali, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta, 2005.
Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005.
Fadjar,  A. Mukthie, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publishing, Cetakan ke dua, Malang, 2005.
Jarmanto, Pancasila Suatu Tinjauan Aspek Historis dan Sosio-Politis, Liberty Yogyakarta, 1982.
Kansil, C.S.T, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
Kie, Tan Thong, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Icthiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000.
Koehn, Daryl, Landasan Etika Profesi, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Liliana Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris, PT. Bayu Indra Grafika, Yogyakarta, 1995.
Lubis, Suhrawardi K, Etika Profesi Hukum, Sinar Garfika, Jakarta, 1994.
M.S, Kaelan, Filsafat Pancasila, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1991.
MA, Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Karya Harapan, Surabaya, tanpa tahun.
Marzuki, Suparman, Robohnya Keadilan! Politik Hukum HAM Era Reformasi, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2011.
Muhammad, Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2008.
Rahardjo, Satjipto,  Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
______,  Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
______, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
______, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
Rampai, Bunga, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007.
Sumaryono, E, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Tanya, Bernard L, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
UNHCR, Departemen Kehakiman dan HAM dan POLRI, Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum, Cetakan-1, Jakarta, 2002.
Usman, H. Suparman, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan ke-dua, 1986.
Widyadharma, Ignatius Ridwan, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Wahyu Pratama, Semarang, 1991.

II.      PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Berita Negara Tahun ke-II 1946. LN No. 75 Tahun 1959.
_____, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. LN No. 117 Tahun 2004, TLN No. 4432.
_____, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, LN No.165 Tahun 1999. TLN No. 3886.
_____, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Aasi Manusia. LN No. 208 Tahun 2000, TLN No. 4026.
_____, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, LN No. 104 Tahun 2011, TLN No. 5248.
       _____,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, LN No.12 Tahun 2009, TLN No. 4967.
_____, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Reglement op Het Notaris Ambts in Indonesie (STB 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101.
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus – 22 September 1949.
Ikatan Notaris Indonesia, Kode Etik Notaris Indonesia.


[1] Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 secara  Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 3
[2] Jarmanto, Pancasila Suatu Tinjauan Aspek Historis dan Sosio-Politis, Liberty Yogyakarta, Yogyakart, 1982, hlm. 126.
[3] Ibid, hlm. 131.
[4] Baca Kaelan M.S, Filsafat Pancasila, Disusun Berdasarkan Silabus Dan SAP Tahun 1990, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1991, hlm, 45.
[5] Artidjo Alkostar, Dalam Kata Pengantar: Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007, hlm. xi.
[6] Hak Asasi Manusia pada pasal 28A – 28j UUD 1945, yang isi pokoknya menjamin hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita. hak anak, hak tertib kehidupan berbangsa dan bernegara.
[7] Pengertian yang sama disebutkan juga dalam Ketentuan Umum pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[8] Satjipto Rahardjo dalam Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005, hlm. 1
[9] pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
[10] Baca juga Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[11] Pasal 37 UUJN menyebutkan: “Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu”.
[12] Kode Etik Notaris, ditetapkan 28 Januari 2005, di bandung: “Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium”.
[13] Baca juga Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mengenai kewenangan notaris.
[14] Baca juga Muntoha, Hak Asasi Manusia di Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Op. Cit, hlm. 258-267.
[15] H.R. Soejadi, Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, dalam Membangun Hukum Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2008, hlm. 89.
[16] Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 37.
[17] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan ke dua, 1986, hlm.80.
[18] Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Icthiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hlm. 162
[19] Alinea ke empat pembukaan yakni: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
[20] Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan pasal 165 HIR jo 285 Rbg jo 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. M.Ali Budiarto, “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad”, Swa Justitia, Jakarta, 2005, hlm. 150.
[21] Baca Juga pasal 4 Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[22] Baca Juga Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 212.
[23] Pasal 21 dan 22 UUJN Mengatur mengenai Formasi Jabatan Notaris.
[24] Artidjo Alkostar, Negara Ini Tanpa Hukum Catatan Pengacara Jalanan, PUSHAM UII, Yogyakarta, Cetakan ke dua (edisi revisi), 2008, hlm.6.
[25] Gagasan Penulis Urgensi, Peran dan Tantangan Notaris dalam Pengakan HAM di Indonesia.
[26] Baca Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004, hlm.1-2.  
[27] R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 13.
[28] Notaris pertama di Indonesia (pada waktu itu disebut Nederlandst Oost Indie) ialah seorang Belanda bernama Melchior Kerchem. Ia diangkat Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sebagai notaris di  Jacatra pada tanggal 20 Agustus 1620. Tertanggal 4 Maret 1621 diberi nama Batavia. Komar Andasasmita, Notaris I, Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, Bandung, 1991, hlm.29-30.
[29] Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2008, hlm. 104.
[30] Baca Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-tiga, Bandung, 1991, hlm.132
[31] Baca juga Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 25-27.
[32]  http;//groups.yahoo.com/group/notaris_indonesia/message/1416, Jusuf Patrick, Dunia Kenotariatan yang Profesional, di akses tanggal 21 Maret 2012.
[33]  Alex MA, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Karya Harapan, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 525.
[34] Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris, PT. Bayu Indra Grafika, Yogyakarta, 1995, hlm. 32.
[35] H. Suparman Usman, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008, hlm.121.
[36] C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm. 4.
[37] Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Garfika, Jakarta, 1994, hlm. 10.
[38] Baca C.S.T. Kansil, Op. Cit. hlm. 4.
[39] H. Suparman Usman, Op. Cit. hlm. 120.
[40] Lok. Cit.
[41] Pasal 4, 5 dan 6 UUJN mengatur tentang sumpah/janji notaris.
[42] Baca Artidjo Alkostar, Peran dan Tantangan Advokat Dalam Era Globalisasi, FH UII Press, Yogyakarta, 2010, hlm. 145
[43] Sudjito, Perkembangan Ilmu Hukum : Dari Positivistik Menuju Holistik dan Implikasinya Terhadap Hukum Agraria Nasional, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2007, hlm. 14.
[44] CST. Kansil, S.H., Op.Cit. hlm. 7.
[45] Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Wahyu Pratama, Semarang, 1991, hlm. 50.
[46] Ibid. Hlm. 5.
[47] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 34.
[48] Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 68
[49] Baca juga Penjelasan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM.
[50] Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 57
[51] Baca juga Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 69-72.
[52] Knut D. Asplund, Suparman Marsuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, hlm. 265-266.
[53] http//hukum.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=184&itemed=127, Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si. Pendidikan Kenotariatan Tak Sekadar untuk Kaya dan Berjaya, diakses 17 Maret 2012.
[54] Ignatius Ridwan Widyadharma, S.H., MS. Op.Cit. Hlm.106.
[55] Baca kembali bunyi sumpah/janji notaris pasal 4 UUJN.
[56] Baca juga A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publishing, Cetakan ke dua, Malang, 2005, hlm. 28
[57] Hendrika Suwarti Sugiono, Renvoi, Edisi Nomor 11.47.IV, 2007, hlm. 46
[58] Gunardi, Profesi Notaris di Masa Sekarang, Internet, diakses 13 Januari 2009.
[59] Penyebutan pasal 37 UUJN.
[60] Penyebutan pasal 3 angka 7 kode etik notaris.
[61] Penulis membedakan antara pemberian bantuan hukum oleh advokat dan pemberian jasa hukum di bidang kenotarisan oleh notaris.
[62] Lihat kembali halaman pertama tulisan ini, sengaja tidak penulis tuliskan agar tidak terjadi pengulangan kata dalam penulisan ini.
[63] Baca Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm.23-24.
[64] Baca UNHCR, Departemen Kehakiman dan HAM dan POLRI, Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum, Cetakan-1, Jakarta, 2002, hlm.1.
[65] Jarmanto, Pancasila Suatu Tinjauan Aspek Historis dan Sosio-Politis, Op. Cit, hlm. 35
[66] Baca juga Pasal 28i UUD 1945 ayat 4 dan 5.
[67] Kedudukan Pancasila sebagai sumber hukum dasar nasional, sumber dari segala sumber hokum yang berada di atas konstitusi, kaidah pokok negara yang fundamental (Staats Fundamental Norm). Baca juga H. Suparman Usman, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Op.Cit, hlm. 129-143.
[68]Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial yakni: Kondisi tepenuhinya kebutuhan material, Speritual dan social warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mngembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.  
[69] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 78.
[70] Baca juga pasal 28c (1), pasal 28D(1), pasal 28G(1), pasal 28H (1-4), pasal 28I (1,2,4 dan 5), dan pasal 28j (2) UUD 1945 amandemen ke empat.
[71] Baca juga Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
[72] Baca Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan! Politik Hukum HAM Era Reformasi, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2011, hlm. 34-42.
[73] Sebuah gagasan untuk perkembagan penegakan hak asasi manusia khususnya di bidang kenotariatan.
[74] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebabnya dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 103-104.
[75] Pendirian Yayasan Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) Menggunakan Akta Notaris.
[76] Gagasan penulis dalam penulisan: Urgensi, Peran dan tantangan Notaris Dalam Penegakan Hak asasi manusia di Indonesia.