Selasa, 30 September 2014

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM HAM DI INDONESIA (Studi Kasus Di Daerah Istimewa Yogyakarta)



PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM HAM DI INDONESIA
(Studi Kasus Di Daerah Istimewa Yogyakarta)
By: Bedi Setawan Alfahmi, S.H., M.Kn

A.  Latar Belakang Masalah

“Kejahatan Akan Terus Ada, Bukan Karena Banyaknya Orang-Orang Jahat. Tapi Karena DIAMNYA ORANG BAIK..!

Sepenggal kalimat di atas sengaja penulis tukilkan untuk mengawali penulisan ini, mengingat merajalelanya kejahatan di negeri ini, dan semakin tingginya frekuensi kejahatan itu dilakukan oleh para pemangku kekuasaan dengan metode yang terorganisir dan cendrung kolektif. Kekuasaan yang sejatinya menjadikan seseorang sebagai pelayan dan pengayom kepada masyarakat dalam memberikan rasa aman, adil dan makmur untuk mencapai masyarakat yang sejahtera, telah disalahgunakan (a buse of power) dengan memenjarakan hak-hak warga negara, bahkan mengeksploitasikannya sedemikian rupa, sehingga rakyatpun tak berdaya. Hati kita bertambah miris, tatkala dihadapkan pada sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa, kejahatan itu dilakukan oleh aparatur penegak hukum pada masyarakat pencari keadilan di saat proses penegakan hukum di lembaga peradilan, dalam bahasa sosial disebutkan “mafia peradilan”.
Sedemikian parahnya potret penegakan hukum di negeri ini. Sehingga, Artidjo Alkostar salah satu Hakim Agung non-karir mengusulkan untuk dilakukan General Check up terhadap seluruh tubuh peradilan baik polisi, jaksa, hakim dan advokat, adanya kasus-kasus hukum yang menyeret aparatur penegak hukum duduk dikursi pesakitan menunjukkan suasana tragikomis.[1] Substansi pemikiran yang sejalan dengan pandangan Artidjo Alkostar di atas, dikemukakan juga oleh Suparman Marzuki dalam mendeskripsikan barometer kondisi parahnya penegakan hukum di tanah air saat ini, pada sinopsis salah satu bukunya ia menuliskan: “Hukum membawa kita menjauh dari nilai keadilan, Prosesi peradilan seperti ritual yang kaya simbol tapi miskin makna, bahkan peradilan dijadikan tempat berlindung dan medan pembelaan kejahatan para penguasa”.[2]
Secara deklaratif bangsa Indonesia telah mengumandangkan HAM sejak tanggal 17 Agustus 1945, hal ini dapat dibuktikan pada pembukaan UUD 1945 yang mengkristalkan hakikat HAM secara implisit“Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikeadilan dan prikemanusiaan”.
Hak asasi juga telah dikristalkan oleh Founding Father dalam Grand Norm yang merupakan dasar dan falsafah ideologi negara,[3] sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.[4] Sebagaimana dituangkan dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan sila ke dua: “Kemanusiaan Yang Adil Dan beradab”.[5] Sejalan dengan sila kedua Pancasila ini, Artidjo Alkostar mengatakan: “Membangun Peradaban Bangsa Dengan Menegakkan Hak Asasi Manusia”.[6]
Kesadaran akan konsep negara hukum sebagai pilihan yang ideal bagi bangsa Indonesia ini pun secara tegas dikodefikasikan dalam penjelasan UUD 1945 dengan mengatakan “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Robohnya rezim gurita, yang menerapkan tata pemerintahan ala kerajaan selama 32 tahun mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang reformasi. Salah satu tuntutan reformasi kala itu mengamanatkan kepada pemerintahan transisi (BJ Habibie) untuk melakukan supremasi hukum  dengan menyeret pemegang tampuk kekuasaan (Soeharto) di kursi pesakitan untuk diadili. Hal ini mengedentifikasikan adanya perubahan haluan tatanan berbangsa dan bernegara menuju ke arah yang lebih kongkrit dengan semangat konstitusional (law enforcement), sementara dari sisi konstitusional formal (law making) diawali dengan terjadinya amandemen terhadap UUD 1945, semula merupakan sesuatu hal yang kramat dan tabu untuk dilakukan, menjadi suatu keharusan dalam memasuki babak baru perjalanan bangsa indonesia menuju era reformasi dengan ekspektasi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan yang merata bagi rakyat Indonesia sebagai tujuan dari berbangsa dan bernegara.
Proses konsep bangsa Indonesia sebagai negara hukum menjadi lebih nyata saat dikukuhkannya dengan meng-upgrade konstitusi melalui amandemen ketiga UUD 1945 Tahun 2001, semula konsep negara hukum itu hanya termuat pada penjelasannya,[7] menjadi dimasukkan pada batang tubuh UUD 1945.[8] Amandemen ketiga pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini secara tegas merumuskan bahwa, “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum”. Perubahan konsep dengan mengukuhkan bangsa Indonesia sebagai negara hukum pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini menghendaki adanya, jaminan dari negara kepada setiap warga negara agar terselenggaranya persamaan kedudukan di dalam hukum, lebih lanjut dimanifestasikan hak-hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum (justice for all), juga dikehendaki adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk mendapatkan akses keadilan (access to justice). Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.[9]
Pertaruhan berjalan mulusnya kesetaraan kedudukan dan perlakuan di mata hukum, bagi setiap warga negara dalam mencari keadilan melalui lembaga peradilan ini tidak semudah dan semulus membaca teks yang ada. Disamping membutuhkan keterampilan khusus, mereka juga dihadapkan pada persoalan yang krusial terkait dengan budaya praktik di persidangan yang mengenyampingkan hukum dengan menghalalkan segala modus operandi. Dalam konteks ini, sama halnya warga negara dihadapkan pada sebuah tembok yang kokoh dan perkasa, namun mereka harus melaluinya dengan tangan kosong tanpa persiapan apa-apa.
Pasca amandemen ketiga UUD 1945, tepatnya tanggal 10 November 2001. Menambahkan ayat (3) pada pasal 1 UUD 1945 (negara Indonesia adalah negara hukum) dan mengubah pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menjadi (kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD). Secara jelas dan tegas konsep negara dalam konstitusi kita mengatakan negara ini adalah negara hukum, dan kedaulatan negara kita ada di tangan rakyatnya. Sebelumnya pada saat amandemen kedua tanggal 18 Agustus 2000, terjadi penambahan 1 bab dengan 10 pasal 28A – 28J, Bab XA ini berjudul Hak Asasi Manusia.      
Peran dan fungsi advokat sebagai Officium nobile  bukan saja pada saat proses penegakan hukum di peradilan (litigasi) yang berakhir dengan putusan lembaga peradilan (legal formal), namun peran dan fungsi advokat yang lebih urgen yakni sebelum proses penegakan hukum di peradilan (non litigasi), dengan memberikan pengertian dan pemahaman kepada masyarakat pencari keadilan agar mereka mengetahui dan memahami sehingga meyakini bahwa, jalan hukum dan upaya hukum itu terbuka untuk semua orang yang ingin menyelesaikan problematika hukum yang dihadapinya, dan hal ini merupakan hak asasi yang dapat mereka peroleh dan pergunakan secara efektif. Sebagaimana dikatakan Padmo Wahjono “Setiap hak asasi itu mutlak harus ada dan dimiliki setiap orang secara efektif, agar dia dapat disebut sebagai manusia”.[10]
Hak asasi dapat diperoleh dan dipergunakan bukan diberikan negara dikarenakan mereka tergolong orang miskin, buta hukum dan tidak mampu, melainkan dikarenakan mereka adalah manusia. Hak asasi itu melekat pada diri manusia tanpa ada perbedaan. Sebagaimana disebutkan dalam kesimpulan dari hasil riset (Pengalaman Empiris) inisiasi dan analisa pelaksanaan bantuan hukum di tingkat propinsi, kabupaten/kota, dan di tingkat lokal oleh YLBHI:
“Paradigma bantuan hukum tidak terletak pada pertimbangan ekonomi atau ketidakmampuan masyarakat akibat alasan ekonomi, tetapi terletak pada ketidakmampuan masyarakat akibat alasan-alasan yang menutup akses hukum dapat berjalan dengan adil. Sehingga, bantuan hukum seharusnya tidak hanya diberikan pada masyarakat miskin, namun juga kepada masyarakat yang tidak mampu karena alasan-alasan sosial politik yang menghalanginya mendapatkan perlakuan hukum yang adil.[11]

Adapun Pengertian Hak Asasi Manusia dapat kita lihat pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Globalisasi menerjang semua negara tanpa pandang bulu, krisis keuangan global yang menjadi (Hot Issue) di belahan dunia saat ini dirasakan juga oleh lembaga profesi di Indonesia, khususnya ketika berbicara mengenai idealisme dan martabat profesi advokat. Idealisme seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Advokat sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan yang serupa. Advokat diminta menjaga idealismenya sebagai penegak hukum untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, namun di sisi lain advokat dihimpit oleh kehidupan materialisme untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan maraknya pragmatisme dan hedonisme sebagai karakter masyarakat.
Walaupun penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi dalam hukum nasional telah dijamin secara formil (justice for all) seringkali ditemukan pada masyarakat pencari keadilan kesulitan untuk mendapatkan keadilan (access to justice) dalam menyelesaikan permasahan hukum yang dihadapinya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, punulis terilhami ingin melakukan suatu penelitian dengan judul: Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Dalam Perspektif Penegakan Hukum HAM Di Indonesia”.
B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Untuk Memenuhi Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Telah Sesuai Dengan Konsep Penegakan Hukum HAM?

2.      Bagaimanakah Konsep Pemberian Bantuan Hukum Dalam Penegakan Hukum HAM Terkait Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Oleh Advokat?

3.      Apakah Kendala Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Untuk Memenuhi Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Dalam Perspektif Penegakan Hukum HAM?

Catatan: Tulisan Lengkap Dari Penulisan Ini ada Pada Penulis


[1] Artidjo Alkostar, Fenomena Tragikomis Penegakan Hukum, Kompas, Jumat, 24 Oktober 2008, Internet diakses 9 April 2014. http://ragam-opini.blogspot.com/2008/11/artidjo-alkostar-fenomena-tragikomis.html
[2]  Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan! Politik Hukum HAM Era Reformasi, PUSHAM UII Yogyakarta, 2011, Sinopsis Cover Sampul Bagian Belakang.
[3] Jarmanto, Pancasila Suatu Tinjauan Aspek Historis dan Sosio-Politis, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1982, hal. 126.
[4] Ibid, hal. 131
[5] Kaelan M.S, Filsafat Pancasila, Disusun Berdasarkan Silabus Dan SAP tahun 1990, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1991, hal. 45.
[6] Artidjo Alkostar, Kata Pengantar, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007, hal.xi
[7] Penjelasan umum Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tentang Sistem Pemerintahan Negara Angka I,  Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka(Machtsstaat) .
[8] Negara Indonesia adalah Negara Hukum, Amandemen Ketiga tahun 2001, pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
[9] UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999 - Keempat 2002), Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
[10] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, cetakan kedua, 1986, hal. 33.
[11] YLBHI, Bantuan Hukum Bukan Hak Yang Diberi, YLBHI, Jakarta, Cetakan I, Juni 2013, hal. 99.