Minggu, 04 Desember 2011

KRIMINALISASI SUMPAH JABATAN APARATUR PENEGAK HUKUM SEBAGAI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESI

KRIMINALISASI SUMPAH JABATAN APARATUR PENEGAK HUKUM SEBAGAI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESI

By; Bedi Setiawan Al Fahmi

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah fakta yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat indonesia khususnya para pencari keadilan melalui lembaga peradilan di negeri ini merasa kecewa, karena seringnya keadilan dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa dan golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan finansial, dan akhirnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah fatamorgana bagi masyarakat pencari keadilan. Masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan berhukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring dialamatkan kepada aparatur penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, hakim, advokat, hingga Petugas Lembaga Pemasyarakatan.

Berdasarkan hal di atas, hemat penulis ada sesutau yang salah dengan penegakan hukum di tanah air ini, salah satu masalahnya yakni ada pada aparatur penegak hukum, yesmil dan adang menggunakan istilah “petugas hukum”,[1] Sedang Rusli menggunakan istilah “selaku motor dan aktor dalam bekerjanya Sistem Peradilan Pidana”[2]. Terutama fungsi penegak hukum dalam peranannya yang negatif.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok pikiran yang melatar belakangi penulisan tugas di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Apakah Kebijakan Penal kriminalisasi terhadap sumpah jabatan aparatur penegak hukum dapat menanggulangi kejahatan di Indonesia?

B. Pembahasan

Berbicara mengenai kebijakan penal mengenai kriminalisasi terhadap sumpah jabatan aparatur penegak hukum sebagai langkah pembaharuan hukum pidana di Indonesia untuk menanggulangi kejahatan, sebenarnya tidak lepas dari membicarakan UUD 1945 sebagai suatu dokumen hukum yang berada di puncak hirarki perundang-undangan nasioanal terutama alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 sebagai amanat dari tujuan Negara Indonesia, oleh karena itu, memaparkan tentang pembaharuan hukum pidana seyogyanya mengarah kepada pembangunan hukum nasional Indonesia, sebagaimana dikatakan Barda dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 25 Juni 1994 yaitu:

Ada 4 (empat) komponen utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum nasional yaitu:

1. Komponen norma hukum dan perundang-undangan,

2. Komponen aparatur penegak hukum,

3. komponen kesadaran hukum masyarakat, dan Komponen

4. pendidikan hukum khususnya pendidikan tinggi hukum”.[3]

Berdasarkan pemikiran Barda di atas, dapat disimpulkan bahwa, aparatur penegak hukum merupakan salah satu komponen pembaharuan hukum pidana. Adapun menurut Yesmil dan Adang “Sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrument dari suatu kebijakan kriminal, maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga pembuat undang-undang”.[4]

Merujuk pada pendapat di atas dapat kita ketahui bahwa, peran pembuat undang-undang justru sangat menentukan dalam politik kriminal (crimal politic) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum. Peran dan fungsi aparatur penegak hukum sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan sesuatu hal yang penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya pengembangan dalam melakukan pembangunan hukum nasional itu penting, namun usaha mempersiapkan penegak hukum profesional yang mempunyai dedikasi dan integritas dalam menjalankan tugas profesinya sebagai petugas hukum merupakan faktor utama dalam penegakan hukum. Sebagaimana dikatakan Prof. Tjip:

“Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum, seperti janji untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya”.[5]

Berdasarkan pemaparan Prof Tjip di atas dapat kita ketahui bahwa, eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan oleh aparatur penegak hukum. Oleh karenanya berbicara mengenai proses penegakan hukum, maka secara otomatis kita akan membicarakan faktor manusia dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum itu sendiri, dalam artian dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum itu bukan semata-mata membicarakan hukum yang didasarkan pada apa yang tertera secara tekstual kata demi kata yang tertuang menjadi suatu peraturan hukum, namun peraturan hukum yang bisa ditegakkan di dalam masyarakat.

Perkembangan kehidupan bermasyarakat saat ini telah meningkatkan intensitas dan kompleksitas, tentunya hukum itu juga harus semakin luas dan semakin berkembang ke arah progresivitas. ”Faktor-faktor penyebab kejahatan sangatlah kompleks”[6]. Begitu juga mengenai kebijakan hukum pidana, harus dilakukan pembaharuan yang bertujuan untuk menjadikan hukum pidana menjadi lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, termasuk sumpah jabatan aparatur penegak hukum, selama ini hanya formalitas rumusan kata demi kata yang tanpa makna untuk melegalitaskan subyek hukum menjadi penegak hukum.

Hemat penulis, upaya dalam rangka peningkatan profesionalisme, dedikasi, dan integritas petugas hukum tidak hanya mengetahui tentang tugas-tugas dan kedudukannya saja, melainkan harus mengetahui bagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat sebagai konsekuensi pokok pemikiran pembaharuan hukum pidana yang menitik beratkan kepada perlindungan kepentingan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Anwar dan Adang:

”Konsep hukum pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan dari pemidanaan, dan tujuan dari pemidannan itu untuk perlindungan masyarakat dan konsep pemidanaan yang bertolak dari pemikiran kesimbangan (mono-dualistik) antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu, anatara faktor objektif dengan faktor subjektif”.[7]

Selanjutnya Barda Jelaskan:

”Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari uasaha perlindungan masyarakat (social walfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).[8]

Berdasarkan kedua konsep pemikiran di atas, seiring bertambahnya deretan kasus di peradilan yang menyeret petugas hukum, bukan sebagai pembela atau saksi ahli, namun sebagai pesakitan, baik polisi, jaksa, hakim, dan advokat, bahkan petugas lembaga pemasyarakatan (LAPAS) selaku muara akhir dari sistem peradilan pidana yang tidak mampu menjalankan fungsi profesinya. Hemat penulis, dikarenakan para petugas hukum itu tidak memaknai sumpah jabatannya secara baik dan benar, dalam artian tidak menjiwai kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari sumpah jabatan itu sebagai aturan hukum, sehingga jika dilanggar atau tidak dilaksanakan tidak melanggar hukum melainkan hanya kode etik profesinya, dan hanya mendapat teguran dari atasannya. Terkait permasalahan memaknaan sumpah jabatan sebagai hukum pidana hanya sebagai pelanggaran kode etik tersebut di atas, Poernomo memaparkan:

“Sebagian orang merasa lega hatinya karena hukum pidana dapat membalas dengan penerapan sanksi pidana pada orang lain yang dinyatakan oleh yang berwenang melanggar peraturan perundang-undangan hukum pidana. Beberapa bagian orang yang lain merasa kecewa karena hukum pidana diterapkan dengan tidak tepat, sering kali dikatakan kurang adil dan ada pula keputusan yang keliru, bahkan sebagian orang sangat sedih karena hukum pidana berubah menjadi kekuasaan yang disalahgunakan”.[9]

Mengacu pada pemaparan Poernomo di atas, dapat kita mengerti bahwa, proses penegakan hukum itu merupakan suatu keadaan yang membutuhkan usaha (ihktiar) dan perjuangan, karena ia tidak datang secara otomatis. Hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu setiap aparatur pengak hukum diberikan landasan yuridis berupa undang-undang dan kode etik profesi, juga melalui proses pelantikan dan sumpah atas jabatan yang diembannya selaku pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memperjelas peranan dan fungsi petugas hukum untuk mengemban sebagian tugas negara yang harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hemat penulis, sungguh sebuah tugas dan tanggung jawab yang teramat berat apabila dimaknai dengan benar. Ketika Surat Keputusan (SK) pengangkatan dan sumpah jabatan sebagai petugas hukum secara yuridis formal dilakukan, saat itu juga seharusnya tersemat janji untuk menjalankan tugasnya sebaik mungkin sesuai dengan Hukum Tuhan Yang Maha Esa dan Peraturan Perundang-undangan (hukum) serta kode etik profesi petugas hukum. Seyogyanya sanksinya pun tidak hanya berupa sanksi hukum, namun juga sanksi moral oleh masyarakat, dan sanksi spiritual oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ketika petugas hukum melanggar sumpah / janji jabatannya dan martabat profesinya, seketika itu juga berarti ia telah melanggar tiga hal tersebut.

Merujuk pemaparan penulis di atas, maka sangatlah tepat jika dalam sumpah /janji jabatan petugas hukum itu diformulasikan dan dikodifikasikan juga sanksi yang tegas sebagai manifestasi pembaharuan hukum pidana, dikarenakan petugas hukum merupakan salah satu faktor penting agar bekerjanya proses penegakan hukum. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan penal reform mengenai kriminalisasi terhadap sumpah jabatan penegak hukum, mengingat merajalelanya kejahatan dikalangan aktor penegak hukum. Sebagaimana dikatakan Ufran:

“Berbagai kejahatan terjadi pada semua tingkatan lembaga peradilan (judicial corruption) yang melibatkan semua actor penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, dan advokat serta masyrakata pencari keaadilan. Jual beli perkara seolah menjadi trend an kongkalikong antara pihak yang berperkara dengan petugas hukum sudah terorganisir secara rapi dan menggejala, dan menjadi cirri khas ketika orang mulai masuk dan berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga peninjauan kembali, Kejahatan ini bersifat sistemik merebak di masyarakat maupun kalangan penegak hukum”.[10]

Berdasarkan pemaparan di atas, hemat penulis kriminalisasi terhadap sumpah jabatan apatur penegak hukum sebagai pembaharuan hukum pidana dapat menanggulangi kejahatan yang terjadi baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, hingga pelaksanaan putusan hakim, upaya peningkatan profesionalisme, dedikasi, dan integritas penegak hukum, sekaligus sebagai manivestasi (perwujudan) progresivitas (kemajuan) supremasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi yang cita-citakan.

D. Penutup

Simpulan penulis: dalam memaparkan tugas ini yakni, mengingat mengguritanya manipulatif dan kolutif, jual beli perkara dan kongkalikong antara aktor penegak hukum dengan masyarakat pencari keadilan telah sedemikian teroraganisir dengan rapi dan sistemik maka seyogyanya

1. Sanksi yang tegas terhadap pelanggaran sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum di formulasikan dan dikodivikasikan bersamaan (include) dengan sumpah/janji jabatan aparatur penegak hukum itu sendiri, sebagai upaya peningkatan profesionalisme, dedikasi, dan integritas aktor penegak hukum, gagasan ini merupakan manivestasi pembaharuan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi dikalangan penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim, advokat, dan petugas lembaga pemasyarakat.

2. pengangkatan dan sumpah/janji jabatan sebagai petugas hukum secara yuridis formal, seharusnya tersemat janji untuk menjalankan tugas dengan baik sebagai pengabdian kepada masyarakat. Pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan itu akan secara otomatis melanggar perintah Tuhan YME, Peraturan Perundang-undangan (hukum), dan Kode Etik Profesi.

Adapun saran dalam penulisan ini, pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana tidak hanya berorientasi pada pembaharuan undang-undang (legal reform) belaka, melainkan harus mengarah pada law reform.



[1] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, konsep, komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Pandjadjaran, Bandung, 2009, hal. Iii.

[2] Rusli Muhammad, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana, diberikan pada BKU Sistem Hukum dan Peradilan Pidana, Pascasarjana FH UII tahun ajaran 2010-2011.

[3] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Penegmbangan Hukum Pidana, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hal.122

[4] Yesmil Anwar & Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Op Cit, hal. 57.

[5] Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 7.

[6] Trisno Raharjo, Mediasi Dalam Sistem Peradilan Pidana, suatu kajian perbandingan dan penerapannya di Indonesia, Buku Lentera & Labaratorium Hukum UMY, Yogyakarta, 2011, hal.1

[7] Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Anggota Ikapi, Jakarta, 2008, hal. 36-37.

[8] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan, Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 28.

[9] Bambang Poernomo, Membangun Hukum Indonesia: Kumpulan Pidato guru besar Ilmu hukum dan Filsafat, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hal. 174.

[10] Kata Pengantar Editor dalam Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. x – xi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar