Minggu, 04 Desember 2011

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

By: Bedi Setiawan Al Fahmi

A. Latar Belakang Masalah

“Sudah Jatuh Tertimpa Tangga”

Sebait pepatah di atas sengaja penulis tukilkan dalam mengawali penulisan tugas pembaharuan hukum pidana mengenai perlindungan korban tindak pidana kejahatan pemerkosaan dalam proses penegakan hukum melalui perspektif pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

Tindak pidana pemerkosaan merupakan suatu persoalan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakrat, karena selain menjadi beban berat baik pisik maupun psikis oleh korban, tindak pidana pemerkosaan ini merupakan persoalan yang membebani Negara. Sering kali kita membaca dan mendengar baik dari media cetak maupun dari media elektonik mengenai terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Bahkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan ini tidak hanya di kota-kota besar saja, yang relative lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, melainkan juga terjadi di pelososk-pelosok atau pedesaan yang relative masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat setempat, terutama pada kalangan masyarakat yang ekonominya lemah.

Sebagaimana kita mafhum bahwa, sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP ini merupakan salah satu produk hukum bangsa Indonesia yang mempunyai predikat “Karya Agung” dimana KUHAP sangat memperhatikan hk-hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan , penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka (offender) maupun korban kejahatan (victim of crime) menghendaki keadilan. Bagi Offender menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi Victim of Crime juga menghendaki agar offender diadili dan kalau perlu dihukum seberat-beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan keadaan.

Sebuah realitas yang tidak terbantahkan bahwa, kepentingan dan hak-hak offender lebih diperhatikan dan diutamakan dari pada kepentingan dan hak-hak Victim of Crime itu sendiri. Bagaimana tidak, sejak awal proses pemerikasaan hak-hak offender dilindungi, pelaku kejahatan berhak memperoleh bantuan hokum, memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan tentang kejahatan yang disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidaan secara manusiawi, bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan dalam proses perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat pada offender sebagai manusia dikemas dalam KUHAP. Adapun hak victim of crime dikemas sangat minim, bahkan tidak diakomudir oleh KUHAP, walaupun kita mengetahui bahwa, derita yang dialaminya sudah dirasakan ketika terjadinya kejahatan, saat melapor hingga mengikuti proses persidangan. Trauma akibat akan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada enggannya victim of crime untuk melapor kejadian yang dideritanya, karena semula laporan itu bertujuan untuk mengurangi beban masalah yang dideritanya, menjadi permasalahan baru baik berupa cemooh dari masyarakat maupun dari aparatur penegak hukum yang terkadang kurang responsip dan tidak bersahabat, belum lagi karena adanya intimidasi dari offender terhadap victim of crime.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas, maka perlu kiranya penulis tuangkan juga pokok pikiran yang menjadi central point dalam sebuah permasalahan yakni, Bagaimanakah Gagasan Dasar Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Perkosaan Sebagai Proses Peradilan Pidana Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KUHAP) Di Indonesia?

C. Pembahasan

1. Perlindungan Korban

Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kepentingan, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain, dan sudah menjadi manusiawi bahwa, manusia menginginkan kepentingannya tidak terganggu oleh pihak manapun. Sebagaimana dikatakan mertokusumo, “sejak manusia itu menyadari bahwa kepentingan-kepentingannya selalu terancam atau terganggu oleh bahaya atau serangan, baik dari alam maupun dari sesamanya dan memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya”. [1]

Berdasarkan pemaparan sudikno di atas maka dapat kita simpulkan bahwa, dinamika di dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sering diwarnai konflik antar individu dengan lainnya, bahkan konflik yang terjadi itu seringkali tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang terkait. Konflik itu dapat merugikan kepentingan-kepentingan baik kepentingannya sendiri maupun kepentingan pihak lain. manusia yang telah dirugikan karena kepentingannya terganggu tersebut menginginkan adanya suatu bentuk perlindungan tertentu untuk dapat menuntut pemenuhan kepentingannya yang telah terganggu atau dirugikan tersebut melalui aparatur penegak hukum untuk memberikan bantuan penyelesaian imparsial (secara tidak memihak).

Pengertian Perlindungan menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tantang Perlindungan Saksi dan Korban adalah:

“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan / atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini”.

Adapun pengertian mengenai korban dicantumkan dalam pasal 1 angka 2 yakni, “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

Berdasarkan kedua pengertian yang diamanatkan oleh Undang-undang tersebut di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa, seseorang korban dari tindak pidana perkosaan seyogyanya dapat dilindungi hak-haknya dalam proses peradilan pidana.[2] Bahkan bukan hanya perlindungan fisik dan psikis, tetapi diberikan hak kompensasi dan restitusi. Sebagaimana dikatakan Lili:

“korban perkosaan seharusnya mendapatkan perlindungan dan restitusi, selain pemberian perlindungan perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis, korban juga berhak mengajukan upaya restitusi, agar pelaku dibebankan untuk memberi ganti kerugian terhadap korban dan keluarga korban".[3]

Berdasarkan hal di atas, maka dalam pembaharuan KUHAP seharusnya mengakomudir hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan korban tindak pidana perkosaan, baik berupa perlindungan fisik, psikis, kompensasi dan restitusi. Hal ini dimaksudkan agar dapat menanggulangi tindak pidana perkosaan yang akhir-akhir ini semakin marak diberitakan.

2. Tindak Pidana Perkosaan

Perkosaan merupakan salah satu bentuk kejahatan kekerasan seksual terhadap perempuan dimana korban mengalami penderitaan yang dilematis. Bahkan secara pisik dimungkinka korban telah kehilangan kehormatannya (virginitas) atau kemungkinan menderita kehamilan. Secara psikis (emosional) korban perkosaan mengalami trauma dan menderita seumur hidupnya, oleh karena tidak sedikit dari korban tindak pidana perkosaan ini kehilangan harapan akan masa depannya.

Meningkatnya intensitas hubungan hokum dalam pergaulan bermasyarakat, berimplikasi juga pada pemaknaan atas sesuatu perbuatan mengalami penafsiran secara meluas (ekstensif), demikian juga dengan perkosaan, tidak hanya digunakan pada bentuk perbuatan / tindakan pemaksaan dalam hubungan seks atau secara fisik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan untuk memuaskan nafsu birahinya, melainkan sering juga digunakan pada tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan tertentu yang modus operandinya merugikan orang lain dan melanggar hak-hak asasi manusia seperti perkosaan hak-hak sipil, perkosaan ekologis (lingkungan hidup).

3. Pembaharuan Hukum Pidana

Berbicara mengenai pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian kebijakan hukum pidana (Penal Policy) di Indonesia tidak lepas dari membicarakan UUD 1945 sebagai suatu dokumen hukum yang berada di puncak hirarki perundang-undangan nasioanal terutama alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 sebagai amanat dari tujuan Negara Indonesia, oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana seyogyanya dijadikan sebagai pembangunan hukum nasional Indonesia, sebagaimana dikatakan Barda ada 4 (empat) komponen utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum nasional yaitu:

“Komponen norma hukum dan perundang-undangan, aparatur penegak hukum, kesadaran hukum masyarakat, dan pendidikan hukum khususnya pendidikan tinggi hukum”.[4]

Berdasarkan pemikiran Barda tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa, aparatur penegak hukum merupakan salah satu komponen pembaharuan hukum pidana sekaligus sebagai petugas hukum dalam sistem peradilan pidana. Sebagaimana kita ketahui, komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktik penegakan hukum terdiri dari atas unsur kepolisisn, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, ada juga pendapat legislator merupakan komponen sistem peradilan pidana. Sebagaimana dikatakan Yesmil dan Adang “Sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrument dari suatu kebijakan krimanal, maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga pembuat undang-undang”.[5]

Lebih lanjut ia katakan:

“Peran pembuat undang-undang justru sangat menentukan dalam politik kriminal (crimal politic) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum”.[6]

Hal serupa dikatakan Muladi & Barda: “Sistem peradilan pidana hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum”[7]

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa, peran dan fungsi aparatur penegak hukum sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan sesuatu hal yang penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya pengembangan dalam melakukan pembangunan hukum nasional itu penting, namun usaha mempersiapkan penegak hukum profesional yang mempunyai dedikasi dan integritas dalam menjalankan tugas profesinya sebagai petugas hukum merupakan faktor utama dalam penegakan hukum. Sebagaimana dikatakan Prof. Tjip:

“Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum, seperti janji untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya”.[8]

Berdasarkan pemaparan Prof Tjip di atas dapat kita ketahui bahwa, penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata, dan eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan oleh aparatur penegak hukum. Berbicara masalah proses penegakan hukum, maka secara otomatis kita akan membicarakan faktor manusia dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum itu sendiri, dalam artian dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum itu bukan semata-mata membicarakan hukum yang didasarkan pada apa yang tertera secara hitam-putih berupa suatu peraturan hukum, namun hukum yang bias ditegakkan di dalam masyarakat.

4. Analisis Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia

Sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya bahwa, pembaharuan hokum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy). Hakikat pembaharuan hokum pidana menurut Barda yakni, “Mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hokum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal, dan kebijakan penegakan hokum di Indonesia”.[9]

Lebih lanjut Barda jelaskan:

“pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan (policy), karena merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy), serta dalam kebijakan itu sendiri terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pendekatan yakni kebijakan dan nilai. Untuk jelasnya sebagai berikut:

1. Pendekatan Kebijakan ada 3 (tiga) klasifikasi yaitu:

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial yakni untuk mengatasi masalah-masalah sosial.

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal yakni upaya perlindungan masyarakat.

c. Sebagai bagian dari kebijakan hukum yakni, memperbaiki substansi hukum.

2. Pendekatan Nilai yakni, pembaharuan hokum pidana hakikatnya merupakanupaya melakukan peninjauan dan penelitian kembali (reorientasi dan reevaluasi), nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan substantive hokum pidana yang dicita-citakan”.[10]

Berdasarkan pemaparan Barda di atas, dapat penulis simpulkan bahwa, pembaharuan hukum pidana sebagai manifestasi untuk menanggulangi tindak kejahatan harus berorientasi tidak hanya kuantitas perundang-undangannya (legal reform) melainkan berorientasi pada kualitas atau nilai-nilai extra legal masuk ke dalamnya (law reform), dengan kata lain, usaha mengurangi meningkatnya tindak pidana baik secara kuantitas maupun secara kualitas yang selama ini fokus perhatiannya hanya tertuju pada upaya-upaya bersifat teknis. Disamping itu, di dalam penegakan hokum pidana adanya pandangan bahwa, korban hanya berperan sebagai instrument pendukung dalam mengungkap kebenaran materiil yakni sebagai saksi belaka.

Sejalan dengan itu, Kholiq memaparkan: “Konsep baru tentang tindak pidana harus dengan adanya kesadaran / keinginan untuk merancang bangun ruang hukum pidana ke dalam konsep monodualistik yakni perhatiannya tidak hanya kepada pelaku, namun kepada masyarakat”.[11]

Berdasarkan pemaparan Kholiq di atas dapatlah penulis simpulkan bahwa, pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy) itu tidak hanya focus pada offender melainkan kepada korban dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya apa yang tercantum pada pasal 5 angka (1) mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban terutama dalam hal adanya perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.mendapatkan informasi berupa perkembangan kasus yang dialaminya dalam proses persidangan hingga putusan hakim dari pengadilan, mengetahui terpidana dibebaskan, dan memperoleh kompensasi, restitusi, dan jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial. Dengan demikian, pembaharuan hokum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy) akan kembali pada nilai filosofi dasarnya yakni, Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. [12]

Hal di atas didasari paradigma dasar bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G ayat (1). Oleh karena itu negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi, serta jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial kepada korban tindak pidana perkosaan.

D. Kesimpulan

Simpulan penulis dalam memaparkan tugas ini yakni, prospek perlindungan korban tindak pidana perkosaan dalam proses peradilan pidana sebagai pembaharuan hukum acara pidana (KUHAP) di Indonesia yang akan datang berupa, memasukkan ketentuan saksi pidana ganti kerugian baik kompensasi, restitusi, maupun santunan untuk kesejahteraan social ke dalam ketentuan saksi pidana tambahan agar hakim dapat memutuskannya bersamaan dengan pidana pokok, maupun secara mandiri jika terpidana hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal.

Adapun saran dalam penulisan ini yakni, dalam pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana tidak hanya berorientasi pada pembaharuan dari sudut pendekatan kebijakan (legal reform), melainkan dari sudut nilai (law reform).Perlu adanya sosialisasi yang intensif kepada korban tindak pidana perkosaan akan hak-haknya. Jangan memandang korban tindak pidana perkosaan hanya sebagai saksi.



[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,Liberty,Yogyakarta,2006, hal. 94

[2] Pasal 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban.

[4] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Penegmbangan Hukum Pidana, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hal.122

[5] Yesmil Anwar & Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Pandjadjaran, 2009, hal. 57.

[6] Ibid

[7] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hal. 197.

[8] Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 7.

[9] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 29.

[10] Ibid

[11] Abdul Kholiq, Materi Perkuliahan BKU Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, tahun ajaran 2010-2011.

[12] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hal. 212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar