URGENSI, PERAN, DAN TANTANGAN NOTARIS DALAM PENEGAKAN HAK
ASASI MANUSIA DI INDONESIA
(Gagasan Dibentuknya Lembaga Bantuan Akta Notaris di Indonesia)
By. Bedi Setiawan Al Fahmi
By. Bedi Setiawan Al Fahmi
Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip
negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang
berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum itu menuntut adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Kedudukan manusia
dalam hukum sangat erat hubungannya dengan hak asasi yang dimiliki oleh manusia
itu sendiri. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok anugerah Tuhan
Yang Maha Esa. Manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi
hak dasar tersebut, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya, tanpa
membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, politik, status
sosial, bahasa dan status lainnya.Oleh karena itu, prinsip kesetaraan itu merupakan salah satu
prinsip utama Hak Asasi Manusia. Hak asasi inilah yang menjadi dasar hak dan kewajiban lainnya.
Hak Asasi Manusia secara deklaratif dikumandangkan oleh
bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945, sebagaimana tertuang dalam alinea
pertama pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.[1]
Hak Asasi juga telah dikristalkan oleh Founding Father dalam Grand Norm yang merupakan dasar dan falsafah serta ideologi
negara,[2] sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia.[3]
Sebagaimana dituangkan dalam sila ke pertama ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan
sila ke dua dari pancasila: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”[4]. Sejalan
dengan sila kedua ini Artidjo Alkostar mengatakan: “Membangun Peradaban Bangsa
dengan Menegakkan Hak Asasi Manusia”[5]. Selanjutnya
mengenai Hak Asasi Manusia ini, diamanatkan secara tegas dalam batang tubuh UUD
1945 sebagai judul BAB XA yakni pada pasal 28 UUD 1945[6].
Adapun pengertian Hak Asasi Manusia dapat kita lihat
pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai
berikut:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia”.[7]
Berdasarkan pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa,
hak untuk mendapatkan keadilan dan rasa aman merupakan hak asasi, oleh
karenanya wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, juga setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, termasuk hak rasa
aman ketika seseorang melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu harus dilindungi
dan diberikan oleh negara, sebagaimana diamanatkan pasal 8 UU HAM: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah”.
Disebutkan juga dalam penjelasan umum, mengenai dasar pemikiran terbentuknya UU
HAM tersebut pada huruf g:
“Hak asasi manusia harus
benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah,
aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak
asasi manusia”.
Sejalan dengan hal di atas Satjipto Rahardjo mengatakan:
“Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan
adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat, bukan saja dikarenakan negeri
ini menganut paham negara hukum, melainkan lebih melihat secara kritis
kecenderungan yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berkembang
ke arah suatu masyarakat modern. Kondisi yang demikian menuntut adanya hukum
yang berdimensi nasional, yang memiliki paradigma berwawasan ke-indonesiaan,
sekaligus mengakomodasi tuntutan zaman”.[8]
Merujuk pada pemikiran Satjipto Rahardjo di atas, notaris
merupakan salah satu pejabat publik yang mempunyai peranan yang sangat besar
dalam mengakomodasi perbuatan hukum yang dilakukan masyarakat sesuai dengan
tuntutan zaman. Hal ini sejalan dengan lahirnya jabatan notaris itu dikarenakan
masyarakat membutuhkannya, bukan suatu jabatan yang sengaja diciptakan kemudian
baru disosialisasikan kepada khalayak. Perkembangan kehidupan bermasyarakat
telah meningkatkan intensitas dan kompleksitas hubungan hukum yang harus
mendapatkan perlindungan dan kepastian berdasarkan alat bukti yang menentukan
dengan jelas hak dan kewajiban setiap subjek hukum. Terciptanya perlindungan,
kepastian, dan ketertiban melalui kegiatan pengadministrasian hukum (law administrating) yang tepat dan
tertib. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya hubungan hukum yang
cacat dan dapat merugikan subyek hukum dan masyarakat.
Notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat hingga
sekarang dirasakan masih sangat dibutuhkan keberadaannya, sebagai pejabat umum[9], notaris
merupakan tempat di mana seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh
diandalkan, segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan oleh notaris (konstatir) adalah benar. Dapat juga dikatakan seorang notaris adalah
pembuat dokumen yang terkuat dan terpenuh serta bukti sempurna dalam suatu
proses penegakan hukum.[10]
Globalisasi menerjang semua negara tanpa pandang bulu,
krisis keuangan global yang menjadi (Hot
Issue) di belahan dunia sejak tahun 1997 hingga saat ini masih dirasakan
juga oleh lembaga profesi hukum di Indonesia, khususnya ketika berbicara
mengenai idealisme dan martabat profesi notaris. Idealisme seakan menjadi
barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme dan hedonisme yang menjadi
faham baru di tengah masyarakat. Notaris sebagai bagian dari individu dalam
masyarakat menghadapi tantangan yang serupa yakni, satu sisi notaris diminta
menjaga idealismenya sebagai pejabat umum untuk memberikan jasa hukum secara
cuma-cuma sebagaimana yang diamanatkan pasal 37 Undag-Undang No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN)[11], dan
pasal 3 ayat (7) Kode Etik Notaris[12]. Di
lain sisi notaris dihimpit oleh
kehidupan materialisme untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk eksistensi
operasional kantornya.
Walaupun penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi
manusia dalam hukum nasional telah dijamin secara formil, seringkali ditemukan
kesulitan bagi warga negara untuk mendapatkan keadilan dan rasa aman dalam
melakukan perbuatan hukum di masyarakat. Tulisan ini bermaksud mengkaji
urgensi, peran dan tantangan notaris dalam penegakan Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Masalah pokok yang disoroti dalam pembahasan ini meliputi: Sejauh
manakah urgensi dan peran notaris dalam penegakan Hak Asasi Manusia di
Indonesia? bagaimanakah wujud peran notaris
dalam penegakan Hak Asasi Manusia itu terkait dengan kewajiban dan
kewenangannya sebagai pelayanan publik? dan indikator apakah yang menjadi
tantangan bagi notaris dalam konteks penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
A.
Urgensi dan Peran Notaris Dalam Perspektif HAM
Dinamika dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari sering diwarnai konflik antara individu
dengan lainnya, sebagai upaya untuk menghindari / mencegah terjadinya konflik,
maka diperlukan campur tangan secara khusus untuk memberikan bantuan imparsial
(secara tidak memihak) dari seorang notaris selaku profesi hukum yang hidup,
tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia berupa mendapatkan keadilan dan rasa aman dalam
melakukan perbuatan hukum di dalam masyarkat tidak terabaikan.
Urgensi dan peran notaris dalam perspektif HAM sangat
dominan dalam proses penegakan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia di
Indonesia. Tugas dan wewenang yang dimiliki notaris, merupakan delegasi dari
negara untuk pelayanan kepada masyarakat, bukan suatu profesi untuk mencari
kekayaan belaka. Fungsi dan peranan notaris dalam gerak pembangunan nasional
yang semakin kompleks dewasa ini tentunya semakin luas dan semakin berkembang. Kelancaran
dan terjaminnya keadilan dan rasa aman di tengah masyarakat merupakan kewajiban
semua pihak, terutama profesi notaris dalam menjalankan tugas dan wewenang yang
diberikan negara untuk pelayanan publik. Pemerintah yang memberikan sebagian
wewenangnya kepada notaris,[13] melalui
UUJN, dan juga masyarakat yang menggunakan jasa notaris tentu mempunyai
ekspektasi agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris benar-benar memiliki
nilai dan bobot yang dapat diandalkan, selain memberikan kepastian hukum
terhadap subyek hukum , memberikan keadilan dan rasa aman di dalam masyarkat, juga
dapat melindungi masyarakat dari sengketa dan terpenuhinya hak dasar yang
dijamin konstitusi bagi warga masyarkat.[14]
Sebuah fakta yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian
besar lulusan Magister Kenotariatan mengambil profesi sebagai notaris setelah
lulus. Sejak terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia (SK Dirjen Dikti) tahun 2000, yang
isinya mengubah status Program Pendidikan Spesialis Notariat menjadi Program
Studi Magister Kenotariatan di masing-masing
enam universitas penyelenggaraan yaitu: Universitas Indonesia,
Universitas Pendjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro,
Universitas Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian, jumlah
notaris di Indonesia terus bertambah dan meningkat drastis, sehingga sudah
selayaknya hak konstitusi warga negara selaku subyek hukum untuk mendapatkan hak
rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum, dan rasa keadilan di tengah
mobilitas bermasyarakat lebih terjamin dan lebih terakomudir. Namun sebuah kenyataan
pahit yang tidak dapat kita pungkiri, profesi notaris laksana manara gading di
tengah realitas sosial masyarakat dewasa ini. Sebagaimana dikatakan H.R.
Soejadi:
“Suatu konsep atau gagasan yang dikemukakan Roscoe
Pound, dalam tataran pelaksanaannya tidak mengalami sukses sebagaimana yang
diharapkan. Memang dapat dipahami bahwa cukup sulit untuk dapat mewujudkan
kesesuaian antara idealitas dengan realitas, antara konsep dengan persep”[15].
Berdasarkan pemikiran Soejadi di atas dapat kita ketahui
bahwa, penegakan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam sebuah
realita sosial masih sangat memprihatinkan, termasuk penegakan, perlindungan
dan pemenuhan keadilan dan rasa aman untuk melakukan perbuatan hukum oleh masyarakat.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik,
pembuatan akta otentik oleh notaris ini diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hokum untuk mencegah terjadinya konflik di masyarakat.[16] tetapi
juga karena dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan untuk memastikan
hak dan kewajibannya demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi
yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan, sebagai
manifestasi membangun negara yang demokratis sesuai dengan hasrat bangsa
Indonesia.[17]
Peran notaris sebagai pejabat umum sekaligus selaku profesi hukum
harus mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi dan peran dari notaris dalam mobilitas hukum di
masyarakat sangatlah dibutuhkan, sebagaimana dituangkan
dalam ketentuan pasal 16 UUJN mengenai kewajiban notaris, maka kewajiban
seorang notaris sangat urgent demi menjamin kepastian dan ketertiban hukum,
perlindungan dan pemenuhan hak asasi yang berintikan kebenaran dan keadilan
bagi masyarkat yang membutuhkannya. Akta otentik yang dibuat oleh seorang
notaris menentukan secara jelas hak dan kewajiban dari para penghadap sebagai
subjek hukum dalam masyarakat, sesuatu hal yang tidak kalah penting dari
eksistensi dari sebuah akta otentik itu sendiri adalah, jika dapat
dimanifestasikan sebuah ekspektasi untuk menghindari terjadinya sengketa, dan
inilah salah satu perbedaan yang signifikan antara notaris dan advokat.
Sebagaimana dikatakan Tan Thong Kie: “seorang advokat membela hak-hak
seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang notaris harus berusaha
mencegah terjadinya kesulitan itu”.[18]
Urgensi dan peran notaris juga harus mampu ikut serta
dalam menyukseskan tujuan negara sebagaimana dituangkan dalam pembukaan,[19] juga
isi yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945. Penulisan ini lebih menitik
beratkan pada ergensi dan peran notaris dalam penegakan, perlindungan, dan
pemenuhan hak asasi manusia yang dirumuskan dalam Pancasila serta disebutkan secara tegas sebagai judul BAB XA UUD 1945, yang kemudian dituangkan
dalam konsideren yang melatar belakangi dibentuknya Undang-undang tentang
jabatan notaris sebagai berikut:
a.
Bahwa Negara Republik Indonesia
sebagai negara hukum berdasarkan pancasila
dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan;
b.
Bahwa untuk menjamin kepastian,
ketertban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat
otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan
melalui jabatan tertentu;
c.
Bahwa notaris merupakan jabatan
tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat,
perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum;
d.
Bahwa notaris dalam proses
pembangunan makin meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat;
Berdasarkan ruh dari payung hukum notaris tersebut di
atas, maka dapat kita ketahui bahwa, tugas dan peran notaris dalam mobilitas hukum
di tengah masyarakat sangat dibutuhkan demi penegakan, perlindungan, dan
pemenuhan hak asasi berupa hak untuk mendapatkan keadilan dan rasa aman sebagai
subyek hukum demi kesejahteraan dan kemakmuran.
Sedemikian pentingnya
kewajiban yang diamanatkan UUJN kepada seorang notaris dalam mengakomudasi
kebutuhan masyarakat. Hemat penulis secara garis besar peran itu dapat
dikualifikasikan ke dalam 2 (dua) hal yakni:
1. Mencegah terjadinya sengketa dalam masyarakat.
Hal ini merupakan tugas utama dari seorang notaris yakni, memformulasikan keinginan/ tindakan para pihak atau masyarakat yang
membutuhkannya ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang
berlaku, sehingga dapat menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum
yang berintikan kebenaran dan keadilan.
2. Menyelesaikan sengketa yang tidak dapat
dihindarkan dalam masyarkat. Akta notaris sebagai akta
otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna[20] jika
terjadi sengketa, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat
bukti lainnya, jika ada orang atau pihak yang menilai atau menyatakan bahwa
akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak
benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan
hukum yang berlaku. Sehingga penyelesaian sengketa dalam masyarakat dapat
segera diselesaikan.
Notaris sebelum menjalankan jabatannya
wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.[21]
Adapun bunyi sumpah itu dituangkan dalam pasal 4 ayat (2) UUJN. Alinea pertama
dari lafal sumpah itu sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan patuh dan
setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang jabatan Notaris serta
peraturan perundang-undangan lainnya”.
Berdasarkan muatan dari bunyi
sumpah/janji notaris tersebut di atas, sangat jelas bahwa urgensi dan peran
notaris dalam penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan
suatu kewajiban dalam menjalankan profesi jabatannya. Penulis coba paparkan
tugas dan fungsi notaris itu dalam perspektif HAM berdasarkan hukum, dalam hal
ini hukum tidak sekedar menjadi tataran nilai tetapi sebagai sarana bagi
notaris dalam menjalankan profesinya yang berorientasi pada tujuan hukum itu berupa keadilan dan rasa aman bagi kepentingan masyarakat yakni
kesejahteraan dan kebahagiaan.[22]
terutama masyarakat yang berada di wilayah kewenangan notaris tertentu. Menjadi
hal yang wajar penetapan formasi jabatan
notaris oleh menteri itu berdasarkan jumlah penduduk dan pertumbuhan
dunia usaha suatu daerah/wilayah kabupaten /kota.[23]
Mengenai tujuan hukum Artidjo Alkostar
mengatakan:
“Tujuan hukum adalah keadilan dan
orientasinya adalah untuk daya guna bagi masyarakat banyak serta peningkatan
martabat manusia”.[24]
Merujuk pada pemikiran Artidjo
Alkostar di atas maka dapat disimpulkan bahwa, notaris selaku pejabat publik
yang menjalankan tugas berdasarkan UUJN dan Kode Etik, harus mampu memberi manfaat
dan daya guna bagi masyarakat banyak. Sudah seharusnya para notaris di
Indonesia memikirkan, jabatan profesinya berorientasi ikut serat dalam
penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi yang dibutuhkan masyarkat.
Melindungi masyarakat dari terjadinya konflik karena ketidak jelasan hak dan
kewajiban anggota masyarakat sebagai subyek hukum dalam melakukan perbuatan
hukum, dan memenuhi kebutuhan asasi masyarakat untuk mendapatkan rasa aman
dalam melakukan perbuatan hukum di masyarakat.
Notaris seyogianya membuka akses
kepada masyarakat banyak dengan membuat lembaga bantuan hukum bagi masyarakat
yang tidak mampu, misalnya mendirikan pos Lembaga
Bantuan Akta Notaris (LBAN)[25] secara
tersitem bagi para notaris di wilayahnya masing-masing. Seperti yang telah
dilakukan profesi Advokat dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang
tersebar di penjuru tanah air. Pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik
Notaris mengamanatkan agar profesi notaris melindungi dan memenuhi hak asasi masyarakat.
Akhirnya penulis mengajak kita semua,
khususnya para notaris untuk merenungkan dan menghayati nilai-nilai hak asasi
manusia[26] yang
terkandung dalam pasal yang sangat tidak populer di kalangan notaris, yakni pasal
37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris yang hingga saat ini menjadi
payung hukum bagi profesi notaris di Indonesia untuk direalisasikan dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingg dapatlah dikatakan profesi notaries
sebagai Officium Nobile (profesi
mulia).
B.
Degradasi Profesi
Notaris dan Tegaknya HAM di Indonesia
Berbicara mengenai
profesi notaris di Indonesia ada baiknya penulis awali dengan asal mulanya
perkataan notaris itu sendiri. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa
sebutan Notaris berasal dari perkataan Notarius. Sebagaimana di jelaskan Notodisoerjo
sebagai berikut:
“Notaris berasal dari perkataan
Notarius, ialah nama yang pada zaman romawi, diberikan kepada orang-orang yang
menjalankan pekerjaan menulis. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama
notaris itu berasal dari kata “nota literaria”, yaitu tanda (letter merk atau
karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan. Kemudian dalam abad ke-lima dan
ke-enam sebutan Notarius (Notariil) diberikan kepada penulis (sekretaris)
pribadi dari Raja (kaizer), sedangkan pada akhir abad ke-lima sebutan tersebut
diberikan kepada Pegawai-pegawai istana yang melaksanakanpekerjaan
administratif”.[27]
Selanjutnya akan menjadi
lebih baik pula, penulis coba mengulas sedikit mengenai perjalanan sejarah
lahirnya notaris di Indonesia, dengan mengetahui hal tersebut, ekspektasi
penulis dapat mempermudah pemahaman kita kedepannya, sekaligus argumentasi
penulis menilik profesi notaris dalam penegakan HAM.
Keberadaan jabatan
notaris di Indonesia pertama kali tercatat pada tanggal 27 Agustus Tahun 1620,
diangkatnya Melchior Kerchem dari Belanda menjadi notaris yang disebut “Notarium Publicum” di Jakarta,
pada saat itu masih bernama Jacatra.[28]
Tugasnya adalah untuk kepentingan publik, khususnya melayani menjalankan
kegiatannya sebagai pejabat umum yang melayani masyarakat.
Tahun 1860 Pemerintah
Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan baru mengenai jabatan
notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan
mengenai jabatan notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie Voor de Notarissen Residerende in
Nederlands Indie, Kemudian pada tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in nederlands
Indie atau lebih dikenal dengan sebutan Stbl. 1860:3
Setelah Indonesia
merdeka, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan
pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan: “Segala Badan dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang ini”. Berdasarkan hal inilah, stbl.1860:3 tetap berlaku di
Indonesia. Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh
Menteri Kehakiman, hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 No. 60,
Tanggal 30 Oktober 1948 tentang Laporan
Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman.
Tahun 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag,
Nederland, tanggal 23 Agustus-22 September 1949. Salah satu hasil dari KMB
tersebut yaitu, adanya Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintahan Belanda kepada
Republik Indonesia Serikat untuk seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat
yang sekarang adalah Papua. Adanya Penyerahan Kedaulatan tersebut membawa
akibat kepada status notaris berkewarganegaraan Belanda di Indonesia harus
meninggalkan jabatannya. Dengan demikian, terjadilah kekosongan notaris di
Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut, sesuai dengan kewenangan yang ada
pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan
tahun 1954 menetapkan dan mengangkat Wakil
Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang
berasal dari Notaris yang berkewarganegaan Belanda.
Tahun 1954, Pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa, “Dalam hal notaris
tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan notaris”. Kemudian pasal 1 huruf c dan pasal 8
Undang-Undang ini menegaskan “Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti
tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris”. Selanjutnya pasal 2
ayat (2) disebutkan “Sambil menunggu ketetapan Menteri Kehakiman, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan Notaris”. Penegasan tentang Wakil Notaris Sementara ini
disebutkan dalam pasal 1 huruf d yaitu, “Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban
seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara”.
Adapun yang disebut sebagai Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan
ketentuan pasal 2 ayat (1) stbl.1860:3. jo
pasal 1 huruf a Undang-Undang No 33 Tahun 1954. Berdasarkan Undang-Undang No.
33 Tahun 1954 ini juga sekaligus ditegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Abmt in Nederlands Indie (stbl.1860:3)
sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di Indonesia yang lebih dikenal dengan
PJN untuk Notaris di Indonesia.
Tahun 2004, tepatnya
pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris. Pro dan kontra pun terjadi sebagaimana yang
disinyalirkan INI sebagai berikut:
“Banyak pihak yang menyatakan
mendukung UUJN dan memandang UUJN sebagai produk hukum yang lebih baik dari
pada PJN. Sedangkan di lain pihak ada sebagian kecil yang kontra tidak
mendukung UUJN dan menganggap UUJN sebagai produk hukum yang kualitasnya di
bawah PJN. Bahkan ada yang mendukung UUJN sebagai salah satu faktor yang
memunculkan berbagai masalah kenotariatan dewasa ini”.[29]
Berdasarkan uraian di
atas, hemat penulis suatu hal yang patut kita pahami dan sadari bersama bahwa, tugas
utama dari notaris adalah untuk melayani masyarakat. UUJN telah diundangkan
dalam Lembar Berita Negara pasca reformasi, proses ini baru menyelesaikan satu
tahap dari perjalanan panjang untuk mengatur masyarakat, karena harus diikuti
dengan implementasi secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari,
termasuk ketentuan pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris sebagai
manifestasi penegakan hukum dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia,
menjamin keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat dengan memberikan rasa
aman dalam melakukan perbuatan hukum.[30]
Adapun Istilah profesi
itu sendiri berasal dari kata profiteri
(bahasa Latin) yang berarti Ikrar di muka umum, dari kata itu terbentuklah kata
“Professio” (bahasa inggrisnya “Profession”)[31]
yang berarti suatu kegiatan kerja yang dikerjakan atas dasar suatu ikrar
pengabdian.[32] Kamus
Ilmiah Populer Kontemporer oleh Alex MA menyatakan: Profesi adalah riwayat
pekerjaan, pekerjaan (tetap); pencaharian, pekerjaan sebagai sumber
penghidupan; jabatan, kepercayaan agama; pernyataan; keterangan.[33]
Kamus populer menyebutkan: “Profesi ialah pekerjaan dengan keahlian khusus
sebagai mata pencaharian tetap”.[34]
Suparman Usman mengartikan profesi” suatu moral
community (masyarakat moral), memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama”.[35]
Kansil mengartikan profesi ”Pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok
untuk menghasilkan nafkah hidup dan mengandalkan keahlian khusus”.[36]
Berdasarkan pemaparan di
atas, dapat kita ketahui bahwa, para sarjana hukum di tanah air belum ada kata
sepakat mengenai definisi profesi[37],
namun para sarjana hukum itu tidak membantah dengan ciri-ciri profesi yang
disebutkan Santoso.[38]
H. Suparman Usman
membedakan profesi menjadi 2 (dua) jenis: “Pengertian profesi dapat dibedakan
menjadi: (1) Profesi pada umumnya. (2) Profesi luhur atau profesi mulia (officium noble). Sekalipun profesi
adalah jenis pekerjaan, namun pengertian profesi lebih khusus dibandingkan
dengan pengertian pekerjaan”.[39]
Pengertian kedua
profesi di atas lebih lanjut H. Suparman Usman jelaskan:
“Profesi pada umumnya adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan
pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian yang
khusus, Persyaratan adanya keahlian yang khusus inilah yang membedakan
antara pengertian profesi dengan pekerjaan walaupun bukan menjadi garis pemisah
yang tajam antara keduanya.
Profesi Luhur, yaitu
profesi yang pada hakekatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau
masyarakat. Orang yang melaksanakan profesi luhur sekalipun mendapatkan nafkah
(imbalan) dari pekerjaannya, namun itu bukanlah motivasi utamanya. Yang menjadi
motivasi utamanya adalah kesediaan dan keinginan untuk melayani, dan membantu
sesama umat manusia berdasarkan keahliannya”.[40]
Berdasarkan pemikiran H.
Suparman Usman di atas, profesi notaris dikatagorikan sebagai profesi luhur,
karena melakukan aktivitas kerja didasari dengan itikad mulia yang
diikrarkannya atau dengan disumpah di muka umum.[41]
Lafal sumpah tersebut diikrarkan bahwa kegiatan kerja mereka itu adalah demi
kebajikan (kemaslahatan, dan kesejahteraan manusia) dan bukan untuk mencari
kekayaan, dengan demikian yang menjadi motivasi utamanya adalah melayani dan
membantu masyarakat. Selain patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila, UUD
1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan lainnya, notaris selaku
profesi hukum juga taat serta menjalankan nilai-nilai Kode Etik profesinya.
Karena kode etik adalah koridor penyelamat profesi yang luhur dan bermantabat.[42]
Profesi notaris
diharapkan dapat berperan dalam menegakkan, melindungi dan memenuhi hak asasi
manusia di Indonesia, serta mampu mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan sebagai instrument kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia. Sebagaimana dikatakan Sudjito sebagai berikut:
“Ilmu hukum yang bermoral adalah
ilmu hukum yang mampu menjadi pemandu dan obat kerinduan manusia pada kebenaran
dan keadilan absolut. Oleh sebab itu, ilmu hukum dituntut bersifat fasilitatif
terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia baik lahir maupun batin. Ilmu hukum harus
mampu memanusiakan manusia seutuhnya, dan mampu mencegah, membentengi, dan
melindungi dari setiap upaya yang melanggar hak asasi manusia”.[43]
Mengenai profesi hukum
yang dapat memberikan bantuan jasa di bidang hukum kepada masyarakat di
indonesia, Kansil mengkualifikasikan menjadi lima jenis: “Hakim, Penasehat
hukum (advokat, pengacara), Notaris. Jaksa, dan Polisi semuanya lengkapi dengan
etika profesi hukum, agar dapat melaksanakan fungsi dan kegiatannya dengan
sebaik-baiknya”.[44]
Berdasarkan pendapat
Kansil di atas, maka dapat kita ketahui bahwa di Indonesia mengenal ada lima
jenis profesi hukum, dalam melaksanakan fungsi serta kegiatannya dilengkapi
dengan etika profesi hukum itu masing-masing yang disebut dengan kode etik
profesi. Oleh karena itu, notaris selaku profesi hukum pun berkewajiban untuk
menegakkan, mengembangkan, dan melestarikan profesinya, maka sebagai sine qua non kode etik notaris wajib
ditaati, dilaksanakan dan dikontrol sendiri oleh notaris. Dengan demikian
eksistensi kode etik profesi notaris, berupa kepercayaan masyarakat terhadap profesi
notaris dapat diperkuat, karena setiap anggota masyarakat mempunyai ekspektasi atas
terjaminnya keadilan dan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum sebagai
subyek hukum di dalam masyarakat.
Mengenai hal di atas, dipaparkan
juga oleh Widyadharma:
“kedudukan seorang yang
profesionalis dalam suatu profesi, pada hakekatnya merupakan suatu kedudukan
yang terhormat. Karena itu pada setiap profesi melihat suatu kewajiban agar
ilmu yang difahami dijalankan dengan ketulusan hatinya itikat baik serta kejujuran
bagi kehidupan manusia. Maka karena itu etika yang dimiliki setiap profesi juga
merupakan tonggak dan ukuran bagi setiap professionalis agar selalu bersikap
dan bekerja secara etis, dengan mematuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam
sumpah dan kode etiknya”.[45]
Lebih lanjut Widyadharma
memaparkan:
“Dalam kode etik suatu profesi
selalu dilengkapi dengan suatu pedoman bahwa seseorang pengabdi profesi tidak
akan mempersoalkan honorarium serta kemungkinan ada honorarium yang tidak perlu
seimbang dengan hasil pekerjaannya. Hal mana secara tegas di dalam kode etik
notaris juga dapat disebutkan bahwa sekalipun sebenarnya keahlian seorang
tenaga professional notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mendapatkan
uang, namun dalam melaksanakan tugas profesionalnya ia tidak boleh semata-mata
didorong oleh pertimbangan uang”.[46]
Hal serupa juga di komentari oleh
Sumaryono sebagai berikut:
“Aseptabilitas atau kesedian
menerima sebagai kebalikan motif menciptakan uang, adalah ciri khas dari semua
profesi pada umumnya. Tujuan utama sebuah profesi bukanlah untuk menciptakan
uang semata-mata, tetapi terutama untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan serta
ketertiban umum atau penerapan hukum yang baik ke segenap lapisan masyarakat”.[47]
Adapun Koehn memaparkan
pendapatnya sebagai berikut:
“Segala
kegiatan profesional dibuat dengan tujuan bukan untuk imbalan, melainkan lebih
untuk tujuan tertentu atau untuk kebaikan praktek yang berangkutan”.[48]
Berdasarkan
beberapa pemaparan di atas, dapatlah dikatakan bahwa honorarium seorang profesi
notaris yang merupakan imbalan atas karyanya tidak perlu seimbang dengan ilmu
yang diberikan kepada kliennya, karena tujuan dari profesi notaris adalah
mengabdi kepada kepentingan umum (kesejahteraan dan kebahagiaan). Oleh karena
itu, profesi notaris tidak terikat hanya
berpengetahuan tinggi saja, akan tetapi terikat dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam kode etik notaris. Dengan demikian seorang notaris dituntut
memiliki integritas dan moral yang tinggi sehingga dapat menjalankan profesinya
secara bertanggung jawab, menghormati hak-hak orang lain, mampu mendahulukan
kepentingan orang banyak, dan mengabdi pada tuntutan keluhuran dan kemuliaan
profesi notaris di Indonesia.
C. Tantangan Notaris Dalam Penegakan
HAM di Indonesia.
Setiap manusia menginginkan kebahagiaan, baik
kebahagiaan di dunia terlebih-lebih kebahagiaan di akhirat. Profesi apapun,
serta dimanapun manusia itu berada dalam menjalankan profesinya tersebut, tidak
lain tujuannya adalah hanya untuk meraih kebahagiaan. Kebahagian merupakan hak
asasi manusia, sebagaimana diamanatkan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Tentang HAM
“Setiap orang berhak hidup
tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”.
Bekerja pada hakikatnya
merupakan salah satu kewajiban dasar setiap manusia, dengan malakukan pekerjaan
seseorang dapat memperoleh sesuatu yang menjadi haknya sendiri yang merupakan
kontra prestasi atas pekerjaan yang telah dilakukannya tersebut. Melalui
pekerjaannya, manusia dapat dan berkewajiban melayani sesamanya baik dengan
gagasan-gagasan, keterampilan dan melakukan apa saja untuk mengangkat kehidupan
keluarga dan kondisinya ke taraf yang lebih baik.[49]
Menurut Abdul Kadir Muhammad, pekerjaan yang dilakukan manusia dapat
diklasifikasikan kepada tiga jenis, sebagaimana dijelaskannya sebagai berikut:
1. Pekerjaan dalam arti umum, yaitu
pekerjaan apa saja yang dilakukan manusia dengan mengetamakan kemampuan pisik,
baik sementara atau .tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan (upah).
2. Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu
pekerjaan bidang tertentu, mengutamakan kemampuan pisik atau intelektual,
bersifat tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan.
3. Pekerjaan dalam arti tertentu,
yaitu pekerjaan yang mengutamakan kemampuan pisik atau intelektual, baik
sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian.[50]
Berdasarkan
tiga jenis kualifikasi pekerjaan di atas, profesi notaris adalah masuk pada
jenis klasifikasi pekerjaan nomor tiga, dengan kreteria sebagai berikut:
a. Meliputi bidang tertentu saja
(spesialisasi).
b. Berdasarkan keahlian dan
keterampilan khusus.
c. Bersifat tetap atau terus menerus.
d. Lebih mendahulukan pelayanan
daripada imbalan (pendapatan).
e. Bertanggung jawab terhadap diri
sendiri dan masyarakat.
f.
Terkelopok dalam satu organisasi.
g. Bertujuan untuk pengabdian kepada
masyarakat banyak.[51]
Sebagaimana disebutkan
sebelumya, hakikat bekerja juga menuntut seseorang supaya memilih profesi atau
keahlian secara bertanggung jawab, baik secara horizontal pada diri sendiri,
masyarakat, organisasi (kode etik), maupun secara vartikal pada Tuhan Yang Maha
Esa. Akontabilitas sebuah profesi menuntut seseorang untuk mempersiapkan
dirinya secara menyeluruh, termasuk notaris. Eksistensi seorang notaris bukan
semata-mata untuk dirinya sendiri melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Hal ini menjadi dasar seorang notaris untuk menambah pengetahuan dan
keterampilannya dalam upaya optimalisasi pelayanan kepada masyarakat sebagai
misi utama dalam hidupnya, baik saat menjalankan tugas jabatannya maupun
sebagai individual dalam masyarakat sehari-hari.
Profesi notaris harus memahami
dan memaknai tugas dan kewajiban utama profesinya sebagai pengabdian kepada
masyarakat banyak. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya, memberikan
penyuluhan hukum kepada para kliennya untuk mencapai kesadaran hukum yang
tinggi agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai
warga negara dan anggota masyarakat. Hemat penulis, ketentuan pasal 37 UUJN dan
pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris, harus dipahami dan dimaknai oleh notaris
sebagai upaya untuk penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia
sebagai upaya ketertiban dan keteraturan.[52]
Selaras dengan hal di
atas, Sudjito mengatakan: “Sampai saat ini filosofi pendidikan kenotariatan,
disadari atau tidak, telah bergeser dari keinginan mencerdaskan kehidupan bangsa
menjadi ingin cepat kaya dan berjaya”. [53]
Hal di atas di dipaparkan
Tobing, dikutip oleh Widyadharma sebagai berikut:
“Upaya dalam rangka peningkatan
profesionalisme para notaris tidak hanya diketahui tentang tugas dan kedudukan
notaris saja akan tetapi harus juga diketahui bagaimana yang dikehendaki oleh
masyarakat yang akan dilayani”.[54]
Pendapat Tobing di
atas, memperjelas peranan notaris selaku pejabat umum yang diberikan
kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara yang harus dapat melindungi
dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sungguh sebuah tugas dan tanggung jawab yang
teramat berat apabila dimaknai dengan benar. Ketika Surat Keputusan (SK) pengangkatan
sebagai seorang notaris turun secara yuridis formal, saat itu juga seharusnya
tersemat janji untuk menjalankan tugas profesi sebaik mungkin sesuai dengan Pancasila,
UUD 1945, UUJN, serta peraturan perundang-undangan lainnya.[55]
Sanksinya pun tidak hanya berupa sanksi hukum dan sanksi moral dari masyarakat,
namun harus diyakini bahwa aka nada sanksi spiritual oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika Notaris melanggar keluhuran dan martabat profesi notaris, seketika itu
juga berarti notaris tersebut telah melanggar tiga hal tersebut.
Mengingat kompleksitas
masalah yang dihadapi seorang notaris dalam penegakan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia, seyogianyalah seorang notaris harus
membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan disamping ilmu kenotariatan
yang paling esinsial, juga senantiasa mengembangkan pengetahuan yang sifatnya
intelektual, emosional, maupun spiritual agar tetap di jalur kebenaran untuk
pengabdian kepada kesejahteraan masyarakat.[56]
Kehidupan ekonomi,
sosial dan budaya masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan, hal ini dapat
mendorong diri notaris terseret ke arah jebakan yang bersifat materialisme dan
hedonism, hingga akhirnya dapat melanggar sumpah/janji dan misi notaris yang
mulia dan luhur. Walaupun regulasi telah membentengi agar praktik yang tercela
itu tidak muncul, namum tetap saja tidak dapat menjamin seratus persen.
Satu-satunya hal yang dapat menjamin notaris berjalan di koridor yang benar
adalah kualitas diri notaries itu sendiri.
Kemulian dan keluhuran
profesi notaris sekarang cenderung semakin memudar (degradasi), hal ini
dikarenakan terus bertambahnya daftar nama notaris yang terkait dengan perkara
di pengadilan baik perkara perdata maupun perkara pidana. Selain kualitas diri
notaris yang kurang mampuni, dapat juga dikarenakan trendnya profesi notaris
sebagai mesin pencetak uang. Sebagaimana dikatakan Sugiono yang dikutip Majalah
Renvoi sebagai berikut:
“Trendnya notaris sekarang hanya
dapat uang saja, sehingga tidak memperhatikan lagi bahwa dia menyandang suatu
pekerjaan yang professional. Hal ini saya katakan berdasarkan sering banyak
klien yang mengeluh, serta banyak kasus di Pengadilan yang menyeret notaris
selaku terdakwa, dan saya sering dimintakan menjadi saksi ahli dalam teknik
pembuatan akta”.[57]
Sejalan
apa yang dikatan Sugiono tersebut Gunardi juga mengatakan:
“Seorang notaris bekerja tidak
melulu berorientasi pada hitungan untung-rugi, melainkan dibebani pula tanggung
jawab sosial. Yakni, wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma
kepada mereka yang tidak mampu. Begitulah yang ditegaskan dan di atur dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN)”.[58]
Bertitik tolak pada
ke-dua pendapat praktisi notaris di atas, dapat kita jumpai adanya sebuah
tantangan bagi notaris untuk memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan[59]
atau kenotarisan[60] secara
cuma-cuma oleh notaris, namun demikian pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini
tidak kita jumpai baik di dalam UUJN, Kode Etik Notaris, maupun peraturan organik,
sebagai ketentuan yang mengatur tentang pemberian jasa hukum secara cuma-cuma
oleh notaris.[61]
Mengingat belum adanya akses masyarakat untuk mendapatkan jasa hukum di bidang
kenotariatan/kenotarisan dari profesi notaris di Indonesia, maka sedah menjadi
keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan akses itu secara kelembagaan. Jika
melalui profesi advokat berupa Lembaga Bantuan Hukum (LBH), maka melalui
profesi notaris berupa Lembaga Bantuan Akta Notaris (LBAN). Sungguh sebuah
tugas yang mulia dan luhur bagi notaries, jika adanya akses yang tersistem /
kelembagaan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cuma-cuma,
sebagai upaya penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di
Indonesia.
D. Lembaga Bantuan Akta
Notaris (LBAN), Sebuah Gagasan Manifestasi Penegakan HAM Oleh Notaris di Indonesia.
Berbicara mengenai penegakan hak
asasi manusia di Indonesia, sebagaimana telah penulis paparkan terdahulu, secara
deklaratif hak asasi manusia telah dikumandangkan oleh bangsa Indonesia yang
dituangkan dalam pembukaan UUD 1945.[62] Penegakan
hak asasi manusia secara formal[63] di bumi
Indonesia ini terjadi 3 (tiga) tahun sebelum lahirnya Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tepatnya
tanggal 10 Desember 1948, yang diterima dan umumkan majelis umum PBB melalui
resolusi 217 A(III).[64]
Pembukaan UUD 1945 itu terdiri dari
4 (empat) alinea atau baris kalimat, yang jika ditelaah muatan isinya
menunjukkan arti dan maksud yang bersifat umum dan universal. Pembukaan UUD
1945 yang tersusun secara formal 4 pokok itu bersinergi dan terintegrasi satu
sama lainnya, maka untuk memahami muatan dari pembukaan UUD 1945 itu harus
memahami alinea secara keseluruhan. Sebagaimana dikatakan Jarmanto: “Pembukaan Undang-Undang Dasar secara formal
tersusun di dalam empat bagian pokok itu, isi kebenarannya terdapat di dalam
keseluruhan dan kebulatan arti keempat alinea tersebut, maksudnya ialah bahwa
arti yang benar dari alinea pertama hanya dapat kita fahami jika kita juga
memahami arti dari ketiga alinea yang lain”.[65]
Berdasarkan rumusan sila-sila yang
menjadi dasar Negara Indonesia, menggambarkan bahwa adanya pengakuan dari
bangsa Indonesia kepada hak asasi manusia yang bersifat universal, jadi bukan
orang perorang dan bukan kelompok tertentu saja. Hal ini dapat kita lihat pada
subjek digunakan dalam kalimat sila-sila pancasila tersebut yakni, Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
Selanjutya dalam konstitusi kita hak
asasi manusia ini dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945, bahkan dicantumkan dengan
jelas dan tegas sebagai judul BAB XA UUD 1945 “HAK ASASI MANUSIA”. Sebagai
hukum dasar UUD 1945 tidak memberi pengertian tentang hak asasi manusia, namun
pengertian hak asasi manusia ini dapat kita ketahui di dalam pasal 1
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dan dalam Ketentuan Umum pasal 1
Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Merujuk pada Pancasila
sebagai dasar Negara, dan ketentuan yang diamanatkan UUD 1945, serta
Undang-Undang yang khusus mengatur tentang HAM di atas, maka hak asasi manusia
di Indonesia harus ditegakkan, dilindungi, dan diperjuangkan dalam pemenuhannya
kepada seluruh masyarakat Indonesia. Termasuk rasa keadilan dalam perlakuan
hukum dan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum.
Notaris sebagai pejabat umum
mempunyai kewenangan dalam melakukan tugas, fungsi dan kewajibannya diberikan negara[66] melalui
Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Kewajiban negara yang
diamanatkan Pancasila[67] dan UUD
1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejateraan umum,[68] dalam
rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia sebagain
didelegasikan kepada notaris, karena itulah, sebelum menjalankan jabatannya
notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya akan menjalankan
pancasila, UUD 1945, UUJN, peraturan perundang-undangan lainnya termasuk
Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Peradilan HAM.
Berdasarkan pengertian tentang HAM
yang diformulasikan dalam pasal 1 Undang-Undang HAM dan pasal 1 Undang-undang
Pengadilan HAM, maka hak untuk mendapatkan keadilan dalam perlakuan hukum (Equality Before the Law) dan hak untuk
mendapatkan rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum sebagai subyek hukum di
dalam masyarakat merupakan hak asasi manusia yang wajib ditegakkan, dilindungi
dan dipenuhi serta dijunjung tinggi oleh setiap orang, terutama notaris yang
relevan dengan tugas dan fungsinya di dalam masyarakat. Sebagaimana diatur
dalam pasal 1 UUJN :” Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini”. Pendelegasian[69]
kewenangan membuat akta otentik oleh negara ini sesuai dengan prinsip negara
hukum yang menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang
berintikan kebenaran dan keadilan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan,[70] sejalan
dengan lalu lintas hukum yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Akta
Otentik produk notaris ini, selain berfungsi untuk mencegah sengketa karena
telah menentukan dengan jelas hak dan kewajiban subyek hukum dalam lalu lintas
hukum di masyarakat, juga mempunyai peranan yang sangat penting sebagai alat
bukti yang terkuat dan terpenuh dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat
jika sengketa tidak dapat dihindarkan.[71]
Sebagaimana telah penulis paparkan terdahulu bahwa,
payung hukum yang utama bagi profesi notaris dalam menjalankan profesi
jabatannya adalah UUJN dan Kode Etik Notaris. Pasal 37 UUJN memerintahkan: “Notaris wajib memberikan jasa hukum di
bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu”. Hal serupa
ditegaskan kembali dalam pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris yang menyebutkan
notary berkewajiban: “Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa
kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium”.
Disamping itu notaris juga berkewajiban untuk “mengutamakan pengabdian kepada
kepentingan masyarakat dan Negara”. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 3 angka
6 Kode Etik Notaris.
Pencantuman pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 pada Kode
Etik Notaris di atas oleh penggagasnya diharapkan menjadi salah satu bentuk
kepedulian (rasa sosial) notaris
terhadap lingkungannya dan merupakan wujud pengabdian profesi notaris terhadap
masyarakat, bangsa dan Negara. Namun sangat disayangkan, implementasi terhadap
ketentuan di atas masih berada ditataran formal, dalam artian penegakan hak
asasi manusia oleh notaris masih sebatas pembuatan peraturannya, belum sampai
pada implemtasi terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam ketentuan
tersebut. Hal ini sangat memprihatinkan dunia penegakan hukum, (penegakan hukum
yang penulis maksud disini bukan
penegakan hukum HAM dalam perspektif normatif, melainkan penegakan hukum HAM
dalam perspektif Sosiologis)[72]. Sudah seyogianya
profesi notaris mempunyai berperan aktif dalam penegakan hak asasi manusia,
memberikan pelayanan Bantuan Akta Notaris (BAN)[73] kepada
masyakat secara cuma-cuma guna perlindungan sebagai subyek hukum dan pemenuhan
hak rasa aman dalam melakukan perbuatan hukum dalam mobilitas kehidupan bermasyarakat,
dengan demikian rasa keadilan dan rasa aman bagi masyarakat akan terjamin.
Urgensitas akta otentik produk notaris yang begitu besar
dalam penegakan, perlindungan, pemenuhan serta menjamin adanya kepastian hukum,
ketertiban dan keadilan dalam mewujudkan tujuan negara bagi kepentingan
masyarakat (kesejahteraan dan kebahagiaan). Peran serta yang dominan, dari
kewenangan yang dimiliki profesi notaris yang diberikan negara melalui UUJN
sangat dibutuhkan dan dinanti-nantikan oleh masyarakat banyak. Belum
terwujudnya suatu lembaga khusus yang menangani pembuatan akta secara cuma-cuma
oleh notaris di tanah air ini, menambah buruknya citra profesi hukum di tanah
air, terutama profesi notaris. Keluhuran dan kemuliaan profesi notaris di
masyarakat semakin memudar dan terpendam, bersamaan dengan mahalnya tarif / fee
sebagai prestasi dari jasa yang notaris berikan kepada masyarakat. Bahkan kecendrungannya
sebagian besar notaris di Indonesia hanya milik mereka yang berkelas/mempunyai
kemampuan secara finansial.
Bertambahnya deretan nama notaris yang duduk dikursi
pesakitan bukan sebagai saksi, namun sebagai tersangka / terdakwa dalam proses
peradilan menambah kelam potret profesi hukum di Indonesia, dan memperkuat
keyakinan masyarakat tentang kebobrokan dalam penegakan hukum di Indonesia, dan
akhirnya bermuara pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi hukum
yang ada. Sebagaimana dikatakan Achmad Ali:
“Kebobrokan dalam
law enforcement, yang mengakibatkan
hilangnya kepercayaan warga masyarakat merupakan “lingkaran syetan” yang hanya
mampu dipecahkan oleh penegak hukum itu sendiri”.[74]
Negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang
sama di hadapan hukum sebagai sarana penegakan hak asasi manusia. Penegakan hak
asasi manusia harus dilihat dari dua sisi yakni preventif (pencegahan) dan
penindakan, proses penegakan hak asasi manusia pun bukan hanya melalui
peradilan. Sebagian besar para pemikir hukum di Indonesia berbicara mengenai
penegakan hak asasi manusia lebih mengacu pada penindakan, termasuk para
pembuat undang-undang yang merupakan bagian dari proses penegakan hak asasi
manusia, hal ini dapat kita lihat pada pasal pasal 4 Undang-Undang No. 16 Tahun
2011 Tentang Bantuan Hukum: “Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan
hukum yang menghadapi masalah hukum”. Lebih lanjut pasal 6 menyebutkan:
“Bantuan hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang
dihadapi penerima bantuan hukum”.
Sudah menjadi mafhum dikalangan profesi hukum, bahkan
masyarakat yang sering bersinggungan dengan profesi hukum bahwa, salah satu
perbedaan yang signifikan antara profesi hukum advokat dengan profesi hukum
notaris adalah pada fungsinya, Advokat bertindak cendrung pada penindakan
berupa menyelesaikan perselisihan/sengketa, dan notaris bertindak lebih pada
prefentif berupa mencegah terjadinya perselisihan /sengketa. Hemat penulis, tindakan penyelesaian sengketa
oleh advokat, maupun tindakan prefentif untuk mencegah terjadinya sengketa oleh
notaris, namun kedua profesi hukum ini sama-sama dalam konteks penegakan hukum
dan penegakan hak asasi manusia. Pertanyaannya sekarang, mengapa perhatian kita
terutama pelaku hukum lebih besar pada penindakan? Ditandai dengan
terbembentuknya Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Oleh Advokat yang terbentang di segala penjuru tanah air, bahkan dilahirkan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011Tentang Bantuan Hukum.
Notaris merupakan salah satu jabatan profesi yang
mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengakomodasi perbuatan hukum yang
dilakukan masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman, bahkan UUJN menyebut notaris
sebagai pejabat umum yang bertujuan untuk melayani masyarakat. Semua yayasan
Pos bantuan hukum menggunakan produk notaris.[75] Akta
otentik yang merupakan produk dari notaris dapat melindungi dan memberikan rasa
aman terhadap masyarakat. Sebagian besar kebutuhan hubungan hukum di tengah
masyarakat memerlukan jasa notaris, namun karena mahalnya tarif yang ditentukan
notaris membuat sebagian besar dari anggota masyarakat memilih tidak
menggunakan jasa notaris, Urgensitas akta otentik dari notaris tersebut dapat
mencegah terjadinya sengketa di dalam masyarakat, karena menentukan dengan
jelas kedudukan anggota masyarakat sebagai subyek hukum dalam lalu lintas
hubungan hukum di dalam masyarakat.
UUJN dan Kode Etik Notaris sebagai payung hukum bagi
notaris dalam menjalankan profesi jabatannya, mengamanatkan agar notaris ikut
berperan aktif dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Hal ini dapat
kita ketahui dengan adanya ketentuan pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode
Etik Notaris. Mewajibkan kepada notaris untuk memberikan jasa hukum pembuatan
akta secara cuma-cuma tanpa memungut honorarium/fee bagi yang menggunakan jasanya.
Indonesia dalam konteks negara hukum yang menjamin HAM, seyogianya membentuk
Lembaga Bantuan Akta Notaris (LBAN)[76] sebagai
manifestasi penegakan, perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia, juga
manifestasi keluhuran dan kemuliaan dari profesi notaris di Indonesia, sehingga
dapatlah dikatakn profesi notaris itu profesi yang luhur dan mulia (Officium Nobile).
E. Penutup
Notaris sebagai pejabat umum, merupakan
salah satu jabatan profesi yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam
mengakomodasi perbuatan hukum yang dilakukan masyarakat sesuai dengan tuntutan
zaman. Urgensitas akta otentik produk dari notaris, menentukan dengan jelas
kedudukan anggota masyarakat sebagai subyek hukum dalam lalu lintas hubungan
hukum di masyarakat, sehingga dapat mencegah terjadinya konflik di dalam
masyarakat. Terjadinya sengketa yang tidak dapat dihindarkan, akta otentik produk
notaris merupakan alat bukti sempurna dalam meyelesaikan konflik yang terjadi
di dalam masyarakat.
Kewenangan dan kewajiban notaris yang
diberikan negara melalui UUJN hampir meliputi semua ruang gerak hubungan hukum
yang ada di masyarakat, semua organisasi kemasyarakatan baik perkumpulan maupun
yayasan yang berbadan hukum membutuhkan produk notaris dalam pendiriannya.
Bahkan Yayasan Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) yang lahir dari Undang-Undang No.
16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum pun membutuhkan akta notaris. Sebagai upaya
penegakan HAM, seyogianya di Indonesia dibentuk secara kelembagaan mengenai
bantuan jasa hukum dari notaris dengan cuma-cuma untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Terbentuknya Lembaga Bantuan Akta Notaris (LBAN) ini, merupakan
manifestasi penegakan HAM di Indonesia oleh profesi notaris, sejalan dengan tujuan dilahirkannya UUJN untuk
memberikan pelayanan hukum kepada masyakat, terutama yang diamanatkan pasal 3
UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris Indonesia.
Degradasi idealisme profesi hukum di Indonesia semakin
nyata dan terasa, karena
seringnya keadilan dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa, masyarakat yang
mempunyai kemampuan finansial dan strata sosial yang tinggi, akhirnya keadilan
dan kebenaran itu menjadi sebuah fatamorgana bagi masyarakat. Idealisme profesi
notaris sebagai pejabat umum seakan menjadi barang baru
dan aneh di tengah maraknya pragmatisme dan hedonisme yang menjadi faham baru
di tengah masyarakat. Himpitan materialisme dan kebutuhan hidup serta
eksistensi operasional kantor menjadi alasan klise bagi notaris untuk
memberikan pelayanan secara cuma-cuma kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
I.
BUKU
Adjie, Habib, Hukum Notari Indonesia, Rafika Aditama,
Bandung, 2008.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebabnya dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta,
2002.
Alkostar,
Artdjo, Negara Ini Tanpa Hukum Catatan
Pengacara Jalanan, PUSHAM UII, Yogyakarta, Cetakan ke dua (edisi revisi),
2008.
______,
Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban,
PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004.
______,
Peran dan Tantangan Advokat Dalam Era
Globalisasi, FH UII Press, Yogyakarta, 2010.
Andasasmita,
Komar, Notaris I Peraturan Jabatan, Kode
Etik, Asosiasi Notaris/Notariat, Cetakan Ketiga, Ikatan Notaris Indonesia
Daerah Jawa Barat, Bandung, 1991.
Anshori,
Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan
Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009.
______, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum,
Kreasi Total Media Yogyakarta, 2008.
Asplund, Knut D,
Marzuki, Suparman, Riyadi, Eko (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008.
Budiarto, M.Ali,
Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah
Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta, 2005.
Dimyati, Khudzaifah,
Teorisasi Hukum, Muhammadiyah
University Press, Surakarta, 2005.
Fadjar,
A. Mukthie, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publishing, Cetakan ke dua, Malang,
2005.
Jarmanto,
Pancasila Suatu Tinjauan Aspek Historis
dan Sosio-Politis, Liberty Yogyakarta, 1982.
Kansil, C.S.T, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, PT
Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
Kie, Tan Thong, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi
Praktek Notaris, Icthiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000.
Koehn, Daryl, Landasan Etika Profesi, Kanisius,
Yogyakarta, 2000.
Liliana
Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi
Notaris, PT. Bayu Indra Grafika, Yogyakarta, 1995.
Lubis, Suhrawardi
K, Etika Profesi Hukum, Sinar Garfika,
Jakarta, 1994.
M.S,
Kaelan, Filsafat Pancasila, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1991.
MA, Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Karya
Harapan, Surabaya, tanpa tahun.
Marzuki,
Suparman, Robohnya Keadilan! Politik
Hukum HAM Era Reformasi, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2011.
Muhammad, Abdul Kadir,
Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Notodisoerjo, R.
Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.
Pengurus Pusat
Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri
Notaris, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2008.
Rahardjo,
Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
______,
Pendidikan
Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
______,
Membangun dan Merombak Hukum Indonesia
Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
______,
Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
Rampai, Bunga, Mengurai
Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007.
Sumaryono, E, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Tanya,
Bernard L, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
UNHCR,
Departemen Kehakiman dan HAM dan POLRI, Instrumen
Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum,
Cetakan-1, Jakarta, 2002.
Usman, H.
Suparman, Etika dan Tanggung Jawab
Profesi Hukum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008.
Wahjono,
Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas
Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan ke-dua, 1986.
Widyadharma, Ignatius Ridwan, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Wahyu Pratama, Semarang, 1991.
II.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik
Indonesia, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Berita Negara Tahun ke-II 1946. LN No. 75 Tahun 1959.
_____, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris. LN No. 117 Tahun 2004, TLN No. 4432.
_____, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, LN No.165 Tahun 1999. TLN No. 3886.
_____, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Aasi Manusia.
LN No. 208 Tahun 2000, TLN No. 4026.
_____, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, LN No. 104
Tahun 2011, TLN No. 5248.
_____,Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, LN No.12 Tahun 2009, TLN No.
4967.
_____, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Reglement op Het Notaris Ambts in Indonesie (STB 1860:3) sebagaimana telah
diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101.
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Nederland,
tanggal 23 Agustus – 22 September 1949.
Ikatan Notaris
Indonesia, Kode Etik Notaris Indonesia.
[1] Redaksi Sinar Grafika, UUD
1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 secara Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, 2002,
hlm. 3
[2] Jarmanto, Pancasila Suatu Tinjauan Aspek Historis dan
Sosio-Politis, Liberty Yogyakarta, Yogyakart, 1982, hlm. 126.
[3] Ibid, hlm. 131.
[4] Baca Kaelan M.S,
Filsafat Pancasila, Disusun Berdasarkan Silabus Dan SAP Tahun 1990, Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1991, hlm, 45.
[5] Artidjo Alkostar,
Dalam Kata Pengantar: Mengurai
Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007, hlm. xi.
[6] Hak Asasi Manusia pada
pasal 28A – 28j UUD 1945, yang isi pokoknya menjamin hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri,
hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak
atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita. hak anak,
hak tertib kehidupan berbangsa dan bernegara.
[7] Pengertian yang sama
disebutkan juga dalam Ketentuan Umum pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[8] Satjipto Rahardjo dalam Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005,
hlm. 1
[9] pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
[10] Baca juga Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.
[11] Pasal 37 UUJN menyebutkan: “Notaris
wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada
orang yang tidak mampu”.
[12] Kode Etik Notaris,
ditetapkan 28 Januari 2005, di bandung: “Memberikan jasa pembuatan akta dan
jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut
honorarium”.
[13] Baca juga Pasal 15
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mengenai kewenangan
notaris.
[14] Baca juga Muntoha, Hak Asasi Manusia di Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia,
Op. Cit, hlm. 258-267.
[15] H.R. Soejadi, Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan,
Aktualisasinya di Indonesia, dalam Membangun Hukum Indonesia, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Hukum, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2008, hlm. 89.
[16] Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia
Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm.
37.
[17] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,
Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan ke dua, 1986, hlm.80.
[18] Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi
Praktek Notaris, Icthiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hlm. 162
[19] Alinea ke empat pembukaan yakni: melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
[20] Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199K/Pdt/1994,
tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan pasal
165 HIR jo 285 Rbg jo 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak
dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. M.Ali Budiarto, “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah
Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad”, Swa Justitia, Jakarta, 2005,
hlm. 150.
[21] Baca Juga pasal 4 Undang-undang
nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[22] Baca Juga Bernard L.
Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 212.
[23] Pasal 21 dan 22 UUJN
Mengatur mengenai Formasi Jabatan Notaris.
[24] Artidjo Alkostar, Negara Ini Tanpa Hukum Catatan Pengacara
Jalanan, PUSHAM UII, Yogyakarta, Cetakan ke dua (edisi revisi), 2008,
hlm.6.
[25] Gagasan Penulis
Urgensi, Peran dan Tantangan Notaris dalam Pengakan HAM di Indonesia.
[26] Baca Artidjo Alkostar,
Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban,
PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004, hlm.1-2.
[27] R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum
Notariat di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 13.
[28] Notaris pertama di Indonesia (pada waktu itu disebut Nederlandst
Oost Indie) ialah seorang Belanda bernama Melchior Kerchem. Ia diangkat
Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sebagai notaris di Jacatra pada tanggal 20 Agustus 1620. Tertanggal
4 Maret 1621 diberi nama Batavia. Komar Andasasmita, Notaris I, Ikatan Notaris
Indonesia Daerah Jawa Barat, Bandung, 1991, hlm.29-30.
[29] Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2008, hlm. 104.
[30] Baca Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Cetakan ke-tiga, Bandung, 1991, hlm.132
[31] Baca juga Abdul Ghofur
Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia
Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 25-27.
[32]
http;//groups.yahoo.com/group/notaris_indonesia/message/1416, Jusuf
Patrick, Dunia Kenotariatan yang
Profesional, di akses tanggal 21 Maret 2012.
[33] Alex MA, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Karya
Harapan, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 525.
[34] Liliana Tedjosaputro, Etika
Profesi Notaris, PT. Bayu Indra Grafika, Yogyakarta, 1995, hlm. 32.
[35] H. Suparman Usman, Etika dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta,
2008, hlm.121.
[36] C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok
Etika Profesi Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm. 4.
[37] Suhrawardi K. Lubis, Etika
Profesi Hukum, Sinar Garfika, Jakarta, 1994, hlm. 10.
[38] Baca C.S.T. Kansil, Op. Cit.
hlm. 4.
[39] H. Suparman Usman, Op. Cit.
hlm. 120.
[40] Lok. Cit.
[41] Pasal 4, 5 dan 6 UUJN mengatur tentang sumpah/janji notaris.
[42] Baca Artidjo Alkostar,
Peran dan Tantangan Advokat Dalam Era
Globalisasi, FH UII Press, Yogyakarta, 2010, hlm. 145
[43] Sudjito, Perkembangan Ilmu
Hukum : Dari Positivistik Menuju Holistik dan Implikasinya Terhadap Hukum
Agraria Nasional, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 2007, hlm. 14.
[44] CST. Kansil, S.H., Op.Cit.
hlm. 7.
[45] Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum
Profesi tentang Profesi Hukum,
Wahyu Pratama, Semarang, 1991, hlm. 50.
[46] Ibid. Hlm. 5.
[47] E. Sumaryono, Etika Profesi
Hukum, Kanisius, Yogyakarta,
1995, hlm. 34.
[48] Daryl Koehn, Landasan Etika
Profesi, Kanisius, Yogyakarta,
2000, hlm. 68
[49] Baca juga Penjelasan
pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM.
[50] Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm. 57
[51] Baca juga Satjipto
Rahardjo, Pendidikan Hukum Sebagai
Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 69-72.
[52] Knut D. Asplund, Suparman Marsuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII,
Yogyakarta, hlm. 265-266.
[53]
http//hukum.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=184&itemed=127,
Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si. Pendidikan
Kenotariatan Tak Sekadar untuk Kaya dan Berjaya, diakses 17 Maret 2012.
[54] Ignatius Ridwan Widyadharma, S.H., MS. Op.Cit. Hlm.106.
[55] Baca kembali bunyi
sumpah/janji notaris pasal 4 UUJN.
[56] Baca juga A. Mukthie
Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayu Media
Publishing, Cetakan ke dua, Malang, 2005, hlm. 28
[57] Hendrika Suwarti Sugiono, Renvoi, Edisi Nomor 11.47.IV, 2007,
hlm. 46
[58] Gunardi, Profesi Notaris di Masa Sekarang, Internet, diakses 13
Januari 2009.
[59] Penyebutan pasal 37
UUJN.
[60] Penyebutan pasal 3
angka 7 kode etik notaris.
[61] Penulis membedakan
antara pemberian bantuan hukum oleh advokat dan pemberian jasa hukum di bidang
kenotarisan oleh notaris.
[62] Lihat kembali halaman pertama tulisan ini, sengaja tidak penulis
tuliskan agar tidak terjadi pengulangan kata dalam penulisan ini.
[63] Baca Satjipto
Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm.23-24.
[64] Baca UNHCR, Departemen
Kehakiman dan HAM dan POLRI, Instrumen
Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum,
Cetakan-1, Jakarta, 2002, hlm.1.
[65] Jarmanto, Pancasila Suatu Tinjauan Aspek Historis dan
Sosio-Politis, Op. Cit, hlm. 35
[66] Baca juga Pasal 28i UUD 1945 ayat 4 dan 5.
[67] Kedudukan Pancasila sebagai
sumber hukum dasar nasional, sumber dari segala sumber hokum yang berada di
atas konstitusi, kaidah pokok negara yang fundamental (Staats Fundamental Norm). Baca juga H. Suparman Usman, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia,
Op.Cit, hlm. 129-143.
[68]Ketentuan Umum Pasal 1
Undang-Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial yakni: Kondisi
tepenuhinya kebutuhan material, Speritual dan social warga Negara agar dapat
hidup layak dan mampu mngembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya.
[69] Habib Adjie, Hukum Notaris
Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 78.
[70] Baca juga pasal 28c (1), pasal 28D(1), pasal 28G(1), pasal 28H
(1-4), pasal 28I (1,2,4 dan 5), dan pasal 28j (2) UUD 1945 amandemen ke empat.
[71] Baca juga Penjelasan
Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
[72] Baca Suparman Marzuki,
Robohnya Keadilan! Politik Hukum HAM Era
Reformasi, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2011, hlm. 34-42.
[73] Sebuah gagasan untuk
perkembagan penegakan hak asasi manusia khususnya di bidang kenotariatan.
[74] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebabnya
dan Solusinya), Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 103-104.
[75] Pendirian Yayasan Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) Menggunakan Akta
Notaris.
[76] Gagasan penulis dalam
penulisan: Urgensi, Peran dan tantangan Notaris Dalam Penegakan Hak asasi
manusia di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar