PEMBERIAN
BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM HAM DI INDONESIA
(Studi Kasus Di Daerah Istimewa Yogyakarta)
By: Bedi Setawan Alfahmi, S.H., M.Kn
A. Latar
Belakang Masalah
“Kejahatan
Akan Terus Ada, Bukan Karena Banyaknya Orang-Orang Jahat. Tapi Karena DIAMNYA ORANG BAIK..!”
Sepenggal kalimat di atas sengaja penulis tukilkan untuk mengawali
penulisan ini, mengingat merajalelanya kejahatan di negeri ini, dan semakin
tingginya frekuensi kejahatan itu dilakukan oleh para pemangku kekuasaan dengan
metode yang terorganisir dan cendrung kolektif. Kekuasaan yang sejatinya menjadikan
seseorang sebagai pelayan dan pengayom kepada masyarakat dalam memberikan rasa
aman, adil dan makmur untuk mencapai masyarakat yang sejahtera, telah
disalahgunakan (a buse of power)
dengan memenjarakan hak-hak warga negara, bahkan mengeksploitasikannya sedemikian
rupa, sehingga rakyatpun tak berdaya. Hati kita bertambah miris, tatkala
dihadapkan pada sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa, kejahatan itu
dilakukan oleh aparatur penegak hukum pada masyarakat pencari keadilan di saat proses
penegakan hukum di lembaga peradilan, dalam bahasa sosial disebutkan “mafia peradilan”.
Sedemikian parahnya potret penegakan hukum di negeri ini. Sehingga, Artidjo
Alkostar salah satu Hakim Agung non-karir mengusulkan untuk dilakukan General Check up terhadap seluruh tubuh
peradilan baik polisi, jaksa, hakim dan advokat, adanya kasus-kasus hukum yang
menyeret aparatur penegak hukum duduk dikursi pesakitan menunjukkan suasana
tragikomis.
Substansi pemikiran yang sejalan dengan pandangan Artidjo Alkostar di atas, dikemukakan
juga oleh Suparman Marzuki dalam mendeskripsikan barometer kondisi parahnya penegakan
hukum di tanah air saat ini, pada sinopsis salah satu bukunya ia menuliskan: “Hukum membawa kita menjauh dari nilai keadilan,
Prosesi peradilan seperti ritual yang kaya simbol tapi miskin makna, bahkan
peradilan dijadikan tempat berlindung dan medan pembelaan kejahatan para
penguasa”.
Secara deklaratif bangsa Indonesia telah mengumandangkan HAM sejak tanggal
17 Agustus 1945, hal ini dapat dibuktikan pada pembukaan UUD 1945 yang
mengkristalkan hakikat HAM secara implisit“Kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikeadilan dan prikemanusiaan”.
Hak asasi juga telah dikristalkan oleh
Founding Father dalam Grand Norm
yang merupakan dasar dan falsafah ideologi negara, sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia.
Sebagaimana dituangkan dalam sila pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, dan sila ke dua: “Kemanusiaan
Yang Adil Dan beradab”. Sejalan dengan sila kedua
Pancasila ini, Artidjo Alkostar mengatakan: “Membangun
Peradaban Bangsa Dengan Menegakkan Hak Asasi Manusia”.
Kesadaran akan konsep negara hukum sebagai pilihan yang ideal bagi bangsa
Indonesia ini pun secara tegas dikodefikasikan dalam penjelasan UUD 1945 dengan
mengatakan “Indonesia ialah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtstaat)
dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Robohnya rezim gurita, yang menerapkan tata pemerintahan ala kerajaan
selama 32 tahun mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang reformasi.
Salah satu tuntutan reformasi kala itu mengamanatkan kepada pemerintahan
transisi (BJ Habibie) untuk melakukan supremasi hukum dengan menyeret pemegang tampuk kekuasaan (Soeharto)
di kursi pesakitan untuk diadili. Hal ini mengedentifikasikan adanya perubahan
haluan tatanan berbangsa dan bernegara menuju ke arah yang lebih kongkrit
dengan semangat konstitusional (law enforcement),
sementara dari sisi konstitusional formal (law
making) diawali dengan terjadinya amandemen terhadap UUD 1945, semula merupakan
sesuatu hal yang kramat dan tabu untuk dilakukan, menjadi suatu
keharusan dalam memasuki babak baru perjalanan bangsa indonesia menuju era
reformasi dengan ekspektasi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan yang
merata bagi rakyat Indonesia sebagai tujuan dari berbangsa dan bernegara.
Proses konsep bangsa Indonesia sebagai negara hukum menjadi lebih nyata
saat dikukuhkannya dengan meng-upgrade
konstitusi melalui amandemen ketiga UUD 1945 Tahun 2001, semula konsep negara
hukum itu hanya termuat pada penjelasannya, menjadi dimasukkan pada
batang tubuh UUD 1945. Amandemen ketiga pada
pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini secara tegas merumuskan bahwa, “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum”.
Perubahan konsep dengan mengukuhkan bangsa Indonesia sebagai negara hukum pada
pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini menghendaki adanya, jaminan dari negara kepada
setiap warga negara agar terselenggaranya persamaan kedudukan di dalam hukum,
lebih lanjut dimanifestasikan hak-hak setiap warga negara untuk mendapatkan
perlakuan yang sama di depan hukum (justice
for all), juga dikehendaki adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk
mendapatkan akses keadilan (access to
justice). Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Pertaruhan berjalan mulusnya kesetaraan kedudukan dan perlakuan di mata hukum,
bagi setiap warga negara dalam mencari keadilan melalui lembaga peradilan ini
tidak semudah dan semulus membaca teks yang ada. Disamping membutuhkan
keterampilan khusus, mereka juga dihadapkan pada persoalan yang krusial terkait
dengan budaya praktik di persidangan yang mengenyampingkan hukum dengan
menghalalkan segala modus operandi. Dalam konteks ini, sama halnya warga negara
dihadapkan pada sebuah tembok yang kokoh dan perkasa, namun mereka harus melaluinya
dengan tangan kosong tanpa persiapan apa-apa.
Pasca amandemen ketiga UUD 1945, tepatnya tanggal 10 November 2001. Menambahkan
ayat (3) pada pasal 1 UUD 1945 (negara
Indonesia adalah negara hukum) dan mengubah pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menjadi
(kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD). Secara jelas dan tegas konsep negara dalam
konstitusi kita mengatakan negara ini adalah negara hukum, dan kedaulatan negara
kita ada di tangan rakyatnya. Sebelumnya pada saat amandemen kedua tanggal 18
Agustus 2000, terjadi penambahan 1 bab dengan 10 pasal 28A – 28J, Bab XA ini
berjudul Hak Asasi Manusia.
Peran dan fungsi advokat sebagai Officium
nobile bukan saja pada saat proses
penegakan hukum di peradilan (litigasi)
yang berakhir dengan putusan lembaga peradilan (legal formal), namun peran dan fungsi advokat yang lebih urgen
yakni sebelum proses penegakan hukum di peradilan (non litigasi), dengan memberikan pengertian dan pemahaman kepada
masyarakat pencari keadilan agar mereka mengetahui dan memahami sehingga meyakini
bahwa, jalan hukum dan upaya hukum itu terbuka untuk semua orang yang ingin menyelesaikan
problematika hukum yang dihadapinya, dan hal ini merupakan hak asasi yang dapat
mereka peroleh dan pergunakan secara efektif. Sebagaimana dikatakan Padmo
Wahjono “Setiap hak asasi itu mutlak harus ada dan dimiliki setiap orang secara
efektif, agar dia dapat disebut sebagai manusia”.
Hak asasi dapat diperoleh dan dipergunakan bukan diberikan negara dikarenakan
mereka tergolong orang miskin, buta hukum dan tidak mampu, melainkan
dikarenakan mereka adalah manusia. Hak asasi itu melekat pada diri manusia
tanpa ada perbedaan. Sebagaimana disebutkan dalam kesimpulan dari hasil riset (Pengalaman
Empiris) inisiasi dan analisa pelaksanaan bantuan hukum di tingkat propinsi,
kabupaten/kota, dan di tingkat lokal oleh YLBHI:
“Paradigma
bantuan hukum tidak terletak pada pertimbangan ekonomi atau ketidakmampuan
masyarakat akibat alasan ekonomi, tetapi terletak pada ketidakmampuan
masyarakat akibat alasan-alasan yang menutup akses hukum dapat berjalan dengan
adil. Sehingga, bantuan hukum seharusnya tidak hanya diberikan pada masyarakat
miskin, namun juga kepada masyarakat yang tidak mampu karena alasan-alasan
sosial politik yang menghalanginya mendapatkan perlakuan hukum yang adil.
Adapun Pengertian
Hak Asasi Manusia dapat kita lihat pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh Negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia”.
Globalisasi menerjang semua negara tanpa pandang bulu,
krisis keuangan global yang menjadi (Hot
Issue) di belahan dunia saat ini dirasakan juga oleh lembaga profesi di
Indonesia, khususnya ketika berbicara mengenai idealisme dan martabat profesi advokat. Idealisme seakan
menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme yang menjadi faham
baru di tengah masyarakat. Advokat sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan
yang serupa. Advokat diminta menjaga idealismenya sebagai penegak hukum untuk
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, namun di sisi lain advokat dihimpit oleh kehidupan materialisme untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan maraknya
pragmatisme dan hedonisme sebagai karakter masyarakat.
Walaupun penegakan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi dalam hukum nasional telah dijamin secara formil (justice for all) seringkali ditemukan
pada masyarakat pencari keadilan kesulitan untuk mendapatkan keadilan (access
to justice) dalam menyelesaikan permasahan hukum yang dihadapinya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, punulis terilhami
ingin melakukan suatu penelitian dengan judul: “Pemberian Bantuan Hukum Oleh
Advokat Dalam Perspektif Penegakan Hukum HAM Di Indonesia”.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah Pemberian
Bantuan Hukum Oleh Advokat Untuk Memenuhi Hak-Hak Konstitusional Warga Negara
Telah Sesuai Dengan Konsep Penegakan Hukum HAM?
2. Bagaimanakah Konsep Pemberian
Bantuan Hukum Dalam Penegakan Hukum HAM Terkait Pemenuhan Hak-Hak
Konstitusional Warga Negara Oleh Advokat?
3. Apakah Kendala
Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Untuk Memenuhi Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara Dalam Perspektif Penegakan Hukum HAM?
Catatan: Tulisan Lengkap Dari Penulisan Ini ada Pada Penulis