KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PENEGAKAN HUKUM OLEH ADVOKAT DI ERA GLOBALISASI
By. Bedi Setiawan Al Fahmi
A. PENDAHULUAN
Fungsi / peran profesi advokat tidak dapat kita kesampingkan dalam sistem peradilan dan penegakan hukum. Hal ini disebabkan karena profesi advokat sering bersinggungan dengan masyarakat pencari keadilan, polisi, jaksa dan hakim. Oleh karena itu tinjauan atas profesi advokat harus selalu memperhatikan posisinya berhadapan dengan aparat penegak hukum lainnya (polisi,jaksa,hakim). Namun secara jujur harus diakui pula bahwa profesi advokat juga dapat berperan dalam judicial corruption. Sebagai mana dikatan Suparman selaku ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia:
“Peranan pengacara atau advokat itu sangat dominan untuk mengarahkan terjadinya suap menyuap, karena sering terjadi advokatlah yang mengiming-iming bahkan dating mengetuk pintu rumah para hakim itu untuk menawarkan hasil dipersidangan itu disesuaikan dengan jumlah nominal yang ia advokat bawa sebagai konvensasi dari penyelundupan keadilan dan kepastian hukum yang akan diputuskan”.[1]
Advokat selaku profesi mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak kecil dalam hal penegakan hukum di tanah air ini. sebagaimana kita ketahui lahirnya jabatan profesi advokat itu dikarenakan masyarakat membutuhkannya, bukan suatu jabatan yang sengaja diciptakan kemudian baru disosialisasikan kepada khalayak. Sebagaimana yang dikatakan Adjie sebagai berikut:
“Profesi lahir sebagai hasil interaksi diantara sesama anggota masyarakat, yang lahir dan dikembangkan dan diciptakan oleh masyarakat sendiri”.[2]
Perkembangan kehidupan bermasyarakat telah meningkatkan intensitas dan kompleksitas hubungan hukum yang harus mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini, tentunya semakin luas dan semakin berkembang. Kelancaran dan kepastian hukum merupakan segenap usaha yang dijalankan oleh seluruh pihak tanpak semakin banyak dan meluas. Hal ini tentunya tidak lepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh para penegak hukum termasuk advokat. Pemerintah yang memberikan sebagian wewenangnya kepada advokat melalui Undang-undang Advokat, dan juga masyarakat yang menggunakan jasa advokat tentu mempunyai ekspektis agar pelayanan jasa yang diberikan oleh advokat tersebut benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan dalam menegakan keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.
Profesi advokat menggeluti masalah-masalah teknis hukum harus turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, seorang yang berprofesi advokat harus senantiasa mengikuti perkembangan hukum nasional sehingga akhirnya mampu melaksanakan profesinya secara proporsional. Keseimbangan ini baik ditujukan kepada masyarakat yang mampu maupun kepada masyarakat yang tidak mampu memberikan honorarium (fee) atas jasa yang diberikan. Oleh karena itu, advokat selaku profesi penegakan keadilan dapat juga dikatakan sebagai profesi officium nobile.
Sebuah fakta yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat pencari keadilan melalui lembaga pengadilan di negeri ini merasa kecewa, karena sering kalinya keadilan dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa dan kepada masyarakat yang mempunyai kekayaan materiil, dan akhirnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah fatamorgana bagi masyarakat pencari keadilan dari kalangan akar rumput / masyarakat ekonomi menegah ke bawah. Masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, hakim maupun pengacara/advokat. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triliyunan rupiah dibebaskan oleh pengadilan, Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Melalui mata telanjang dan bahkan masyarakat awampun dapat menyaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan.
Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana misalnya, bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang sebagai konpensasinya, atau dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran. Bahkan dapat dikatakan: “wajah Hukum Modern namun substansinya feodalisme”.[3]
B. PROFESI HUKUM DI TANAH AIR
Dinamika di dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sering diwarnai konflik antara individu dengan lainnya, bahkan konflik yang terjadi itu seringkali tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang terkait. Untuk menghindari / mencegah terjadinya konflik, dan atau jika terjadi konflik yang tidak dapat dihindari, maka diperlukan campur tangan secara khusus untuk memberikan bantuan penyelesaian imparsial (secara tidak memihak) berupa jasa hukum dari profesi hukum.
Profesi hukum diharapkan menjadi roda-roda penggerak dari penegak hukum dalam sistem peradilan di Indonesia. Oleh karena itu profesi hukum dalam suatu mekanisme kehidupan bernegara harus mampu mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sesuai dengan martabat manusia. Mengenai profesi hukum yang dapat memberikan pelayanan berupa bantuan jasa hukum kepada masyarakat, menurut Kansil dapat dikualifikasikan menjadi 5 (lima) jenis. Sebagaimana yang diutarakannya sebagai berikut:
“Sesuai dengan keperluan hukum yang bagi masyarakat Indonesia, dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu:
a. Hakim
b. Penasehat hukum (advokat, pengacara)
c. Notaris
d. Jaksa, dan
e. Polisi
yang masing-masing diperlengkapi dengan etika profesi hukum, agar dapat melaksanakan fungsi dan kegiatannya dengan sebaik-baiknya”.[4]
Berdasarkan pendapat Kansil di atas, maka dapat kita ketahui bahwa di Indonesia mengenal 5 (lima) jenis profesi hukum dan dalam melaksanakan fungsi serta kegiatannya dilengkapi dengan etika profesi hukum itu masing-masing yang disebut dengan kode etik profesi.
C. PERAN DAN FUNGSI SOSIAL PROFESI ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Globalisasi menerjang semua negara tanpa pandang bulu, krisis keuangan global yang menjadi (Hot Issue) di belahan dunia saat ini dirasakan juga oleh lembaga profesi di Indonesia, khususnya ketika berbicara mengenai idealisme dan martabat profesi penegak hukum termasuk advokat. Idealisme seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Advokat sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan yang serupa. Di satu sisi Advokat diminta menjaga idealismenya sebagai aparatur penegak hukum, untuk memberikan jasa bantuan hukum secara cuma-cuma yang lebih dikenal dengan pro deo / probono sebagaimana yang diamanatkan di dalam pasal 22 Undang-undang Advokat, dan pasal 7 huruf (h) Kode Etik Advokat, namun di sisi lain seorang advokat dihimpit oleh kehidupan materialisme untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Advokat dalam kedudukannya sebagai sutau profesi yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile maka, berdasarkan pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan pasal 7 huruf (h) Kode Etik Advokat, maka advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk orang miskin selaku masyarakat pencari keadilan yang membutuhkan bantuan hukum pro bono. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social contribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi advokat. Undang-Undang Advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi maka dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cumua-cuma oleh advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari organisasi profesi.
Sebagaimana dikatakan terdahulu, bahwa kita mengenal 5 (lima) jenis profesi hukum[5], mengenai kelima profesi hukum tersebut di atas dipaparkan oleh Widyadharma sebagai berikut:
“kedudukan seorang yang professionalis dalam suatu profesi, pada hakekatnya merupakan suatu kedudukan yang terhormat. Karena itu pada setiap profesi melihat suatu kewajiban agar ilmu yang difahami dijalankan dengan ketulusan hatinya itikat baik serta kejujuran bagi kehidupan manusia. Maka karena itu etika yang dimiliki setiap profesi juga merupakan tonggak dan ukuran bagi setiap professionalis agar selalu bersikap dan bekerja secara etis, dengan mematuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam sumpah dan kode etiknya”.[6]
Lebih lanjut Widyadharma memaparkan:
“Dalam kode etik suatu profesi selalu dilengkapi dengan suatu pedoman bahwa seseorang pengabdi profesi tidak akan mempersoalkan honorarium serta kemungkinan ada honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaannya. Hal mana secara tegas di dalam kode etik notaris juga dapat disebutkan bahwa sekalipun sebenarnya keahlian seorang tenaga professional notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesionalnya ia tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang”.[7]
Hal serupa juga di komentari oleh Sumaryono sebagai beerikut:
“Aseptabilitas atau kesedian menerima sebagai kebalikan motif menciptakan uang, adalah ciri khas dari semua profesi pada umumnya. Tujuan utama sebuah profesi bukanlah untuk menciptakan uang semata-mata, tetapi terutama untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan serta ketertiban umum atau penerapan hukum yang baik ke segenap lapisan masyarakat”.[8]
Adapun Koehn memaparkan pendapatnya sebagai berikut:
“Segala kegiatan profesional dibuat dengan tujuan bukan untuk imbalan, melainkan lebih untuk tujuan tertentu atau untuk kebaikan praktek yang berangkutan”.[9]
Berdasarkan apa yang telah disampaikan tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa honorarium seorang profesi hukum yang merupakan imbalan atas karyanya tidak perlu seimbang dengan ilmu yang diberikan kepada kliennya, karena tujuan dari profesi adalah mengabdi kepada kepentingan umum. Oleh karena itu, profesi itu tidak terikat hanya berpengetahuan tinggi saja, akan tetapi terkait dengan etika yang di dalam hal ini disebut dengan kode etik. Profesi yang professional wajiblah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran hukum guna kepentingan masyarakat, dan hal ini dapat terjadi setelah pemegang profesi tersebut telah menjalankan hukum dan melaksakannya secara baik, didasari penuh tanggung jawab dengan adanya integritas dan moral. Dengan demikian, maka akan dapat kita temui adanya keluhuran dan kemuliaan pada sebuah profesi hukum di tanah air yang kita cinta ini, dengan kata lain yang sering diistilahkan “officium nobile” sebuah profesi mulia atau terhormat dari profesi hukum di Indonesia.
D. KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PENEGAKAN HUKUM OLEH ADVOKAT DI ERA GLOBALISASI
Bekerja pada hakekatnya merupakan salah satu kewajiban dasar setiap manusia. Dengan bekerja seseorang dapat memperoleh apa yang menjadi haknya sendiri. Melalui pekerjaannya, manusia dapat dan berkewajiban melayani sesamanya dengan gagasan-gagasan dan keterampilan serta melakukan apa saja untuk mengangkat kehidupan keluarga dan kondisinya ke taraf yang lebih baik.
Hakekat bekerja juga menuntut seseorang supaya memilih profesi atau keahlian secara bertanggung jawab, Akontabilitas sebuah profesi menuntut seseorang untuk mempersiapkan dirinya secara menyeluruh, termasuk Profesi Hukum dalam hal ini advokat. Eksistensi seorang advokat bukan semata-mata untuk dirinya sendiri melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menjadi dasar seorang advokat untuk menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam upaya optimalisasi pelayanan masyarakat sebagai misi utama dalam hidupnya.
Advokat dalam melakukan tugas jabatannya wajib memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya, baik kepada masyarakat yang mampu maupun kepada masyarakat yang tidak mampu. Advokat juga berkewajiban memberikan penyuluhan hukum kepada para kliennya untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
Hal ini dipaparkan Tobing, dikutip oleh Widyadharma sebagai berikut:
“Upaya dalam rangka peningkatan profesionalisme para profesi hukum tidak hanya diketahui tentang tugas dan kedudukannya sebagai profesi saja akan tetapi harus juga diketahui bagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat yang akan dilayani”.[10]
Pendapat Tobing di atas, memperjelas peranan profesi selaku officium nobile yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara yang harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sungguh sebuah tugas dan tanggung jawab yang teramat berat apabila dimaknai dengan benar. Ketika Surat Keputusan pengangkatan sebagai seorang advokat turun, dan advokat diangkat secara yuridis formal disertai dengan pelantikan dan sumpah jabatan profesi advokat di Pengadilan Tinggi, maka saat itu juga seharusnya tersemat janji untuk menjalankan tugas profesi advokat sebaik mungkin sesuai dengan Hukum Tuhan Yang Maha Esa dan hukum positif negara tempat di seorang advokat itu berkiprah. Sanksinya pun tidak hanya berupa sanksi dari hukum positif, namun juga sanksi moral oleh masyarakat dan sanksi spiritual oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ketika seorang advokat melanggar keluhuran dan martabat profesi sebagai advokat, seketika itu juga berarti ia melanggar tiga hal tersebut.
Mengingat kompleksitas masalah yang akan dihadapi seorang advokat, maka seorang advokat harus membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan disamping ilmu hukum yang paling esinsial. Oleh karena itu, advokat harus selalu mengembangkan pengetahuannya, baik pengetahuan yang sifatnya intelektual, emosional, maupun spiritual agar tetap berada di jalur kebenaran.
Kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan, hal ini dapat mendorong diri seorang advokat terseret ke arah jebakan yang bersifat materialisme yang akhirnya dapat melanggar misi profesi advokat yang mulia dan luhur. Walaupun peraturan telah membentengi agar praktik yang tercela itu tidak muncul, namum tetap saja tidak dapat menjamin seratus persen. Satu-satunya hal yang dapat menjamin seorang advokat berjalan di koridor yang tepat adalah kualitas dirinya sendiri. Sebagaimana yang di ungkapkan Thontowi: “Seorang Lawyer / Advokat Harus Menguasai Semua disiplin ilmu terkait dengan ilmu hukum, dan segala permasalahan dan penyelesaiannya”.[11]
Berdasarkan apa yang dipaparkan Thontowi tersebut, dapat dimengerti begitu besar tugas dan tanggung jawab seorang advokat sehingga diperlukan kontribusi dan dukungan dari semua pihak agar mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat luas dari waktu ke waktu.
Kemulian dan keluhuran profesi hukum termasuk advokat sekarang cenderung semakin memudar, hal ini dikarenakan terus bertambahnya daftar nama profesi hukum yang terkait dengan perkara di Pengadilan baik perkara perdata maupun perkara pidana termasuk Korupsi. Selain kualitas diri profesi hukum yang kurang mampuni[12], dapat juga dikarenakan trendnya profesi hukum sebagai mesin pencetak uang. Sebagaimana dikatakan Sugiono yang dikutip Majalah Renvoi sebagai berikut:
“Trendnya profesi hukum sekarang hanya dapat uang saja, sehingga tidak memperhatikan lagi bahwa dia menyandang suatu pekerjaan yang professional. Hal ini saya katakan berdasarkan sering banyak klien yang mengeluh, serta banyak kasus di Pengadilan yang menyeret profesi hukum selaku terdakwa, dan saya sering dimintakan menjadi saksi ahli dalam perkara yang bersangkutan”.[13]
Sejalan apa yang dikatan Sugiono tersebut Gunardi juga mengatakan:
“Seorang profesi hukum bekerja tidak melulu berorientasi pada hitungan untung- rugi, melainkan dibebani pula tanggung jawab sosial. Yakni, wajib memberikan jasa hukum yang digelutinya secara Cuma-Cuma kepada mereka yang tidak mampu. Begitulag yang ditegaskan dan di atur dalam Kode Etik Profesi Hukum itu masing-masing”.[14]
Bertitik tolak pada kedua pendapat di atas, berdasarkan teori Sosiologi hukum Law In Action yang menitikk beratkan pada fungsi hukum sebagai rekayasa sosial dapat kita jumpai adanya kewajiban pemberian jasa hukum / bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat, namun demikian semua kembali dan berpulang pada pemegang profesi hukum tersebut, dan bagaimana seorang advokat itu memaknai Fungsional Globalisasi Terhadap Perkembangan Hukum, sehingga dapat dicapai adanya interaksi keharmonisasian dalam implementasi penegakan hukum itu sendiri.[15]
E. PENUTUP
Advokat dalam kedudukannya sebagai sutau profesi yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat berkewajiban memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma yang sering diistilahkan Prodeo/Pro bono. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial (social contribution and social liability) dari advokat. Oleh sebab itu maka advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk orang miskin selaku masyarakat pencari keadilan yang membutuhkan bantuan hukum pro bono, Globalisasi mengakibatkan semakin komleksitas permasalahan yang dihadapi oleh advokat dalam penegakan hukum. Upaya pengembangan sistem hukum tidak kalah pentingnya dari usaha mempersiapkan penegak hukum profesional yang mempunyai dedikasi dan integritas dalam menjalankan tugas profesinya. Peran advokat di dalam pengadilan merupakan salah satu unsur sistem peradilan demi terciptanya proses peradilan yang bebas dan tidak memihak serta berjalannya pripsip due process of law.
Globalisasi menerjang semua negara tanpa pandang bulu, krisis keuangan global yang menjadi (Hot Issue) di belahan dunia hingga saat ini dirasakan juga oleh lembaga profesi hukum di Indonesia termasuk advokat, khususnya ketika berbicara mengenai idealisme dan martabat profesi advokat. Idealisme seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Advoakt sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan yang serupa, di satu sisi advokat diminta menjaga idealismenya sebagai Officium Nobile untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana yang diamanatkan di dalam pasal 22 UUA, dan pasal 7 Huruf (h) Kode Etik Advokat, namun di sisi lain Advokat dihimpit oleh kehidupan materialisme untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Rafika Aditama, Bandung.
Kansil, CST., 1997, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Koehn, Daryl, 2000, Landasan Etika Profesi, Kanisius, Yogyakarta.
Sumaryono,E., 1995, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Widyadharma, Ignatius Ridwan, 1991, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Wahyu Pratama, Semarang.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
________________.Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49.
III. MAKALAH
Suparman, Erman, disampaikan dalam acara peluncuran buku Dr. Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan, di PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 12 Maret 2011.
Thontowi, Jawahir, disampaikan sebagai materi kuliah pascasarjana Fakultas Hukum Universita Islam Indonesia, semester 1 angkatan 2010-2011, mata kuliah Sosiologi Hukum, 31 Desember 2010.
------------------------, disampaikan pada kuliah Sosiologi Hukum, Smester 1 angkatan 2010-2011.
-------------------------, Modul Perkuliahan Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, 27 Mei 2010, Daerah Istimewa Yogyakarta.
-------------------------, disampaikan dalam kuliah sosiologi hukum, Pluralisme Hukum Dan Perjuangan Menegakan Hukum berkeadilan, Program Pascasarjana, smester 1 tahun ajaran 2010-2011, tanggal 11 Pebruari 2011.
IV. MAJALAH
Hendrika Suwarti Sugiono, 2007, Renvoi, Edisi Nomor 11.47.IV.
V. WEBSITE
http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=7408&cl=Berita Htt. Gunardi, S.H., S.Pn., M.H. Profesi Notaris di Masa Sekarang, Internet, diakses 13 Januari 2009.
[1] Erman Suparman, S.H., M.H., disampaikan dalam acara peluncuran buku, Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan, di PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 12 Maret 2011.
[2] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 8
[3] Jawahir Thontowi, disampaikan saat materi kuliah mata kuliah Sosiologi Hukum, Program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, smester 1 angkatan 2010-2011, 31 Desember 2010.
[4] CST. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm. 7
[5] Lih halaman 4 profesi Hukum di tanah air, untuk menghindari penulisan ganda dalam penulisan ini.
[6] Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Wahyu Pratama, Semarang, 1991, Hlm. 50
[7] Ibid. Hlm. 51
[8] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, Hlm. 34
[9] Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, Kanisius, Yogyakarta, 2000, Hlm. 68
[10] Ignatius Ridwan Widyadharma, Op.Cit. Hlm.106
[11] Jawahir Thontowi, disampaikan pada kuliah Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Smester 1 angkatan 2010-2011.
[12] Jawahir Thontowi, Modul Perkuliahan Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana, 27 Mei 2010, Efektifitas Hukum Tergantung Pada 4 Faktor: Law Of Law (Undang-Undang yang Baik), Rule Of Occupant (Peran Sumber Daya Manusia), Rule Of Expectation (Peran Yang diharapkan), dan Rule Of Performance (Peran dan Kinerja), hal, 2.
[13] Hendrika Suwarti Sugiono, Majalah Renvoi, Edisi Nomor 11.47.IV, 2007, Hlm. 46
[14] Gunardi, Profesi Notaris di Masa Sekarang, Internet, diakses 13 Januari 2009.
[15] Jawahir Thontowi, disampaikan dalam kuliah sosiologi hukum, Pluralisme Hukum Dan Perjuangan Menegakkan Hukum berkeadilan, Program Pascasarjana Universitas Islam indonesia, smester 1 tahun ajaran 2010-2011, tanggal 11 Pebruari 2011.