A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia menginginkan kebahagiaan, baik kebahagiaan di dunia terlebih-lebih kebahagiaan di akherat. Profesi apapun, serta dimanapun manusia itu berada dalam menjalankan profesinya tersebut, tidak lain tujuannya adalah hanya untuk meraih yang namanya kebahagiaan.
Seorang bapak bekerja banting tulang siang dan malam, bercucuran keringat dan bermandikan peluh, bahkan sampai mengucurkan darah dikarenakan resiko dari profesi yang digelutinya, semua itu dikarenakan seorang bapak tersebut ingin meraih yang namanya kebahagiaan.
Seorang pemuda pergi menuntut ilmu hingga rela terpisah dari orang tuanya, sanak family dan keluarganya, bahkan mengabaikan masa remajanya untuk bermain dan berkumpul bersama dengan teman-temannya, hal ini pun juga dikarenakan pemuda tersebut ingin meraih yang namanya kebahagiaan.
Kedua contoh tersebut di atas, diperkuat dengan adanya permohonan setiap kita setelah selesai menyembah (beribadah) kepada Allah SWT khususnya umat muslim, melalui sebuah doa berupa:
Artinya: ”Ya Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan (kebahagiaan) di akherat, dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Dari arti dan makna doa tersebut di atas, maka penulis yakin, bahwa dapatlah kita sepakati bersama bahwa, sebenarnya manusia itu menginginkan dan mengharapkan kebahagiaan, adapun kebahagiaan yang hakiki menurut penulis adalah kebahagiaan yang bermuara ketika tunduk dan patuh pada aturan sang Kholiq semata.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT kedunia yang fana ini untuk menyembah (beribadah) kepada-Nya, hal ini dapat kita lihat di dalam QS.51:56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: “Dan Aku (Allah) tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah) kepadaku (Allah)”.
Pengertian menyembah (beribadah) pada ayat di atas, tidak hanya sebatas ibadah mahdhoh (hubungan vertical) kepada Allah SWT semata, seperti sholat, zakat, puasa, dan ibadah haji saja. Melainkan pengertian menyembah pada ayat tersebut mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam mencari rizqi untuk menafkahi dirinya sendiri maupun keluarganya. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad saw yang artinya:
“Kerjakanlah urusan duniamu seolah-olah engkau hidup selama-lamanya, dan kerjakanlah urusan akheratmu seolah-olah engkau akan mati besok”
Islam adalah suatu sistem dan jalan hidup yang utuh dan terpadu (a comprehensive way of life). Ia memberikan panduan yang dinamis dan lugas terhadap semua aspek kehidupan, termasuk sektor bisnis dan transaksi keuangan. Sangatlah tidak konsisten jika kita menerapkan syariat Islam hanya dalam satu atau sebagian sisi saja dari kehidupan ini, misalnya dalam acara ritual kelahiran bayi, pernikahan, dan pemakaman mayat, tetapi Islam kita tinggalkan ketika berurusan dengan pembiayaan proyek, ekspor-impor, perbankan, asuransi, dan pasar modal.[1]
Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia untuk meraih sebuah kebahagiaan telah sempurna (kafah), dalam artian tidak satupun urusan manusia yang terlewatkan atau tidak diatur di dalamnya. Hal ini dapat kita lihat pada QS.5:3
4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4
Artinya: ”Pada hari ini telah Aku (Allah) sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan Aku (Allah) telah redho’ bahwa Islam itu sebagai agamamu”.
Sehubungan dengan kesempurnaan Al-Qur’an sebagai petunjuk / pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, maka penulis berpendapat bahwa, dibidang perbankan juga tentu telah ada aturannya. Sebagaimana Firman Allah SWT QS.6:38
Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4
Artinya: “Tidak suatupun yang ketinggalan oleh kami di dalam Al-Qur’an itu”.
“Upaya intensif pendirian bank Islam (disebut oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai ”Bank Syariah”) di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia”.[2]
“Sejak tahun 1992 Negara Indonesia telah dimulai era baru dalam masalah Perbankan Syariah, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menjadi dasar hukum bagi berdirinya bank bagi hasil”.[3]
Keberadaan bank syariah di Indonesia semakin kokoh setelah diundangkannya Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Sejak adanya prakarsa mengenai bank syariah sebagai Pilar Ekonomi Islam dilakukan di Indonesia, hingga saat Sistem Perbankan Syariah secara tegas ditempatkan sebagai Sistem Perbankan Nasional melalui Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1972 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 disebut dengan tegas-tegas istilah “prinsip syariah”.
Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan, bank yang operasinya berdasarkan prinsip syariah tersebut secara teknis yuridis disebut “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.10 Tahun 1998, istilah yang dipakai ialah “bank berdasarkan prinsip syariah”, karena operasionalnya pun berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah Islam, maka bank Islam disebut juga “bank syariah”.[4]
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Perbankan Syariah ini, penulis tertarik untuk menelaah kembali pelaksanaan prinsip syariah oleh bank syariah yang diamanatkan pasal 1 ayat (13) Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dengan judul: Tinjauan Al-Qur’an Terhadap Pasal 1 Ayat (13) Undang-undang No.10 Tahun 1998 Tentang Prinsip Syariah Sebagai Perjanjian Berdasarkan Hukum Islam.
B. Perumusan Masalah
Dari pokok pikiran yang melatarbelakangi penulisan tugas mata kuliah Filsafat Hukum ini, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apakah bank syariah menggunakan prinsip syariah sebagai perjanjian berdasarkan hukum Islam dalam melakukan transaksi perjanjiannya telah sesuai dengan Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 23 dan 24?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari penulisan tugas mata kuliah perbankan syariah ini adalah:
Untuk mengetahui lebih lanjut apakah bank syariah menggunakan prinsip syariah sebagai perjanjian berdasarkan hukum Islam dalam melakukan transaksi perjanjiannya telah sesuai dengan Al-Qur’an ayat 23 dan 24?
D. PEMBAHASAN
1. Al – Qur’an
a. Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa ada banyak pendapat tentang pengertian Al-Qur’an, namun disini penulis hanya mengutip pendapat Asy-Syafi’i yaitu:
“Menurut Asy-Syafi’i, kata “Al-qur’an” itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Al-Qur’an). Ia tidak berasal dari suatu kata, tetapi ia merupakan sebutan khusus bagi kitab suci yang diberikan kepada Muhammad saw”.[5]
Adapun menurut Istilah, “Al-Qur’an adalah: Kalam Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya Muhammad saw dengan bahasa arab, yang diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf”.[6]
b. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Utama Perbankan Syariah
Bank syariah merupakan sebuah lembaga perbankan yang berorientasi pada duniawi dan ukhrowi, aturan-aturan / ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam operasionalnya adalah hukum Islam.
Sumber hukum Islam yang utama dan pertama adalah Al-Qur’an, oleh karena itu perbankan syariah yang telah secara tegas dinyatakan dalam pasal 1 ayat (13) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan itu sendiri di dalam operasionalnya seyogyanya wajib berdasarkan Al-Qur’an.
c. Al-Qur’an sebagai Pedoman Operasional Perbankan Syariah Secara Kafah.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, prinsip perbankan syariah sebagai perjanjian berdasarkan hukum Islam, maka setiap transaksi yang dilakukan oleh bank syariah harus berdasarkan hukum islam, dan ini merupakan konsekuensi logis yuridis dari prinsip syariah sebagai perjanjian hukum Islam.
Sebagaimana yang telah disinyalirkan oleh Allah SWT dalam QS.2:208 yaitu:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$2 wur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
2. Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Pengertian Prinsip Syariah menurut Undang-undang Perbankan terdapat di dalam pasal 1 ayat (13) Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa:
Prinsip Syariah diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudhararabah),pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Berdasarkan pasal 1 ayat (13) UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan di atas sudah sangat jelas dan tegas dikatakan bahwa, pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam. Termasuk format awal (Kepala), isi dari klausula (badan), dan penutup dari perjanjian tersebut (Akhir).
3. Analisis Terhadap Implementasi Perbankan Syariah Indonesia Dengan Prinsip Syariah Sebagai Perjanjian Berdasarkan Islam.
a. Al-Qur’an
Islam memandang janji sebagai utang yang wajib dibayar, oleh karena itu Islam mengecam orang-orang yang tidak menepati janji, bahkan salah satu ciri orang munafiq itu sendiri adalah bila berjanji tidak menepatinya.
Islam adalah agama fitroh, segala aturan yang diperintahkan oleh Allah pada prinsipnya tidak memberatkan manusia selaku pelaksana dari perintah itu, karena Allah SWT pasti telah memberi bekal yang sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Seabagaimana firman-Nya di dalam QS.2:286 yaitu:
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Kesempurnaan aturan Islam dapat kita lihat pada semua aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Semua aturan dari Allah SWT adalah perintah, baik untuk dilaksanakan maupun untuk tidak dilaksanakan, namun semua perintah itu pasti ada pengecualiannya. seperti Sholat 5 (lima) waktu yang wajib bagi seorang wanita menjadi tidak wajib bahkan haram untuk dilaksanakan ketika wanita tersebut dalam keadaan mensturbasi dan Nifas. Ibadah Haji yang merupakan rukun Islam yang kelima wajib bagi setiap muslim kecuali yang tidak mampu. Begitu juga dengan janji merupakan utang yang wajib untuk dibayar dengan menepatinya / memenuhinya pasti ada pengecualiannya, sudah tentu pengecualian itu dikarenakan syar’i.
Sehubungan dengan janji untuk memenuhi sesuatu yang belum terjadi, atau yang akan datang maka, Allah SWT tegaskan dalam QS.18: 23-24 yaitu:
wur £`s9qà)s? >äô($t±Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã$sù Ï9ºs #´xî ÇËÌÈ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4
Artinya:“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”.
Berdasarkan QS.18:23-24 diatas, maka “Prinsip Syariah diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam yang terdapat pada pasal 1 ayat (13) Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sekaligus menjadi dasar dikatakan sebagai lembaga perbankan yang berbasis Islam, perlu ditelaah kembali implementasinya, karena ransaksi-transaksi dalam perjanjian yang dilakukan oleh bank syariah tidak pernah menggunakan / memasukkan kata “Insya Allah” pada akta perjanjiannya sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah SWT di dalam QS.18: 23-24 seperti tersebut di atas.
Kata “Insya Allah”, merupakan manipretasi keimanan umat Islam dalam melakukan perjanjian, karena tidak ada satupun dari kita yang dapat memastikan sesuatu hal yang belum terjadi, kecuali Allah SWT semata. Tanpa kata “Insya Allah”, dalam sebuah perjanjian, merupakan manipretasi kesombongan di mata Allah SWT, karena meyakini yang akan terjadi itu, juga telah berani menentukan sesuatu yang belum terjadi. Menurut hemat penulis, hal ini dapat dikatakan bahwa kita telah mendahului yang berhak (Allah) atas terjadinya sesuatu tersebut yang bukan menjadi wewenang kita manusia.
b. Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Perjanjian yang dimaksud dalam Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan ini adalah: perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudhararabah),pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Sangatlah tidak konsisten jika Undang-undang tentang Perbankan kita telah secara tegas mengatakan perjanjian berdasarkan hukum Islam, bahasa yang digunakan, baik dalam produk bank syariah, maupun istilah-istilah dalam transaksi menggunakan bahasa Al-Qur’an, tetapi mengenai teknis operasionalnya tidak berdasarkan yang dianjurkan oleh hukum Islam, bahkan cendrung menentang isi yang terkandung di dalam Al-Qu’an itu sendiri. Apakah dapat kita katakan sebagai perjanjian berdasarkan hukum Islam? mungkin lebih tepat kata yang digunakan berdasarkan sebagian hukum Islam.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Bank syariah menggunakan prinsip syariah sebagai perjanjian berdasarkan hukum Islam dalam melakukan transaksi perjanjiannya tidak / belum sesuai dengan Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 23 dan 24.
2. Saran.
Sehubungan dengan pasal 1 ayat (13) Undang-undang No.10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa bank menggunakan prinsip syariah sebagai perjanjian berdasarkan hukum Islam, maka operasionalnya pun harus berdasarkan hukum Islam secara kaffah, termasuk dalam melakukan transaksi perjanjian wajib menggunakan kata “Insya Allah” dalam akta perjanjiannya (Ijab Kobul), Hal yang mendasar dan urgent ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 23 dan 24.
(Allahu ‘aklam Bissawab)
[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal: v
[2] Zainul Arifin, Dasar-Dasar manajemen Bank Syariah, Pustaka Alvabet, Jakarta, 2005, hal: 6
[3] Abdul Ghofur Anshori, Modul Materi Kuliah Magister Kenotariatan UGM Yogyakarta, kelas B tahun ajaran 2006-2007.
[4] Sutan Remy Sjahdeini, S.H.,Perbankan Islam Dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, hal: 20
[5] Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum, Al-Ikhlas, Suarabaya, 1993, hal: 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar