REKONSTRUKSI REGULASI PIDANA MATI DALAM RUU KUHP TERKAIT EKSEKUSI PIDANA MATI HUKUM PANCUNG TERHADAP WNI DI ARAB SAUDI (Oleh: Bedi Setiawan Al Fahmi)
A. PENDAHULUAN
“Setiap Yang Bernyawa Akan Mati”
Kalimat informatif di atas yang mengawali pemaparan dalam penulisan tugas mata kuliah pembaharuan hukum pidana ini merupakan bukti bahwa, adanya satu kesepakatan dan persamaan berpikir mengenai kematian itu merupakan suatu proses yang akan dialami oleh manusia. Kapan, di mana, dan bagaimana kematian itu menghampiri hingga saat ini masih merupakan hal misterius bagi manusia itu sendiri, bahkan sorang atheis pun (orang yang tidak memiliki agama) percaya dan meyakini bahwa suatu saat ia akan mengalami kematian. Oleh karena itu, berdasarkan hal di atas, tidaklah berlebihan jika penulis mengatakan kita telah sepakat pula bahwa, kematian itu dapatlah dikatakan sebagai sebuah kebenaran postulat.
Kematian merupakan sesuatu hal yang menarik untuk ditelaah, bahkan menjadi suatu keharusan untuk slalu diingat, dengan demikian manusia akan menyadari bahwa kehidupannya semasa di dunia mempunyai dimensi waktu yang terbatas, sehingga akan selalu melakukan hal-hal yang positif buat kehidupannya di dunia. Selain itu kehidupan di dunia pun di batasi oleh tempat dan ruang, dari tempat dan ruang yang terkecil berupa keluarga, masyarakat, dan negara / nasional, hingga dunia / internasional. Ruang-ruang dan tempat-tempat ini selanjutnya menjadi sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengakomudir keinginan-keinginan yang hendak dicapai dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam kehidupannya. Sebagaimana dikatakan Mertokusumo:
“Setiap manusia adalah pendukung atau penyandang kepentingan, Sejak dilahirkan manusia butuh makan, pakaian, tempat berteduh dan sebagainya, dari sejak lahir hingga menjelang saat meninggal dunia kepentingannya terus berkembang”.[1]
Agar tidak terjadi permasalahan dan pertikaian antar prilaku manusia dalam memenuhi kepentingannya, maka diperlukan adanya aturan-aturan agar tertib dalam lalu lintas kehidupan manusia. Negara selaku komunitas dan realitas sosial dari sudut dominasi dalam penafsiran sosiologi negara merupakan organisasi tertinggi dalam kemasyarakatan.[2] Oleh karenanya, negara berkewajiban melindungi segenap individu-individu sebagai warga negaranya. Indonesia merupakan sebuah negara hukum, dengan demikian maka negara membuat aturan-aturan untuk kelangsungan hidup para individu warga negara Indonesia agar tercapai ketertiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menerapkan pidana mati dalam sebuah kebijakan regulasi mengenai sanksi pidana dalam hukum pidana, hal ini dapat kita lihat di beberapa peraturan perundang-undang seperti Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, KUHP, bahkan di dalam RUU KUHP memuat tentang pidana mati. Walaupun dalam RUU KUHP ini tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok bersifat umum, melainkan menjadi pidana khusus yang eksepsional. Sebagaimana dikatakan Kholiq sebagai berikut:
“Berdasar adanya kontroversi yang terus menerus ini, maka dalam (Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) nasional yang dirancang sebagai salah satu wujud pembaharuan hukum pidana Indonesia, pidana mati tidak lagi ditempatkan sebagai pidana pokok bersifat umum, tetapi menjadi pidana khusus yang eksepsional”.[3]
Berdasarkan pemaparan Kholiq di atas, dapat dikatakan Perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dan pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pro dan Kontra pun terus mengawali adanya kebijakan regulasi mengenai sanksi pidana mati dalam wajah hukum pidana di Indonesia, sebagaimana dikatakan Kholiq:
“Dalam komunitas hukum maupun kalangan masyarakat umum, fenomena pro dan kontra tentang masalah pidana mati bukanlah hal yang baru. Meskipun bersifat temporer, polemik mengenai hal ini biasanya akan selalu muncul setiap kali ada penjatuhan pidana mati oleh pengadilan atau ada eksekusi terhadap putusan pidana tersebut”.[4]
Berdasarkan pemaparan Kholiq di atas, maka terkait RUU KUHP dan adanya Eksekusi Pidana Mati berupa Hukum Pancung terhadap salah satu warga negara Indonesia di Arab Saudi,[5] maka pro dan kontra masalah pidana mati ini pun terulang kembali. Hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus laksana bola liar, oleh karenanya sejalan dengan akan diadakannya pembaharuan hukum di dalam hukum pidana Indonesia yang berwujud Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, maka perlu adanya sebuah pilihan yang paling tepat dalam menentukan pidana mati sebagai sebuah kebijakan regulasi mengenai pidana mati beserta pelaksanaan dan segala aspek yang terkait dengan eksistensinya dalam kebijakan regulasi tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi central point sebagai pokok pikiran yang akan dibahas dalam tugas mata kuliah pembaharuan hukum pidana ini yakni apakah sama kebijakan regulasi mengenai pidana mati sebagaimana yang diatur dalam RUU KUHP sebagai pembaharuan hukum pidana Indonesia dengan KUHP yang sekarang berlaku? Atau dalam kata lain bagaimanakah eksistensi pidana mati dalam RUU KUHP sebagai pembaharuan hokum pidana Indonesia jika dibandingkan dengan KUHP sekarang terkait dengan adanya eksekusi pidana mati berupa hokum pancung salah satu warga negara Indonesia di Arab Saudi?
C. TUJUAN
Tujuan dari penulisan ini yakni ingin mengetahui apakah ada pergeseran dalam kebijakan regulasi mengenai pidana mati dalam RUU KUHP sebagai pembaharuan hokum pidana Indonesia dengan yang diatur dalam KUHP nasional sekarang.
D. PEMBAHASAN
Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang menganut Civil Law. Mempersoalkan pidana mati dalam hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan dari hukum pidana itu sendiri, telah banyak menimbulkan perdebatan antar sesama ahli hokum pidana, diantara mereka ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap penggunaan sarana pidana mati sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dan sebagainya. Dalam hukum pidana Indonesia penggunaan pidana mati dirasakan masih sangat efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat dikualifikasikan kejahatan yang berat. Hal itu dapat dilihat dari KUHP nasional yang masih menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok selain itu terhadap hukum pidana di luar KUHP juga terdapat sebagian yang menempatkan pidana mati sebagai sanksi dari dilanggarnya perbuatan tersebut. Adapun motif yang melatar belakangi masih digunakannya pidana mati sebagai saranan politik kriminal di Indonesia yakni: pidana mati memiliki tingkat efektif yang lebih tinggi dari ancaman hukuman lainnya karena memiliki efek yang menakutkan (shock therapi) disamping juga lebih hemat. Pidana mati digunakan agar tidak ada eigenrichting dalam masyarakat. Secara teoritis pidana mati ini juga akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, sehingga bisa dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus. Disamping itu masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributive), dan utamanya masih dipertahankannya.
Pidana mati sebagai suatu kebijakan criminal (criminal policy) dapat diartikan ke dalam 3 (tiga) katagori. Sebagaimana dipaparkan Sudarto sebagai berikut:
“usaha mencegah kejahatan adalah bagian dari politik criminal, politik criminal ini dapat diartikan sempit, lebih luas, dan paling luas. Dalam arti sempit politik criminal itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hokum yang berupa pidana. Adapun dalam arti yang lebih luas ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hokum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Sedangkan dalam arti yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Penegakan norma-norma sentral ini dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan”.[6]
Berdasarkan pemikiran Sudarto di atas, maka dapat kita ketahui bahwa, kebijakan pidana mati merupakan bagian dari penggulangan kejahatan. Dalam menanggulangi kejahatan ini kebijakan criminal dapat diartikan sebagai pemilihan dari sekian banyak alternative. Penanggulangan yang efektif merupakan salah satu cara yang harus diperhatikan dalam kebijakan criminal, usaha-usaha penanggulangan kejahatan secara prefentif sebenarnya juga bukan hanya dari kepolisian saja, namun dapat juga diartikan secara umum yakni secara tidak langsung dapat juga ditempuh tidak menggunakan sarana pidana atauhukum pidana.
Eksistensi pidana mati dalam RUU KUHP sebagai sarana kebijakan regulasi pembaharuan hokum pidana tentang pidana mati di Indonesia, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari jiwa hukum pidana Indonesia itu sendiri sebagai sarana penjatuhan pidana terhadap pelanggaran yang terjadi, dan tidak terlepas pula dari apa sebenarnya tujuan pidana mati itu sendiri. Berbicara pidana mati sebagai kebijakan regulasi pembaharuan hokum di dalam hokum pidana Indonesia, tidak bisa lepas dari ide dan kebijakan pembangunan sistem hokum nasional yang berlandaskan pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Sebagaimana dikatakan Anwar & Adang:
“Pembaharuan hokum pidana (KUHP), tidak dapat dilepaskan dari ide atau kebijakan pembangunan sistem hokum nasional yang berlandaskan pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini mengandung arti bahwa, pembaharuan hokum pidana nasional seyogyanya harus dilatar belakangi oleh sumber-sumber yang berorientasi kepada ide dasar (basic ideas) yang di dalamnya mengandung konsep ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan social”.[7]
Sejalan dengan pendapat di atas , Prof. Barda memaparkan:
“Kekurangwaspadaan dan kekurang bijaksanaan dari pengajar hokum pidana di dalam menyampaikan dogma-dogma dan substansi yang terdapat di dalam KUHP, akan menghasilkan “output” yang terlalu kaku (dogmatis) sehingga dapat menghambat tujuan penegakan hokum pidana maupun ide-ide pembaharuan hokum pidana di Indonesia”.[8]
Berdasarkan pemaparan di atas, maka berbicara masalah kebijakan regulasi pembaharuan hokum pidana di Indonesia harus mengacu pada pancasila dan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dalam kata lain dapat pula dikatakan, bahwa kebijakan regulasi pembahruan hokum pidana menegenai pidana mati itu harus seuai dengan ruh yang terkandung di dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945 sebagai sumber hokum Indonesia.
Sebagaimana dikatakan Wahjono:
“Hukum yang berlaku bagi suatu negara mencerminkan perpaduan antara sikap, dan pendapat pimpinan pemerintahan negara dan keinginan masyarakat luas mengenai hokum tersebut. Sikap dan pendapat para pemimpin pemerintahan, jelas harus berpangkal pada instruksi yang berupa aturan-aturan pokok di dalam Undang-Undang Dasar, diselaraskan dengan keadaan”.[9]
Belum lepas dari ingatan kita, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging, illegal fishing agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi khalayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif.
Dengan putusan MK tersebut semakin memperkuat posisi pidana mati sebagai sarana penjatuhan pidana. Dalam RUU KUHP nasional diketahui bahwa hukuman mati tidaklah diposisikan sebagai hukumam pokok melainkan sebagai pidana alternatif, sebagaimana diatur dalam pasal 87 RUU KUHP yang menyatakan bahwa : “Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”.
Dengan adanya pengaturan pidana mati di dalam Pasal 87-90 RUU KUHP tersebut, jelas bahwa pidana mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam memetuskan suatu perkara pidana.
Pidana mati dalam RUU KUHP menjadi pidana yang istimewa (khusus), karena hanya dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Sebagai pidana khusus dan upaya terakhir, meskipun putusan pengadilan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap pidana mati dapat ditunda apabila selama masa percobaan 10 (sepuluh tahun) terdapat hal-hal:
1. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
2. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
3. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, dan;
4. ada alasan yang meringankan.
Pidana mati yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap yang tidak dijalankan (eksekusi) selama 10 (sepuluh) tahun maka Presiden menerbitkan putusan untuk mengubahnya manjadi pidana seumur hidup.
Ketentuan tentang pidana mati menunjukkan bahwa RUU KUHP bermaksud untuk tidak menggunakan pidana mati sebagai jenis hukuman mati. Hal ini ditandai dengan menempatkan pidana mati sebagai pidana khusus yang dipergunakan secara selektif. Pertimbangan untuk menjatuhkan pidana mati ditujukan pada perbuatan dan dampak perbuatan terdakwa, agar ancaman pidana mati dapat seimbang (balance) dengan perbuatan dan akibat perbuatan terdakwa yakni menimbulkan akibat kematian orang. Jika perbuatan tidak sampai menimbulkan akibat matinya orang, sejauh mungkin dihindari untuk menjatuhkan pidana mati, kecuali perbuatan yang sangat membahayakan bagi kehidupan manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.
E. PENUTUP
Berdasarkan pemaparan di atas daptk disimpulkan bahwa, rekonstruksi kebijakan regulasi pidana mati sebagai pembaharuan hokum di dalam hokum pidana masih akan tetap di pertahankan dalam RUU KUHP. Namun penggunaan pidana mati dalam RUU KUHP ini tidaklah sama dengan apa yang diatur dalam KUHP nasional yang ada sekarang, dalam hal Konsep RUU KUHP nampaknya tidak berorientasi pada kebijakan/paradigma absolute, melainkan sebagai pengayoman kepada masyarakat dan dilihat sebagai pidana khusus yang eksepsional serta diperuntukkan pada ancaman terhadap jenis-jenis kejahatan tertentu yang bersifat serius dengan aturan penerapan yang sangat selektif berupa alternative, sama halnya dengan amputasi di bidang kedokteran yang merupakan hal terakhir untuk dilakukan.
Adapun bagian penutup berupa saran dalam penulisan ini yakni, perlu dikaji ulang secara komprehensip mengenai implementasi atas pidana mati dalam RUU KUHP sebagai pembaharuan hokum pidana Indonesia, baik mengenai adanya masa percobaan 10 tahun, maupun adanya peluang untuk dapat diminta grasi, terutama mengenai eksekusi yang dilakukan tidak di muka umum.
[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Edisi ketiga, Liberty Yogyakarta, 1991, hal. 1
[2] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, penerjemah Raisul Muttaqien, Nusa Media & Nuansa, Bandung, 2006, hal. 268.
[3] M. Abdul Kholiq, Kontroversi Hukuman Mati Dan Kebijakan Regulasinya Dalam RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam). Jurnal hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, No. 2, Volume 14, April 2007, hal. 186.
[4] Ibid. hal 185.
[5] Indonesia Harus Segera Hapus Hukuman Mati, Kompas, kamis, 23 Juni 2011.
[6] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hal.113-114.
[7] Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Anggota Ikapi, Jakarta, 2008. Hal. 22.
[8] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 128
[9] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas hokum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar