Rabu, 01 Juni 2011

IMPLEMENTASI PEMBERIAN JASA HUKUM DI BIDANG KENOTARIATAN SECARA CUMA-CUMA OLEH NOTARIS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 DI KOTA YOGYAKARTA

IMPLEMENTASI PEMBERIAN JASA HUKUM DI BIDANG KENOTARIATAN SECARA CUMA-CUMA OLEH NOTARIS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 DI KOTA YOGYAKARTA

By. Bedi Setiawan Al Fahmi

A. PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kedudukan manusia dalam hukum sangat erat hubungannya dengan hak asasi yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar tersebut, tanpa perbedaan antara satu dengan yang lainnya, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, politik, status sosial, bahasa dan status lainnya. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewajiban lainnya.

Hak Asasi Manusia telah dikumandangkan oleh bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945, sebagaimana tertuang dalam alinea pertama pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.[1]

Pengertian Hak Asasi Manusia dapat kita lihat pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut:

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Membicarakan masalah hak asasi, Usman berpendapat:

“Hak asasi antara lain hak hidup, hak kemerdekaan, hak berkeluarga, hak untuk mendapatkan keadilan, hak rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, hak kebebasan beragama, dan hak kesejahteraan”.[2]

Berdasarkan hal tersebut di atas, hak rasa aman merupakan salah satu hak asasi yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, juga setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia yaitu termasuk hak rasa aman ketika seseorang melakukan perbuatan hukum.

Mengenai hal tersebut di atas Rahardjo mengatakan:

“Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat, bukan saja dikarenakan negeri ini menganut paham negara hukum, melainkan lebih melihat secara kritis kecenderungan yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berkembang ke arah suatu masyarakat modern. Kondisi yang demikian menuntut adanya hukum yang berdimensi nasional, yang memiliki paradigma berwawasan ke-indonesiaan, sekaligus mengakomodasi tuntutan zaman”.[3]

Notaris merupakan salah satu jabatan profesi yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengakomodasi perbuatan hukum yang dilakukan masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini sejalan dengan lahirnya jabatan notaris itu dikarenakan masyarakat membutuhkannya, bukan suatu jabatan yang sengaja diciptakan kemudian baru disosialisasikan kepada khalayak.

Sebagaimana yang dikatakan Adjie sebagai berikut:

“Profesi lahir sebagai hasil interaksi diantara sesama anggota masyarakat, yang lahir dan dikembangkan dan diciptakan oleh masyarakat sendiri”.[4]

Perkembangan kehidupan bermasyarakat telah meningkatkan intensitas dan kompleksitas hubungan hukum yang harus mendapatkan perlindungan dan kepastian berdasarkan alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban setiap subjek hukum.

Sebagaimana dikatakan Markus:

“Agar tercipta perlindungan, kepastian, dan ketertiban harus terdapat kegiatan pengadministrasian hukum (law administrating) yang tepat dan tertib. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya hubungan hukum yang cacat dan dapat merugikan subyek hukum dan masyarakat”.[5]

Senada dengan hal tersebut Kie berpendapat:

“Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seseorang ahli yang tidak memihak dan penasehat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang. Kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu”.[6]

Berdasarkan pemaparan Kie di atas, dapatlah dikatakan kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani. Seorang notaris adalah sebagai seorang pejabat umum tempat seseorang dapat memperoleh nasehat yang boleh diandalkan, segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan oleh notaris (konstatir) adalah benar, oleh karena itu seorang notaris adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.

Hal serupa juga di katakan Asshiddiqie selaku Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai berikut:

“Notaris sebagai pejabat publik, tugas dan wewenang yang diberikan oleh negara harus dilaksanakan oleh notaris dengan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya. Kekeliruan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh notaris dapat menumbulkan terganggunya kepastian hukum, dan kerugian-kerugian lainnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya pembinaan, pengembangan, dan pengawasan secara terus menerus sehingga semua notaris semakin meningkatkan kualitas pelayanan publik”.[7]

Berdasarkan apa yang disampaikan Asshiddiqie tersebut di atas sangat jelas sekali bahwa peranan notaris itu sangat dominan pada proses kepastian hukum dalam gerak pembangunan hukum nasional. Oleh karenanya tugas dan wewenang yang dimiliki notaris itu sendiri merupakan delegasi dari negara untuk pelayanan kepada masyarakat Indonesia.

Mengenai hal ini Adjie juga memaparkan sebagai berikut:

”Lembaga Notaris merupakan Beleidsregel dari negara dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) atau Jabatan Notaris sengaja diciptakan negara sebagai implementasi dari negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam pembuatan alat bukti yang otentik yang diakui oleh negara”.[8]

Berdasarkan pemaparan Adjie tersebut di atas, maka dapatlah kita ketahui bahwa tugas yang diemban oleh seorang notaris adalah tugas yang seharusnya merupakan tugas pemerintah, oleh karenanya hasil pekerjaan notaris mempunyai akibat hukum, notaris dibebani sebagian kekuasaan negara dan memberikan pada akta yang dibuatnya mempunyai kekuatan otentik dan kekuatan eksekutorial.

Fungsi dan peranan notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya semakin luas dan semakin berkembang. Kelancaran dan kepastian hukum merupakan segenap usaha yang dijalankan oleh seluruh pihak tanpak semakin banyak dan meluas. Hal ini tentunya tidak lepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh notaris. Pemerintah yang memberikan sebagian wewenangnya kepada notaris, dan juga masyarakat yang menggunakan jasa notaris tentu mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.

Jabatan notaris selain menggeluti masalah-masalah teknis hukum harus turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, seorang notaris harus senantiasa mengikuti perkembangan hukum nasional sehingga akhirnya mampu melaksanakan profesinya secara proporsional. Keseimbangan ini baik ditujukan kepada masyarakat yang mampu maupun kepada masyarakat yang tidak mampu memberikan honorarium (fee) atas jasa yang diberikan. Oleh karena itu, notaris selaku pejabat umum dapat juga dikatakan sebagai pegawai pemerintah. Sebagaimana yang dikatakan Lubis sebagai berikut:

“Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh negara, bekerja juga untuk kepentingan negara, namun demikian Notaris bukanlah sebagai pegawai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian, sebab dia tidak menerima gaji, dia hanya menerima honorarium atau fee dari klien. Dan dapat dikatakan bahwa notaris, adalah pegawai pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah”.[9]

Berdasarkan pemaparan Lubis di atas dapat disimpulkan bahwa, notaris adalah pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan oleh negara, bekerja untuk kepentingan negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menerima honorarium atau fee atas jasa yang telah diberikan kepada kliennya.

Berkenaan dengan honorarium atas jasa yang diberikan notaris telah di atur dalam pasal 36 dan 37 UUJN sebagai berikut:

Pasal 36 UUJN menyebutkan:

(1). Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai kewenangannya.

(2). Besarnya honorarium yang diterima oleh notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya.

(3). Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dari objek setiap akta sebagai berikut:

a. Sampai dengan 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen gram mas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah 2,5% (dua koma lima persen);

b. di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) honorarium yang diterima paling besar 1,5% (satu koma lima persen); atau

c. di atas Rp 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah) honorarium yang diterima didasarkan kesepakatan antara notaris dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1% (satu persen) dari objek yang dibuatkan aktanya.

(4). Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp.5000.000,00 (lima juta rupiah).

Tidak ada penjelasan lebih lanjut terhadap pasal 36 Ayat (1), (2), dan (3) di dalam UUJN, mengenai ayat (4) di dalam penjelasan UUJN di sebutkan sebagai berikut: “Akta yang mempunyai fungsi sosial, misalnya, akta pendirian yayasan, akta pendirian sekolah, akta tanah wakaf, akta pendirian rumah ibadah, atau akta pendirian rumah sakit”.

Mengenai ketentuan besarnya honorarium yang disebutkan dalam pasal 36 tersebut dia atas yakni nominal rupiah batas maksimal atas jasa hukum yang telah diberikan oleh notaris, hal ini dapat kita lihat pada bunyi pasal 36 Ayat (1), (2), (3) dan (4) di dalam UUJN tersebut berupa kata “paling besar” dan kata “tidak melebihi”.

Sebagaimana dipaparkan Hartono sebagai berikut:

“Ketentuan honorarium jasa hukum oleh notaris perlu diatur khusus oleh salah satu pasal dalam UUJN yakni, agar notaris tidak mengambil uang jasa melebihi batas yang telah ditentukan”.[10]

Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita mengerti bahwa UUJN mengatur mengenai honorarium notaris hanya pada batas maksimal, dengan kata lain batas limitative / minimum honorarium atas jasa notaris tersebut tidak di atur di dalam UUJN tersebut.

Sebuah fakta yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar lulusan Magister Kenotariatan mengambil profesi sebagai notaris setelah lulus. Sejak terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (SK Dirjen Dikti) tahun 2000, yang isinya mengubah status Program Pendidikan Spesialis Notariat menjadi Program Studi Magister Kenotariatan di masing-masing enam universitas penyelenggaraan yaitu Universitas Indonesia, Universitas Pendjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian, jumlah notaris di Indonesia terus bertambah dan meningkat drastis, sehingga yang menjadi persoalan bagi dunia profesi notaris sekarang adalah praktik persaingan antar notaris, dengan kata lain “Perang Tarif” yang luar biasa.

Sebagaimana dipaparkan Hartono yang di kutip Renvoi sebagai berikut:

“Meski telah ditentukan besaran tarif, baik tingkat nasional maupun dalam skup daerah-Pengda INI-semuanya terpulang pada kondisi masing-masing daerah.Namun patut dicatat bahwa perang tarif, bias dikatagorikan sebagai pelanggaran undang-undang, masih acap terjadi. Misalnya, ada notaris yang menentukan tarif di bawah konsensus. Bahkan ada tarif yang tidak masuk akal, saking rendahnya. Padahal besarnya uang jasa tersebut, untuk biaya produksi saja mustahil bisa dikerjakan.

Beberapa sumber yang masih menjunjung konsensus beralasan mereka memasang tarif rendah lantaran jika pekerjaan itu tidak diambil banyak yang antri dan bersedia mengerjakan. Pekerjaanpun diambil-kendati bertarif rendah-dengan alasan bisa untuk membiayai operasional kantor. Kondisi ini Nampak ironis dan dilematis, walau harus mempertaruhkan harkat dan martabat jabatan”.[11]

Mengenai honorarium yang merupakan hak notaris tersebut di atas Adjie juga berpendapat:

“Pencantuman honorarium dalam UUJN tidak punya daya paksa untuk notaris dan para pihak yang membutuhkan jasa notaris, dan juga tidak ada yang mengawasi jika ada notaris mengikuti atau tidak mengikuti ketentuan tersebut.

Akta notaris sebagai produk intelektual Notaris, harus diberi penghargaan sebagai implementasi dari keilmuan seorang notaris, dan juga notaris bukan tukang membuat akta. Setiap akta notaris mempunyai nilai sentuhan tersendiri dari notaris yang bersangkutan dan memerlukan kecermatan, sehingga atas hal itu, Notaris dapat menentukan honornya sendiri sesuai dengan kesepakatan para pihak/penghadap yang memerlukan jasa notaris, dengan parameter tingkat kesulitan membuat akta yang diminta oleh para pihak/penghadap, sehingga nilai akta tidak perlu didasarkan pada nilai ekonomis atau sosiologis dari suatu akta, karena tidak ada ukuran yang tepat untuk mengukur nilai ekonomis dan sosiologis suatu akta, akta notaris harus tetap dinilai sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna”.[12]

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, notaris selama menjalankan tugas jabatannya, meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidak mendapat gaji dari pemerintah atau uang pensiun dari pemerintah. Sehingga dapat dikatakan honorarium / fee yang diterima oleh notaris sebagai pendapatan pribadi notaris yang bersangkutan.

Honorarium notaris merupakan hak, dalam artian orang yang telah menggunakan jasa notaris wajib membayar honorarium atas notaris tersebut. Meskipun demikian notaris berkewajiban membantu secara cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu memberikan honorarium/ fee kepada notaris. Jasa hukum untuk mereka yang mampu membayar honorarium notaris atau diberikan secara cuma-cuma oleh notaris karena ketidakmampuannya penghadap, wajib diberikan tindakan hukum yang sama oleh notaris, karena akta yang dibuat oleh notaris yang bersangkutan tidak akan ada bedanya baik bagi yang mampu membayar honorarium notaris maupun bagi yang tidak mampu atau diberikan secara cuma-cuma.

Globalisasi menerjang semua negara tanpa pandang bulu, krisis keuangan global yang menjadi (Hot Issue) di belahan dunia saat ini dirasakan juga oleh lembaga profesi di Indonesia, khususnya ketika berbicara mengenai idealisme dan martabat profesi jabatan notaris. Idealisme seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Notaris sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan yang serupa. Di satu sisi notaris diminta menjaga idealismenya sebagai pejabat umum, untuk memberikan jasa hukum secara cuma-cuma sebagaimana yang diamanatkan di dalam pasal 37 UUJN, namun di sisi lain notaris dihimpit oleh kehidupan materialisme untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, punulis terilhami ingin melakukan suatu penelitian dengan judul: Implementasi Pemberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan Secara Cuma-Cuma Oleh Notaris Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 di Kota Yogyakarta”.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka pokok permasalahan yang perlu diteliti adalah:

a. Bagaimanakah Implementasi Pemberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan Secara Cuma-Cuma oleh Notaris di KotaYogyakarta?

b. Apa Sajakah Faktor-Faktor yang menjadi kualifikasi pemberian jasa hukum di bidang Kenotariatan secara Cuma-Cuma oleh Notaris di kota Yogyakarta tersebut?

3. Tujuan Penelitian

Mengacu pada pokok pikiran sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh pemahaman tentang bagaimanakah Implementasi Pemberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan Secara Cuma-Cuma oleh Notaris di KotaYogyakarta.

b. Untuk mengetahui Faktor-Faktor apa sajakah yang menjadi kualifikasi pemberian jasa hukum di bidang Kenotariatan secara Cuma-Cuma oleh Notaris di kota Yogyakarta.

4. Manfaat Penelitian

Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat berfaedah dalam menambah semaraknya wacana dan wawasan hukum di Indonesia khususnya di bidang kenotariatan secar ilmiah maupun secara praktis, oleh karena itu penelitian iniususny diharapkan bermanfaat untuk:

a. Secara ilmiah: bermanfaat bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya lembaga kenotariatan mengenai Implementasi Pemberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan Secara Cuma-Cuma oleh Notaris di KotaYogyakarta.

b. Secara praktis: hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memperkaya pengetahuan masyarakat, para praktisi hukum, serta rekan-rekan mahasiswa khususnya dalam hal Pemberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan Secara Cuma-Cuma oleh Notaris.

5. Keaslian Penelitian

Menurut pengetahuan penulis, setelah melakukan pengamatan melalui penelusuran di beberapa perpustakaan, terutama di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ada penelitian tentang “Implementasi Pemberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan Secara Cuma-Cuma oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 di Kota Yogyakarta”.

B. TINJAUAN PUSTAKA

  1. Tinjauan Umum Tentang Jasa Hukum

Dinamika di dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sering diwarnai konflik antara individu dengan lainnya, bahkan konflik yang terjadi itu seringkali tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang terkait. Untuk menghindari / mencegah terjadinya konflik, dan atau jika terjadi konflik yang tidak dapat dihindari, maka diperlukan campur tangan secara khusus untuk memberikan bantuan penyelesaian imparsial (secara tidak memihak) berupa jasa hukum dari profesi hukum.

Profesi hukum diharapkan menjadi roda-roda penggerak dari penegak hukum dalam sistem peradilan di Indonesia. Oleh karena itu profesi hukum dalam suatu mekanisme kehidupan bernegara harus mampu mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sesuai dengan martabat manusia. Mengenai profesi hukum yang dapat memberikan pelayanan berupa bantuan jasa hukum kepada masyarakat, menurut Kansil dapat dikualifikasikan menjadi 5 (lima) jenis. Sebagaimana yang diutarakannya sebagai berikut:

“Sesuai dengan keperluan hukum yang bagi masyarakat Indonesia, dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu:

a. Hakim

b. Penasehat hukum (advokat, pengacara)

c. Notaris

d. Jaksa, dan

e. Polisi

yang masing-masing diperlengkapi dengan etika profesi hukum, agar dapat melaksanakan fungsi dan kegiatannya dengan sebaik-baiknya”.[13]

Berdasarkan pendapat Kansil di atas, maka dapat kita ketahui bahwa di Indonesia mengenal 5 (lima) jenis profesi hukum dan dalam melaksanakan fungsi serta kegiatannya dilengkapi dengan etika profesi hukum itu masing-masing yang disebut dengan kode etik profesi.

Hal tersebut di atas dipaparkan oleh Widyadharma sebagai berikut:

“kedudukan seorang yang professionalis dalam suatu profesi, pada hakekatnya merupakan suatu kedudukan yang terhormat. Karena itu pada setiap profesi melihat suatu kewajiban agar ilmu yang difahami dijalankan dengan ketulusan hatinya itikat baik serta kejujuran bagi kehidupan manusia. Maka karena itu etika yang dimiliki setiap profesi juga merupakan tonggak dan ukuran bagi setiap professionalis agar selalu bersikap dan bekerja secara etis, dengan mematuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam sumpah dan kode etiknya”.[14]

Lebih lanjut Widyadharma memaparkan:

“Dalam kode etik suatu profesi selalu dilengkapi dengan suatu pedoman bahwa seseorang pengabdi profesi tidak akan mempersoalkan honorarium serta kemungkinan ada honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaannya. Hal mana secara tegas di dalam kode etik notaris juga dapat disebutkan bahwa sekalipun sebenarnya keahlian seorang tenaga professional notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesionalnya ia tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang”.[15]

Hal serupa juga di komentari oleh Sumaryono sebagai beerikut:

“Aseptabilitas atau kesedian menerima sebagai kebalikan motif menciptakan uang, adalah ciri khas dari semua profesi pada umumnya. Tujuan utama sebuah profesi bukanlah untuk menciptakan uang semata-mata, tetapi terutama untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan serta ketertiban umum atau penerapan hukum yang baik ke segenap lapisan masyarakat”.[16]

Adapun Koehn memaparkan pendapatnya sebagai berikut:

“Segala kegiatan profesional dibuat dengan tujuan bukan untuk imbalan, melainkan lebih untuk tujuan tertentu atau untuk kebaikan praktek yang berangkutan”.[17]

Berdasarkan apa yang telah disampaikan tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa honorarium seorang profesi hukum yang merupakan imbalan atas karyanya tidak perlu seimbang dengan ilmu yang diberikan kepada kliennya, karena tujuan dari profesi adalah mengabdi kepada kepentingan umum. Oleh karena itu, profesi itu tidak terikat hanya berpengetahuan tinggi saja, akan tetapi terkait dengan etika yang di dalam hal ini disebut dengan kode etik. Profesi yang professional wajiblah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran hukum guna kepentingan masyarakat, dan hal ini dapat terjadi setelah pemegang profesi tersebut telah menjalankan hukum dan melaksakannya secara baik, didasari penuh tanggung jawab dengan adanya integritas dan moral. Dengan demikian, maka akan dapat kita temui adanya keluhuran dan kemuliaan pada sebuah profesi hukum di tanah air yang kita cinta ini, dengan kata lain yang sering diistilahkan “officium nobile” sebuah profesi mulia atau terhormat dari profesi hukum di Indonesia.

  1. Tinjauan Umum tentang Notaris

Berbicara tentang notaris di Indonesia ada baiknya penulis awali dengan mengulas sedikit mengenai asbabunnuzul / sejarah lahirnya notaris di tanah air tercinta ini, dengan mengetahui hal tersebut akan mempermudah pemahaman kita kedepannya.

Keberadaan jabatan notaris di Indonesia pertama kali tercatat pada tanggal 27 Agustus Tahun 1620 dengan diangkatnya seorang Belanda bernama Melchior Kerchem menjadi notaris yang disebut “Notarium Publicum” di Jakarta yang pada saat itu masih bernama Jacatra.[18]Adapun tuganya adalah untuk kepentingan publik khususnya melayani dan melakukan semua surat libel (smaadschrift), surat wasiat di bawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta perjanjian perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testament), dan akta-akta lainnya dan ketentuan yang perlu dari kotapraja. Para notaris pada waktu itu adalah pegawai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sehingga tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang melayani masyarakat.

Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie Voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, Kemudian pada tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in nederlands Indie atau lebih dikenal dengan Stbl. 1860:3

Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 17 Agustus 1945, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan: “Segala Badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang ini”. Berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka stbl.1860:3 tetap berlaku di Indonesia. Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, Tanggal 30 Oktober 1948 tentang Laporan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman.

Tahun 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus – 22 September 1949. Salah satu hasil dari KMB tersebut yaitu adanya Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintahan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat yang sekarang adalah Papua. Adanya Penyerahan Kedaulatan tersebut membawa akibat kepada status notaris berkewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya. Dengan demikian terjadi kekosongan notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada pada Meteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaan Belanda.

Tahun 1954, tepatnya pada tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa, “Dalam hal notaris tidak ada, Meteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan notaris. Kemudian pasal 1 huruf c dan pasal 8 Undang-Undang ini menegaskan “Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris”. Selanjutnya pasal 2 ayat (2) disebutkan “Sambil menunggu ketetapan Meteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris”. Penegasan tentang Wakil Notaris Sementara ini disebutkan dalam pasal 1 huruf d yaitu, “Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara”. Adapun yang disebut sebagai Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) stbl.1860:3. jo pasal 1 huruf a Undang-Undang No 33 Tahun 1954. Berdasarkan Undang-Undang No 33 Tahun 1954 ini juga sekaligus ditegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Abmt in Nederlands Indie (stbl.1860:3) sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di Indonesia yang lebih dikenal P JN untuk Notaris Indonesia.

Tahun 2004, tepatnya pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang dalam penulisan ini disebut UUJN. Pro dan kontra pun terjadi sebagaimana yang disinyalirkan INI sebagai berikut:

“Banyak pihak yang menyatakan mendukung UUJN dan memandang UUJN sebagai produk hukum yang lebih baik dari pada PJN. Sedangkan di lain pihak ada sebagian kecil yang kontra tidak mendukung UUJN dan menganggap UUJN sebagai produk hukum yang kualitasnya di bawah PJN. Bahkan ada yang mendukung UUJN sebagai salah satu faktor yang memunculkan berbagai masalah kenotariatan dewasa ini”.[19]

Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut hemat penulis suatu hal yang patut kita pahami dan sadari bersama bahwa, UUJN adalah produk perundang-undangan yang merupakan produk hasil lobi antar pihak yang berkepentingan, apalagi saat reformasi bergulir. Dengan tetap menghormati kedua pendapat tersebut di atas, baik yang pro maupun yang kontra karena perbedaan pendapat adalah ciri dari sebuah negara demokrasi. UUJN telah diundangkan dalam Lembar Berita Negara, sebuah undang-undang yang telah dituangkan dalam Lembar Berita Negara harus dipatuhi. Karena itu mari kita laksanakan UUJN sambil mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dan kita catat sebagai bahan apabila terjadi perubahan untuk penyempurnaan atas UUJN di masa yang akan datang.

“UUJN merupakan suatu wujud unifikasi hukum di bidang kenotariatan yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah Republik Indonesia”. [20]

Bersamaan dengan diundangkannya UUJN pada Lembaran Berita Negara Republik Indonesia, maka telah mencabut atau menyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan yaitu:

1. Reglement op Het Notaris Ambts in Indonesie (STB 1860:3) sebagaiman telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101;

2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);

4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang PeradilanUmum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara republic Indonesia Nomor 4379); dan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris. [21]

Adapun muatan dari UUJN mengatur tentang hal-hal sebagai berikut:

1. BAB I. Ketentuan Umum, terdiri dari satu pasal menjelaskan mengenai istilah-istilah yang tercantum dalam UUJN, seperti Notaris, Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, Organisasi Notaris, Majelis Pengawas, Akta Notaris, Minuta Akta, Salian Akta, Kutipan Akta, Grosse Akta, Formasi Jabatan Notaris, Protokol Notaris, dan Mentri.

2. BAB II. Pengangkatan Dan Pemberhentian Notaris, terdiri dari: bagian pertama mengenai pengangkatan Notaris(pasal 2-7) dan bagian kedua mengenai pemberhentian Notaris (pasal 8-14).

3. BAB III. Kewenangan,Kewajiban, dan Larangan, terdiri dari: bagian pertama tentang kewenangan (pasal 15), bagian kedua mengenai Kewajiban (pasal 16), bagian ketiga mengenai Larangan (pasal 17).

4. BAB IV. Tempat Kedudukan, Formasi, dan Wilayah Jabatan, terdiri dari: bagian pertama mengenai Kedudukan Notaris (pasal 18-20), bagian kedua mengenai Formasi Jabatan Notaris (pasal 21-22), dan ketiga mengenai Pindah Wilayah Jabatan Notaris (pasal 23-24).

5. BAB V. Cuti Notaris dan Notaris Pengganti, terdiri dari: bagian pertama mengenai Cuti Notaris (pasal 25-32), dan bagian kedua mengenai Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris (pasal 33-35).

6. BAB VI. Honorarium (pasal 36-37)

7. BAB VII. Akta Notaris, terdiri dari: bagian pertama mengenai Bentuk dan Sifat Akta (pasal 38-53), bagian kedua mengenai rosse Akta, Salian Akta, dan Kutipan Akta (pasal 54-57),bagian ketiga mengenai Pembuatan, Penyimpanan, Penyerahan Protokol Notaris (pasal 58-65).

8. BAB VIII. Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris (pasal 66)

9. BAB IX. Pengawasan, bagian pertama umum (pasal 67-68), bagian kedua mengenai Majelis Pengawas daerah (pasal 69-71), bagian ketiga mengenai Majelis Pengawas Wilayah (pasal 72-75), dan bagian keempat mengenai Majelis Pengawas Pusat (pasal 76-81).

10. BAB X. Organisasi Notaris (passal 82-83).

11. BAB XI. Ketentuan Sanksi (pasal 84-85).

12. BAB XII. Ketentuan Peralihan (pasal 86-90).

13. BAB XIII. Ketentuan Penutup (pasal 91-92).

Dengan adanya UUJN, telah terjadi pembaharuan dan pengaturan secara menyeluruh dalam satu Undang-undang yang mengatur jabatan Notaris”.[22]

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat kita ketahui bahwa pengaturan di dalam UUJN mengenai honorarium notaris terdapat pada Bab VI, terdiri dari 2 (dua) pasal yaitu pasal 36 dan pasal 37. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, menarik untuk dicermati seiring bergulirnya Krisis Global yang menerpa belahan dunia termasuk Indonesia yaitu, pemberian jasa hukum oleh notaris secara cuma-cuma. Hal ini merupakan kewajiban notaris baik berdasarkan Undang-Undang maupun kewajiban Kode Etik Notaris.

Pasal 37 UUJN menyebutkan; “Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu”.

Adapun di dalam Kode Etik Notaris terdapat di dalam Bab III pasal 3 angka 7 yang mewajibkan notaris; “memberikan jasa pembuatan akta dan jasa ke Notarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium”.

  1. Analisis Pemberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan secara Cuma-Cuma oleh Notaris

Bekerja pada hakekatnya merupakan salah satu kewajiban dasar setiap manusia. Dengan bekerja seseorang dapat memperoleh apa yang menjadi haknya sendiri. Melalui pekerjaannya, manusia dapat dan berkewajiban melayani sesamanya dengan gagasan-gagasan dan keterampilan serta melakukan apa saja untuk mengangkat kehidupan keluarga dan kondisinya ke taraf yang lebih baik.

Hakekat bekerja juga menuntut seseorang supaya memilih profesi atau keahlian secara bertanggung jawab, Akontabilitas sebuah profesi menuntut seseorang untuk mempersiapkan dirinya secara menyeluruh, termasuk notaris. Eksistensi seorang notaris bukan semata-mata untuk dirinya sendiri melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menjadi dasar seorang notaris untuk menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam upaya optimalisasi pelayanan masyarakat sebagai misi utama dalam hidupnya.

Notaris dalam melakukan tugas jabatannya wajib memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya, baik kepada masyarakat yang mampu maupun kepada masyarakat yang tidak mampu. Notaris juga berkewajiban memberikan penyuluhan hukum kepada para kliennya untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat.

Hal ini dipaparkan Tobing, dikutip oleh Widyadharma sebagai berikut:

“Upaya dalam rangka peningkatan profesionalisme para notaris tidak hanya diketahui tentang tugas dan kedudukan notaris saja akan tetapi harus juga diketahui bagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat yang akan dilayani”.[23]

Pendapat Tobing di atas, memperjelas peranan notaris selaku pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara yang harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sungguh sebuah tugas dan tanggung jawab yang teramat berat apabila dimaknai dengan benar. Ketika Surat Keputusan pengangkatan sebagai seorang notaris turun, dan notaris diangkat secara yuridis formal, saat itu juga seharusnya tersemat janji untuk menjalankan tugas profesi sebaik mungkin sesuai dengan Hukum Tuhan Yang Maha Esa dan hukum positif negara tempat notaris berkiprah. Sanksinya pun tidak hanya berupa sanksi hukum positif, namun juga sanksi moral oleh masyarakat dan sanksi spiritual oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ketika Notaris melanggar keluhuran dan martabat profesi notaris, seketika itu juga berarti ia melanggar tiga hal tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat Nurwulan selaku Wakil Ketua I Ikatan Notaris Indonesia Daerah Istimewa Yogayakarta yang mengatakan:

“Notaris sebagai pejabat umum, merupakan organ negara yang dilengkapi dengan kewenangan untuk memberikan pelayanan umum kepada masyarakat dalam pembuatan akta otentik di bidang keperdataan saja”. [24]

Mengingat kompleksitas masalah yang akan dihadapi seorang notaris, maka seorang notaris harus membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan disamping ilmu kenotariatan yang paling esinsial. Oleh karena itu, notaris harus selalu mengembangkan pengetahuannya, baik pengetahuan yang sifatnya intelektual, emosional, maupun spiritual agar tetap berada di jalur kebenaran.

Kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan, hal ini dapat mendorong diri notaris terseret ke arah jebakan yang bersifat materialisme yang akhirnya dpat melanggar misi notaris yang mulia dan luhur. Walaupun peraturan telah membentengi agar praktik yang tercela itu tidak muncul, namum tetap saja tidak dapat menjamin seratus persen. Satu-satunya hal yang dapat menjamin notaris berjalan di koridor tepat adalah kualitas dirinya sendiri. Sebagaimana yang di ungkapkan Lubis selaku Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia pada saat dirgahayu INI yang ke-100 sebagai berikut:

“Pendidikan jangan dimengerti hanya dalam lingkup akademik, namun sebagai perjalanan pembelajaran seumur hidup. Apalagi sekarang dinamika hukum di Indonesia berlangsung cepat, Notaris pun harus terus belajar agar mampu mengikuti perkembangan ilmu dan praktik hukum terbaru. Definisi ilmu yang wajib dipelajari pun meluas, bukan hanya ilmu hukum saja namun ilmu-ilmu di luar hukum seperti ilmu ekonomi, manajemen, sosial-budaya, dan prilaku manusia”.[25]

Berdasarkan pemaparan Lubis tersebut, dapat dimengerti begitu besar tugas dan tanggung jawab seorang notaris sehingga diperlukan kontribusi dan dukungan dari semua pihak agar mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat luas dari waktu ke waktu. Sebagaimana dipaparkan setiawan:

“Keberadaan lembaga notariat atau dengan kata lain notaris diangkat oleh penguasa yang berwenang berdasarkan undang-undang, bukanlah semata-mata untuk kepentingan para notaris itu sendiri, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayani”.[26]

Kemulian dan keluhuran profesi notaris sekarang cenderung semakin memudar, hal ini dikarenakan terus bertambahnya daftar nama notaris yang terkait dengan perkara di Pengadilan baik perkara perdata maupun perkara pidana. Selain kualitas diri notaris yang kurang mampuni, dapat juga dikarenakan trendnya profesi notaris sebagai mesin pencetak uang. Sebagaimana dikatakan Sugiono yang dikutip Majalah Renvoi sebagai berikut:

“Trendnya notaris sekarang hanya dapat uang saja, sehingga tidak memperhatikan lagi bahwa dia menyandang suatu pekerjaan yang professional. Hal ini saya katakan berdasarkan sering banyak klien yang mengeluh, serta banyak kasus di Pengadilan yang menyeret notaris selaku terdakwa, dan saya sering dimintakan menjadi saksi ahli dalam teknik pembuatan akta”.[27]

Sejalan apa yang dikatan Sugiono tersebut Gunardi juga mengatakan:

“Seorang notaris bekerja tidak melulu berorientasi pada hitungan untung- rugi, melainkan dibebani pula tanggung jawab sosial. Yakni, wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara Cuma-Cuma kepada mereka yang tidak mampu. Begitulag yang ditegaskan dan di atur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN)”.[28]

Bertitik tolak pada kedua pendapat Praktisi Notaris di atas, dapat kita jumpai adanya kewajiban pemberian jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma oleh notaris, namun demikian pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini tidak kita jumpai baik di dalam UUJN, Kode etik Notaris, maupun peraturan lainnya yang mengatur tentang jabatan notaris, terutama mengenai pengertian jasa hukum di bidang kenotariatan, dan kualisifikasi orang yang tidak mampu.

Berdasarkan bunyi pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris[29]. Seharusnya notaris memberikan pelayanan secara Cuma-Cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana terlebih dahulu secara nyata diaplikasikan oleh Advokat mengenai pemberian jasa hukum secara Cuma-Cuma kepada kliennya yang lebih dikenal dengan istilah Prodeo.

C. CARA PENELITIAN

Penelitian tentang Implementasi Pemberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan Secara Cuma-Cuma oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 di kota Yogyakarta merupakan jenis penelitian hukum dengan metode normatif empiris, karena penulis dalam melakukan penelitian hukum ini menggunakan data primer dan data skunder.[30] Artinya penulis harus turun langsung ke lapangan di samping memanfaatkan data-data kepustakaan atau yang lazim disebut sebagai library research:

“Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat”.[31]

Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas, bahwa dalam penelitian hukum ini dilakukan dengan dua metode yaitu: penelitian kepustakaan (library research) juga penelitian lapangan (field research), untuk selanjutnya diuraikan secara terperinci sebagai berikut:

  1. Penelitan Kepustakaan

Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti, untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:

1. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432).

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4379).

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Republik Indonesia 199 Nomor 165.

5. Peraturan Meteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10. Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, artikel, data internet, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus yang terdiri dari:

1). Kamus inggris-indonesia

2). Kamus hukum,dan

3). Kamus Populer Bahasa Indonesia.

  1. Penelitian Lapangan

“Penelitian lapangan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara langsung kepada masyarakat untuk mendapatkan data primer”.[32] Dalam Penelitian ini akan dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data dan informasi secara langsung pada lokasi penelitian, proses ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat bagi keperluan penulisan ini. Mengenai penelitian lapangan ini akan di jelaskan secara terperinci sebagai berikut:

a. Wilayah penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi Kota Yogyakarta.

b. Metode pengambilan sample

Pengambilan sample dilaksanakan dengan teknik non random sampling.[33] Yaitu jenis pengambilan sample yang dilakukan dengan cara menetapkan calon responden berdasarkan kriteria dan persyaratan oleh pengambil sample.

c. Subjek penelitian

1. Notaris

2. Majelis Pengawas Daerah Istimewa Yogyakarta

  1. Alat Pengumpulan Data

a. Alat penelitian kepustakaan

Pada penelitian kepustakaan ini digunakan studi dokumen, yakni mempelajari bahan-bahan yang berupa data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier yang berhubungan dengan materi penelitian.

b. Alat penelitian lapangan

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian lapangan ini adalah pedoman wawancara yaitu suatu pedoman yang memuat pertanyaan yang akan digunakan sebagai panduan dalam melakukan tanya jawab dengan nara sumber yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaan wawancara ini tidak dibuat secara sistematis, melainkan hanya memuat kerangka wawancara untuk kemudian dikembang sesuai dengan arah pembicaraan dan keadaan (kondisional) pada waktu melakukan wawancara. Penulis memilih metode ini karena:

1). Subjek penelitian hanya tertentu saja (sesuai kompetensi)

2). Dapat mendekati keadaan yang sebenarnya.

3). Agar wawancara lebih menarik dan santai dalam pelaksanaannya.

4. Jalannya Penelitian

Dalam penelitian ini langkah yang ditempuh dibagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu sebagi berikut:

a. Tahap persiapan

Pada tahap ini diawali dengan mengumpulkan data dan menginventarisir bahan-bahan kepustakaan yang relevan, kemudian dilanjutkan dengan menentukan topik penelitian dan penyusunan serta pengajuan alternatif judul. Kemudian mengajukan proposal untuk didiskusikan atau dikonsultasikan dengan pembimbing tesis guna pembinaan dan penyepurrnaan, seiring dengan itu penulis mempersiapkan ijin penelitian.

b. Tahap pelaksanaan

Pada tahap ini akan dilakukan dengan 2 (dua) tahap yaitu sebagai berikut:

1) Pelaksanaan penelitian kepustakaan, pertama-tama adalah pengumpulan data pengkajian terhadap data sekunder yang tentunya meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

2) Pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan dengan penelitian responden dan pengumpulan data primer. Hal ini dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan alat yang berupa kerangka wawancara yang telah dibuat sebelumnya, serta dilakukan pengumpulan data sekunder yang terdapat pada instansi yang terkait.

c. Tahap penyelesaian

Pada tahap akhir ini yang harus dilakukan adalah pengolahan, analisis data dan konstruksi data agar dapat dikonsultasikan kepada pembimbing tesis.

5. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan (library research) maupun penelitian lapangan (field research) akan dianalisis secara kualitatif.

“Metode kwalitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang teliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh”.[34] Artinya, penulis menjabarkan data yang diperoleh di lapangan dengan suatu pernyataan yang komprehensif dan berkesinambungan sehingga akan tergambarkan / terungkapkan suatu kebenaran, bahkan penulis berusaha untuk memahami kebenaran tersebut.

“Seorang peneliti yang mempergunakan metode kwalitatif, tidaklah semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran tersebut”.[35]

Hal di atas sejalan dengan pendapat Sudjito sebagai berikut:

“Ilmu adalah institusi pencarian kebenaran, melalui ilmu orang berburu kebenaran dan hanya dengan kebenaranlah orang akan merasakan kebahagiaan. Ilmu hukum termasuk bagian dari ilmu yang mencari kebenaran absolut, dengan demikian ilmu hukum selalu berubah dan bergeser mengarah pada kebenaran absolut”.[36]

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Rafika Aditama, Bandung.

Andasasmita, Komar, 1991, Notaris I Peraturan Jabatan, Kode Etik, Asosiasi Notaris/Notariat, Cetakan Ketiga, Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, Bandung.

A. Hoetomo. M., 2005, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Mitra pelajar, Surabaya.

Budiarto, M. Ali, 2005, Kompilasi Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta.

Dimyati, Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta.

M.A, Alex, 2005, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Karya Harapan, Surabaya.

Djatmiati, Tatiek Sri, 2004, Prinsip Izin Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.

Hadjon, Philipus M, 1993, Pemerintahan Menurut Hukum, Yuridika, cetakan I, Surabaya.

Kansil, CST, 1997, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.

Kie, Tan Thong, 2000, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Icthiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Koehn, Daryl, 2000, Landasan Etika Profesi, Kanisius, Yogyakarta.

Lubis, Suhrawardi K, 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

M.A, Alex, 2005, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Karya Harapan, Surabaya.

Muhammad, Abdul Kadir, 1997, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris, Gramedia Pustaka, Jakarta.

Ranggawidjaya, Rosjidi, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Simorangkir, J.C.T, dkk, 2007, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soejono, & Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rara Grafindo Persada, Jakarta.

Soepadmo, Djoko, 1996, Teknik Pembuatan Akta Seri 1 Bagian Pertama, Bina Ilmu, Surabaya.

Sulistio, 2004, Perjuangan Menemukan Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sumaryono, E. 1995, Etika Profesi Hukum, Kanasius, Yogyakarta.

Sunggono, Bambang, 2007, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tedjosaputro, Liliana, 1995, Etika Profesi Notaris, PT. Bayu Indra Grafika, Yogyakarta.

Usman, Suparman, 2008, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta.

Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Widyadharma, Ignatius Ridwan, 1991, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Wahyu Pratama, Semarang.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Berita Negara Tahun ke-II 1946. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 No. 75

________________.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432).

________________. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia 199 Nomor 165).

________________.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700).

________________.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang PeradilanUmum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4379).

________________. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang

________________. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

________________.Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60 tentang Laporan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman.

________________.Peraturan Meteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10. Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.

________________.Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.

________________.Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01/2000, tanggal 18 Agustus 2000.

________________. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan pasal 165 HIR jo 285 Rbg jo 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya.

Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus – 22 September 1949.

Ikatan Notaris Indonesia, Kode Etik Notaris.

Reglement op Het Notaris Ambts in Indonesie (STB 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101.

III. MAKALAH DAN KARYA ILMIAH

Sudjito, 2007, Perkembangan Ilmu Hukum: Dari Positivistik Menuju Holistik dan Implikasinya Terhadap Hukum Agraria Nasional, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Nurwulan, Pandam, 2006, dalam Makalah, Perspektif Notaris tentang Penyidikan dan Masalahnya Berkenaan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, dimuat pada Diktat Mata Kuliah Profesi Jabatan Notaris, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006-2007.

IV. MAJALAH, TABLOID DAN ARTIKEL

Kedaulatan Rakyat, Yogya. Marsudi Triatmodjo, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sebagai Lembaga Pendidikan Notaris. Kolom Opini, 4 Juni 2007.

Renvoi, Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT dan Hukum, Edisi Nomor 11.47.IV, April 2007.

______, Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT dan Hukum, Edisi Nomor 3.51.V, Agustus 2007.

V. MEDIA INTERNET

http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/message/1416, Gunawan Markus, Undang- Undang Jabatan Notaris Sebagai Payung Hukum, di akses 29 Desember 2008.

http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/, Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. Studi Notariat dan Praktek Notaris, diakses 03 Januari 2009.

http://majalah.depkumham.go.id. Drs. Hasanuddin, Bc.IP, S.H., Notaris dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi, diakses tanggal 03 pebruari 2009.

http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=184041&actmenu=36, Muhammad Nasir Almi, S.H., M.M. Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan notaris, notaris pengganti dan anggota Majelis Pengawas Daerah di DIY, di akses pada tanggal 03 Pebruari 2009.

http//hukum.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=184&itemed=127, Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si. Pendidikan Kenotariatan Tak Sekadar untuk Kaya dan Berjaya, diakses 17 Januari 2009.

http//hukum.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=113&itemid=1, Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M., Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sebagai Lembaga Pendidikan Notaris, diakses tanggal 03 Januari 2009.

http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=7408&cl=BeritaHtt. Gunardi, S.H.,S.Pn., M.H. Profesi Notaris di Masa Sekarang, Internet, diakses 13 Januari 2009.

http://www.tabloidparle.com/news.php?go=fullnews&newsid=800, Tri Agus Heryono,S.H., Para Notaris Bebaskan Biaya Orang Miskin, diakses pada tanggal 3 Januari 2009.

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0707/28/jogja/1040428.htm, Tien Norman Lubis, Banyak Perguruan Tinggi Membuka Magister Kenotariatan, diakses tanggal 03 Januari 2009.

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0210/28/jateng/peny06.htm, Subuh Priyambodo, S.H., Penyebaran Notaris Tak Merata, diakses tanggal 03 Januari 2009.

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=175883&actmenu=43, Pandam Nurwulan, S.H., M.H, Notaris Jangan Asal Tabrak Perundang-undangan, diakses 17 Januari 2009.

http;//groups.yahoo.com/group/notaris_indonesia/message/1416, Jusuf Patrick, Dunia Kenotariatan yang Profesional, di akses tanggal 21 Januari 2009.



[1] Redaksi Sinar Grafika, 2002, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 secara Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 3

[2] Prof. Dr. H. Suparman Usman, SH., 2008, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, Hlm. 65.

[3] Dr. Khudzaifah Dimyati, SH, M.Hum., 2005, Teorisasi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, Hlm. 1

[4] Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum., 2008, Hukum Notaris Indonesia, Rafika Aditama, Bandung,Hlm. 8

[5] Gunawan Markus, Undang-Undang Jabatan Notaris Sebagai Payung Hukum, Internet, di akses 29 Desember 2008.

[6] Tan Thong Kie, 2000, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Icthiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Hlm. 162

[7] Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum., S.H., Op.Cit. Hlm. 16

[8] Ibid. Hlm. 8

[9] Suhrawardi K. Lubis, S.H., 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 34

[10] Dedi Hatono, S.H., MKn, 2007, Renvoi, Edisi Nomor 3.51.V, hlm. 28

[11] Lok. Cit.

[12] Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum., Op. Cit. hlm.108

[13] CST. Kansil, S.H.,1997, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 7

[14] Ignatius Ridwan Widyadharma, S.H.,MS., 1991, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Wahyu Pratama, Semarang, Hlm. 50

[15] Ibid. Hlm. 51

[16] E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta, Hlm. 34

[17] Daryl Koehn, 2000, Landasan Etika Profesi, Kanisius, Yogyakarta, Hlm. 68

[18] Notaris pertama di Indonesia (pada waktu itu disebut Nederlandst Oost Indie) ialah seorang Belanda bernama Melchior Kerchem. Ia diangkat Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sebagai notaris di Jacatra pada tanggal 20 Agustus 1620. Tertanggal 4 Maret 1621 diberi nama Batavia. Komar Andasasmita, 1991, Notaris I, Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, Bandung, Hlm.29-30

[19] Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris, Gramedia Pustaka, Jakarta, Hlm. 104

[20] Redaksi Asa Mandiri, 2007, Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Cetakan pertama, Asa Mandiri, Jakarta, Hlm. 38

[21] BAB XIII, Ketentuan Penutup, Pasal 91 UUJN

[22] Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. Studi Notariat dan Praktek Notaris, Internet, diakses 03 Januari 2009.

[23] Ignatius Ridwan Widyadharma, S.H., MS. Op.Cit. Hlm.106

[24] Pandam Nurwulan,S.H., M.H., 2006, dalam Makalah, Perspektif Notaris tentang Penyidikan dan Masalahnya Berkenaan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, Yogyakarta.

[25] Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Op. Cit, Hlm. 21

[26] Djoko Soepadmo, 1996, Teknik Pembuatan Akta Seri 1 Bagian Pertama, Bina Ilmu, Surabaya, Hlm. vii

[27] Hendrika Suwarti Sugiono, S.H., SpN, M.Kn. 2007, Renvoi, Edisi Nomor 11.47.IV, Hlm. 46

[28] Gunardi, S.H.,S.Pn., M.H. Profesi Notaris di Masa Sekarang, Internet, diakses 13 Januari 2009.

[29] Implementasi Pamberian Jasa Hukum di Bidang Kenotariatan Secara Cuma-Cuma oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 di Kota Yogyakarta. Hlm.21-22, Tidak Penulis Sebutkan lagi Untuk menghindari Pengulangan Dalam Penulisan.

[30] Soekanto, Soejono, & Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RaraGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 12

[31] Sunggono, Bambang, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 41.

[32] Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 16.

[33] Soekanto, Soerjono, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. hlm. 196.

[34] Ibid. Hlm. 250.

[35] Loc. Cit.

[36] Prof. Dr. Sudjito. S.H., M.Si.,Disampaikan pada Kuliah Metode Penelitian Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada 2006-2007, Kelas B, Reguler, Jum’at, 23 Pebruari 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar